Meruntuhkan Piramida Kekerasan
Oleh: Hasibullah Satrawi
Serangan terorisme di Jalan MH Thamrin yang lalu, menunjukkan
bahwa aksi kekerasan dan konflik masih menjadi persoalan serius bagi bangsa
ini. Alih-alih selesai, kekerasan dan konflik belakangan acap semakin masif
bahkan meluas, dari kekerasan yang bercorak teroristis hingga kekerasan yang
bercorak sektarianistis.
Sebagai contoh, konflik yang bercorak sektarian selama ini sangat
jarang terjadi di negeri ini. Yang kerap terjadi bersifat antaragama. Kalaupun
terjadi konflik yang bersifat intra-agama, hal itu acap diperlakukan dengan
logika dan semangat konflik antaragama (seperti yang dialami Ahmadiyah).
Hal ini berbanding terbalik dengan konflik yang kerap terjadi di
banyak negara di Timur Tengah. Di sana konflik yang acap terjadi di wilayah itu
bersifat sektarian (Syiah dan Sunni). Konflik antaragama (Muslim dan
non-Muslim) sangat jarang terjadi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, khususnya setelah Musim Semi
Arab gagal di Timur Tengah, konflik sektarian juga mengalami peningkatan tajam
di Indonesia. Bahkan, konflik sektarian cenderung menjadi arus utama konflik di
negeri ini.
Ironisnya adalah bahwa peningkatan konflik sektarian di Indonesia
terjadi di saat konflik antaragama yang ada acap dan kekerasan teroristis tak
pernah benar-benar selesai hingga yang terjadi adalah "konflik menara
kembar", bukan "tukar guling konflik", alih-alih menjadi negeri
bebas konflik.
Piramida kekerasan
Ibarat bangunan piramida, aksi kekerasan dapat dibagi dalam tiga
tahap. Pertama, tahap radikalisme alias keras dalam pikiran. Ini adalah tahap
yang paling dasar sekaligus paling banyak secara jumlah. Pada tahap ini
radikalisme masih dalam bentuk keyakinan dan pemikiran. Yaitu pemikiran yang
secara garis besar bersifat eksklusif dan merasa paling benar. Sedangkan
kelompok lain acap disebut dengan pelbagai macam label negatif yang tak pantas
diterima secara baik dan setara (qabulul akhar).
Secara jumlah, tahap kekerasan ini mendapat dukungan paling
banyak, khususnya bila dibandingkan dengan dua tahap lain yang akan segera
disebutkan. Setidak-tidaknya, seperti pernah dibahas ahli radikalisme Mesir,
Khalil Abdul Karim, dalam bukunya berjudul Al-Islam: karena setiap agama
mempunyai klaim eksklusivitas sebagai pemegang kebenaran (al-haqiqah
al-muthlaqah) dan umat pilihan (al-ishthifa`iyah).
Namun, karena radikalisme pada tahap ini bercorak pemikiran dan
keyakinan, maka acap tak terlihat secara kasatmata, bahkan mungkin tak dianggap
sebagai soal serius. Padahal, kekerasan pada tahap ini justru bisa menjadi
dasar bagi kekerasan-kekerasan di tahap berikutnya.
Kedua, tahap ekstremisme. Berbeda dengan radikalisme di tahap
pertama, ekstremisme sebagai tahap kedua dari piramida kekerasan sudah tak lagi
bersifat keyakinan maupun pemikiran semata, melainkan sudah dalam bentuk
tindakan-tindakan yang bersifat anarkistis, mulai dalam bentuk omongan hingga
dalam bentuk aksi tindakan nyata. Dan, persis seperti bentuk bangunan piramida,
para pelaku maupun pendukung kekerasan pada tahap ini lebih kecil secara jumlah
bila dibandingkan dengan jumlah tahap pertama.
Pada tahap kedua ini, kekerasan yang tak lain adalah bagian dari
penolakan terhadap yang lain mulai disampaikan secara lisan. Hingga pelbagai
macam label negatif, seperti penyesatan, pemurtadan, pemusyrikan, bahkan
pengafiran digunakan untuk kelompok yang lain. Bahkan, aksi kekerasan secara
fisik pun mulai digunakan untuk menegakkan apa yang dianggap benar dalam
dirinya sekaligus memberantas apa yang dianggap sesat, buruk, dan kufur dalam
diri maupun kelompok lain.
Meski demikian, kekerasan pada tahap kedua ini masih bersifat
terbatas. Setidak-tidaknya karena kekerasan pada tahap ini masih dilakukan
dengan cara-cara yang konvensional dengan alat seadanya, seperti bambu, yang
jauh dari kesan terorganisasi dan terlatih secara rutin.
Inilah bedanya tahap kedua dengan tahap ketiga, yaitu tahap
terorisme. Pada tahap ini keyakinan eksklusif yang ada tak lagi hanya
diperjuangkan melalui aksi-aksi kekerasan yang bersifat konvensional, melainkan
melalui perjuangan bersenjata yang terorganisasi dan terlatih. Termasuk juga
dengan menggunakan bom di tempat-tempat tertentu yang tak jarang justru
menimbulkan korban dari orang-orang yang tidak bersalah.
Secara jumlah, para pelaku maupun pendukung kekerasan pada tahap
ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan dua tahap sebelumnya.
Namun, karena menempati posisi puncak dalam bangunan piramida dan
menjadi perhatian banyak pihak, maka tahap ketiga ini acap dianggap sebagai
soal paling serius dan mendapat perhatian lebih besar dari semua pihak,
khususnya dari aparat dan pengambil kebijakan.
Padahal, sebagaimana terlihat jelas di atas, potensi ancaman dari
tiga tahap dalam bangunan piramida ini bersifat setara arena semuanya bersumber
dari pemikiran dan keyakinan yang eksklusif dan tidak terbuka terhadap kelompok
lain dengan seluruh keyakinan dan klaim kebenaran yang juga dimilikinya.
Keberagamaan inklusif
Di sinilah pentingnya sikap keberagamaan inklusif yang menekankan
pada keterbukaan terhadap kebenaran maupun keyakinan kelompok lain tanpa harus
menghancurkan kebenaran maupun keyakinan diri sendiri. Dari segi tradisi,
keberagamaan inklusif seperti ini sesungguhnya bukanlah hal baru, khususnya di
kalangan pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam paling klasik di
Nusantara.
Hal tersebut di atas bisa dibuktikan dengan sejumlah tradisi yang
bahkan telah menjadi mantra di kalangan kaum santri, seperti ungkapan
"lihatlah yang diucapkan, janganlah lihat siapa yang mengucapkan"
(unzhur ma qila wala tanzhur man qala).
Bahkan, Imam Syafii yang tak lain adalah panutan mazhab fikih
(as-syafi'iyah) bagi mayoritas umat Islam di Indonesia sangat terkenal dengan
ungkapannya; "pandanganku benar, tetapi ada kemungkinan salah, sedangkan
pandangan orang lain salah, tetapi ada kemungkinan benar" (ra`yi shawabun
yahtamilu al-khatha`, wara`yu ghayriy khatha`un yahtamilu as-shawab).
Dalam bahasa masyarakat awam, inklusivisme seperti di atas tak
ubahnya meyakini kecantikan atau ketampanan pasangan yang tidak harus dilakukan
dengan menjelek-jelekkan pasangan orang lain, terlebih lagi dengan mencoreng
muka pasangan orang lain. Semua orang bisa mengklaim kecantikan maupun
ketampanan pasangannya tanpa harus menjelek-jelekkan paangan orang lain.
Inilah yang saat ini dibutuhkan oleh semua pihak untuk menghadapi
tantangan radikalisme. Bila dalam piramida kekerasan radikalisme bisa
ditumbuhkan ekstremisme dan terorisme, inklusivisme justru bisa meruntuhkan
piramida kekerasan tersebut mengingat inklusivisme bisa mengantarkan seseorang
kepada sikap toleransi dan menerima Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagai
hasil ijtihad politik kenegaraan terbaik dari para ulama Nusantara) yang tidak
memberikan ruang bagi kekerasan apa pun.
Ini penting ditegaskan mengingat di satu sisi tujuan akhir dari
kelompok radikal di tiga tahapnya, seperti di atas adalah pembentukan negara
agama. Dan, di sisi lain, kelompok radikal acap memahami NKRI sebagai konsep
kenegaraan yang jauh dari nilai-nilai keagamaan. Padahal, NKRI justru lahir
dari tangan para ulama Nusantara dengan ramuan nilai-nilai luhur dan
keterbukaan yang ada di dalam agama.
Orang yang taat secara agama tidak harus menutup diri dari
kelompok lain dan membentuk negara agama melalui perjuangan sarat kekerasan,
seperti dilakukan kelompok radikal. Akan tetapi, orang yang taat beragama harus
menerima yang lain dan mendukung NKRI melalui perjuangan damai dan bersifat
konstitusional. []
KOMPAS, 20 Februari 2016
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia
Islam, Direktur Aliansi Indonesia Damai (Aida)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar