Selasa, 23 Februari 2016

Satrawi: Meruntuhkan Piramida Kekerasan



Meruntuhkan Piramida Kekerasan
Oleh: Hasibullah Satrawi

Serangan terorisme di Jalan MH Thamrin yang lalu, menunjukkan bahwa aksi kekerasan dan konflik masih menjadi persoalan serius bagi bangsa ini. Alih-alih selesai, kekerasan dan konflik belakangan acap semakin masif bahkan meluas, dari kekerasan yang bercorak teroristis hingga kekerasan yang bercorak sektarianistis.

Sebagai contoh, konflik yang bercorak sektarian selama ini sangat jarang terjadi di negeri ini. Yang kerap terjadi bersifat antaragama. Kalaupun terjadi konflik yang bersifat intra-agama, hal itu acap diperlakukan dengan logika dan semangat konflik antaragama (seperti yang dialami Ahmadiyah).

Hal ini berbanding terbalik dengan konflik yang kerap terjadi di banyak negara di Timur Tengah. Di sana konflik yang acap terjadi di wilayah itu bersifat sektarian (Syiah dan Sunni). Konflik antaragama (Muslim dan non-Muslim) sangat jarang terjadi.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah Musim Semi Arab gagal di Timur Tengah, konflik sektarian juga mengalami peningkatan tajam di Indonesia. Bahkan, konflik sektarian cenderung menjadi arus utama konflik di negeri ini.

Ironisnya adalah bahwa peningkatan konflik sektarian di Indonesia terjadi di saat konflik antaragama yang ada acap dan kekerasan teroristis tak pernah benar-benar selesai hingga yang terjadi adalah "konflik menara kembar", bukan "tukar guling konflik", alih-alih menjadi negeri bebas konflik.

Piramida kekerasan

Ibarat bangunan piramida, aksi kekerasan dapat dibagi dalam tiga tahap. Pertama, tahap radikalisme alias keras dalam pikiran. Ini adalah tahap yang paling dasar sekaligus paling banyak secara jumlah. Pada tahap ini radikalisme masih dalam bentuk keyakinan dan pemikiran. Yaitu pemikiran yang secara garis besar bersifat eksklusif dan merasa paling benar. Sedangkan kelompok lain acap disebut dengan pelbagai macam label negatif yang tak pantas diterima secara baik dan setara (qabulul akhar).

Secara jumlah, tahap kekerasan ini mendapat dukungan paling banyak, khususnya bila dibandingkan dengan dua tahap lain yang akan segera disebutkan. Setidak-tidaknya, seperti pernah dibahas ahli radikalisme Mesir, Khalil Abdul Karim, dalam bukunya berjudul Al-Islam: karena setiap agama mempunyai klaim eksklusivitas sebagai pemegang kebenaran (al-haqiqah al-muthlaqah) dan umat pilihan (al-ishthifa`iyah).

Namun, karena radikalisme pada tahap ini bercorak pemikiran dan keyakinan, maka acap tak terlihat secara kasatmata, bahkan mungkin tak dianggap sebagai soal serius. Padahal, kekerasan pada tahap ini justru bisa menjadi dasar bagi kekerasan-kekerasan di tahap berikutnya.

Kedua, tahap ekstremisme. Berbeda dengan radikalisme di tahap pertama, ekstremisme sebagai tahap kedua dari piramida kekerasan sudah tak lagi bersifat keyakinan maupun pemikiran semata, melainkan sudah dalam bentuk tindakan-tindakan yang bersifat anarkistis, mulai dalam bentuk omongan hingga dalam bentuk aksi tindakan nyata. Dan, persis seperti bentuk bangunan piramida, para pelaku maupun pendukung kekerasan pada tahap ini lebih kecil secara jumlah bila dibandingkan dengan jumlah tahap pertama.

Pada tahap kedua ini, kekerasan yang tak lain adalah bagian dari penolakan terhadap yang lain mulai disampaikan secara lisan. Hingga pelbagai macam label negatif, seperti penyesatan, pemurtadan, pemusyrikan, bahkan pengafiran digunakan untuk kelompok yang lain. Bahkan, aksi kekerasan secara fisik pun mulai digunakan untuk menegakkan apa yang dianggap benar dalam dirinya sekaligus memberantas apa yang dianggap sesat, buruk, dan kufur dalam diri maupun kelompok lain.
Meski demikian, kekerasan pada tahap kedua ini masih bersifat terbatas. Setidak-tidaknya karena kekerasan pada tahap ini masih dilakukan dengan cara-cara yang konvensional dengan alat seadanya, seperti bambu, yang jauh dari kesan terorganisasi dan terlatih secara rutin.

Inilah bedanya tahap kedua dengan tahap ketiga, yaitu tahap terorisme. Pada tahap ini keyakinan eksklusif yang ada tak lagi hanya diperjuangkan melalui aksi-aksi kekerasan yang bersifat konvensional, melainkan melalui perjuangan bersenjata yang terorganisasi dan terlatih. Termasuk juga dengan menggunakan bom di tempat-tempat tertentu yang tak jarang justru menimbulkan korban dari orang-orang yang tidak bersalah.

Secara jumlah, para pelaku maupun pendukung kekerasan pada tahap ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua tahap sebelumnya.

Namun, karena menempati posisi puncak dalam bangunan piramida dan menjadi perhatian banyak pihak, maka tahap ketiga ini acap dianggap sebagai soal paling serius dan mendapat perhatian lebih besar dari semua pihak, khususnya dari aparat dan pengambil kebijakan.

Padahal, sebagaimana terlihat jelas di atas, potensi ancaman dari tiga tahap dalam bangunan piramida ini bersifat setara arena semuanya bersumber dari pemikiran dan keyakinan yang eksklusif dan tidak terbuka terhadap kelompok lain dengan seluruh keyakinan dan klaim kebenaran yang juga dimilikinya.

Keberagamaan inklusif

Di sinilah pentingnya sikap keberagamaan inklusif yang menekankan pada keterbukaan terhadap kebenaran maupun keyakinan kelompok lain tanpa harus menghancurkan kebenaran maupun keyakinan diri sendiri. Dari segi tradisi, keberagamaan inklusif seperti ini sesungguhnya bukanlah hal baru, khususnya di kalangan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam paling klasik di Nusantara.

Hal tersebut di atas bisa dibuktikan dengan sejumlah tradisi yang bahkan telah menjadi mantra di kalangan kaum santri, seperti ungkapan "lihatlah yang diucapkan, janganlah lihat siapa yang mengucapkan" (unzhur ma qila wala tanzhur man qala).

Bahkan, Imam Syafii yang tak lain adalah panutan mazhab fikih (as-syafi'iyah) bagi mayoritas umat Islam di Indonesia sangat terkenal dengan ungkapannya; "pandanganku benar, tetapi ada kemungkinan salah, sedangkan pandangan orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar" (ra`yi shawabun yahtamilu al-khatha`, wara`yu ghayriy khatha`un yahtamilu as-shawab).

Dalam bahasa masyarakat awam, inklusivisme seperti di atas tak ubahnya meyakini kecantikan atau ketampanan pasangan yang tidak harus dilakukan dengan menjelek-jelekkan pasangan orang lain, terlebih lagi dengan mencoreng muka pasangan orang lain. Semua orang bisa mengklaim kecantikan maupun ketampanan pasangannya tanpa harus menjelek-jelekkan paangan orang lain.

Inilah yang saat ini dibutuhkan oleh semua pihak untuk menghadapi tantangan radikalisme. Bila dalam piramida kekerasan radikalisme bisa ditumbuhkan ekstremisme dan terorisme, inklusivisme justru bisa meruntuhkan piramida kekerasan tersebut mengingat inklusivisme bisa mengantarkan seseorang kepada sikap toleransi dan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagai hasil ijtihad politik kenegaraan terbaik dari para ulama Nusantara) yang tidak memberikan ruang bagi kekerasan apa pun.

Ini penting ditegaskan mengingat di satu sisi tujuan akhir dari kelompok radikal di tiga tahapnya, seperti di atas adalah pembentukan negara agama. Dan, di sisi lain, kelompok radikal acap memahami NKRI sebagai konsep kenegaraan yang jauh dari nilai-nilai keagamaan. Padahal, NKRI justru lahir dari tangan para ulama Nusantara dengan ramuan nilai-nilai luhur dan keterbukaan yang ada di dalam agama.

Orang yang taat secara agama tidak harus menutup diri dari kelompok lain dan membentuk negara agama melalui perjuangan sarat kekerasan, seperti dilakukan kelompok radikal. Akan tetapi, orang yang taat beragama harus menerima yang lain dan mendukung NKRI melalui perjuangan damai dan bersifat konstitusional. []

KOMPAS, 20 Februari 2016
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar