Riwayat Kantor PBNU
dari Masa ke Masa
Sejak dibentuk pada
31 Januari 1926, para pendiri NU telah mempersiapkan sedemikian rupa
segala perangkat untuk menunjang berjalannya laju organisasi, termasuk di
antaranya kantor pusat NU.
Dalam perjalanan
sejarah NU, keberadaan kantor NU ini sangatlah penting, sebab selain menjadi
tempat untuk menyimpan berbagai arsip serta menjalankan rapat penting, kantor
ini menjadi simbol eksistensi NU.
Dengan kata lain, bagaimanapun keadaannya kantor ini harus tetap ada. Ini dibuktikan, ketika beberapa kali Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terpaksa memindahkan kantornya, karena terjadi peperangan di Surabaya atau saat terjadi gangguan keamanan akibat pemberontakan PKI/FDR di Madiun tahun 1948.
Berikut sekilas riwayat kantor pusat NU dari awal didirikan hingga sekarang:
1. Surabaya
Lengkapnya di Jalan
Sasak Nomor 23 (ada pula yang menyebut Nomor 66, sesuai alamat Majalah Berita
Nahdlatoel Oelama) Surabaya. Di lokasi bangunan yang berdekatan dengan Masjid
Ampel inilah, kantor pusat pertama PBNU berdiri, yang kala itu masih disebut
HBNO (Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama).
Lokasi ini tentu berbeda dengan alamat Jalan Bubutan VI Nomor 2 Surabaya, yang di beberapa sumber menyebutkan sebagai kantor HBNO pertama. Meski mengandung nilai sejarah yang tinggi baik bagi NU maupun Indonesia termasuk ketika dicetuskan Resolusi Jihad 1945, Kantor Jalan Bubutan bukanlah kantor HBNO, melainkan Kantor Pemuda Ansor.
2. Pasuruan
Kedatangan Pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda ke Surabaya, yang kemudian disusul dengan meletusnya Perang Surabaya 10 November 1945, memaksa para pimpinan NU untuk memindahkan kantornya ke daerah lain, yang sekiranya lebih aman.
Saat itu, KH Muhammad Dahlan dari Konsul NU Jawa Timur, diperintahkan untuk memindahkan kantor pusat NU ke Jalan Pengadangan 3, Kabupaten Pasuruan. Dipilihnya Pasuruan selain lokasinya yang dekat dengan Surabaya, juga didukung banyaknya pesantren dan tokoh NU yang ada di sana.
Sementara itu, di berbagai daerah, para anggota NU diakitifeer, bergabung bersama Hizbullah dan Sabilillah ikut mengangkat senjata melawan musuh. Kaum perempuan dari Muslimat pun seakan tak mau kalah, mereka berjuang di garis belakang, dan bahkan ada yang ikut memanggul senjata.
3. Madiun
Untuk kedua kalinya, Kantor NU terpaksa harus ikut hijrah dari Pasuruan ke Madiun. Seperti yang dipaparkan KH Saifuddin Zuhri dalam buku Berangkat Dari Pesantren: “Karena gangguan militer Belanda, akhirnya (NU) hijrah buat kali kedua dari Pasuruan ke Madiun, bertempat di Jalan Dr Sutomo 9 Madiun.”
Gangguan militer yang
dimaksud, yakni Agresi Militer Belanda pertama yang terjadi pada tahun 1947.
Zaman itu lazim disebut sebagai zaman darurat atau zaman Renville. Kepindahan
Kantor NU pusat ini, juga diikuti beberapa banom seperti PB Muslimat NU. Namun,
hanya setahun setelah pindah ke Madiun, menyusul terjadinya pemberontakan
PKI/FDR di Madiun ditambah dengan Agresi Militer Belanda kedua, PBNU
memindahkan kantornya kembali ke Surabaya
4. Jakarta
Setelah melewati berbagai masa sulit, bangsa Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaannya. Ibu kota negara yang sempat dipindah ke Yogyakarta, kini kembali lagi ke Jakarta.
Tahun 1950, kantor pusat NU berpindah ke Jakarta. Selain faktor ibu kota, menurut KH Saifuddin Zuhri, hal ini juga dikarenakan banyaknya tokoh-tokoh PBNU yang berjuang (menjadi menteri dan lain sebagainya) di Jakarta.
Di Jakarta, Kantor PBNU terletak di Jalan Menteng Raya 24, kira-kira 300 m sebelah Timur Stasiun Gambir. Setelah beberapa tahun, kantor pusat NU kemudian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya Nomor 164, yang masih bertahan hingga sekarang.
Pada 2012 lalu, untuk meningkatkan kinerja organisasi PBNU membangun gedung baru di Jalan Taman Amir Hamzah Nomor 5, Menteng, Jakarta Pusat. Gedung empat lantai ini sekarang menjadi lokasi utama kampus Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia, serta sejumlah lembaga dan badan otonom NU. []
(Ajie Najmuddin/dari
berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar