Konflik
Pemikiran di dalam NU (I)
Oleh: Salahuddin Wahid
Berbedaan tafsir suatu ajaran
atau aturan adalah hal lumrah, terjadi banyak organisasi bahkan di dalam
Negara. Namun, bila perbedaan itu amat berbeda atau bertentangan, organisasi
itu akan mengalami guncangan, bahkan mungkin perpecahan jika tidak dikelola
dengan baik. Sebagai contoh, kita bisa melihat Unie Soviet atau Serikat Islam
pada tahun 1930-an.
Didalam
jam’iyyah Nahdlatul Ulama menjelang 1990, terjadi perubahan mendasar di dalam
sekelompok anak muda NU dalam menafsiri ajaran Ahlussunnah waljamaah (Aswaja)
yang menjadi ajaran dasar bagi NU. Perbedaan ini konsekuensi logis dari
banyaknya anak muda NU yang tamat dari berbagai pesantren dan lalu melanjutkan
pendidikan ke perguruan dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk negara Barat dan
Timur Tengah. Mereka mendapat dorongan dan pengayoman serta diilhami ketua umum
PBNU (1984-1999) Abdurrahman Wahid
Aswaja
al-Nahdliyah yang selama ini menjadi ajaran dasar dan acuan berpikir bagi
organisasi NU, tercantum dalam Qonun Asasi yang disusun KH. Hasyim Asy’ari.
Secara sederhana, Aswaja NU dirumuskan sebagai ajaran yang dalam fikih
mengikuti imam 4 ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali). KH. Bisri Mustofa
menambahkan rumusan itu: dalam akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi
dan dalam tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junaidi al-Baghdadi.
Definisi
ulang Aswaja
Pada
1995, Dr, Said Aqiel Siradj (SAS) menyatakan di depan Musyawah Pimpinan PMII
(1995), “Batasan tentang aswaja yang dikemukakan KH. Hasyim Asy’ari itu membuat
kita agak risih, katakana saja cukup memalukan karena kesederhananya”. Pendapat
SAS itu mendapat tanggapan keras dari para ulama NU. Seingat saya, sekitar 1995
pernah dibentuk tim untuk mengkaji dan mengklarifikasi pernyataan SAS itu,
tetapi saya tidak tahu bagaimana akhirnya.
Dalam
pertemuan di Pesantren Sukorejo Asem Bagus, Situbonto, beberapa bulan lalu, ada
pembicaraan yang mengemukakan Kembali pernyataan SAS itu. Bahwa rumusan Aswaja
KH. Hasyim Asy’ari yang dibuat padk 1926 ditunjukkan bagi masyarakat lapisan
bawah yang merupakan mayoritas umat Islam. Tentu rumusan itu harus mudah
diingat, dipahami, dan diikuti umat yang jumlahnya amat besar dan tingkat
pendidikannya belum setinggi pada 1995.
Ternyata,
pengikut Aswaja al-Nahdliyah hasil rumusan KH. Hasyim Asy’ari mencapai sekian
puluh juta. Berarti, Aswaja rumusan KH. Hasyim Asy’ari itu sesuai harapan
masyarakat yang ingin dituju. Jadi, Aswaja rumusan KH. Hasyim Asy’ari itu tidak
memalukan, tetapi jitu dalam membaca harapan masyarakat.
Yang
memalukan justru orang yang tidak mampu memahami untuk siapa dan bagaimana
rumusan sederhana itu dibuat. KH. Hasyim Asy’ari tentu bisa membuat rumusan
canggih, tetapi untuk apa kalau itu tidak dipahami dan tak diikuti orang
banyak.
SAS juga
yakin, nantinya pemikirannya itu akan diikuti orang banyak. Di kalangan NU,
banyak anak muda yang berpikiran liberal dan sebagian membentuk Jaringan Islam
Liberal. Mereka pernah memegang posisi strategis di struktur NU, seperti
pimpinan Lakpesdam.
Saat KH.
Hasyim Muzadi menjadi ketua umum, posisi strategis tak banyak mereka pegang.
Dalam jurnal Tashwirul Afkar edisi No. 17 tahun 2004 menjelang muktamar, untuk
laporan utama mereka menggunakan judul “Simpang Jalan NU”. Edisi ini memuat
tulisan yang menggugat PBNU (1999-2004) yang dianggap terlalu politis. Bisa
juga dimaknai simpang jalan menafsirkan Aswaja.
Selain
SAS, sejak lama, sejumlah anak muda menyatakan perlunya redefinisi konsep
Aswaja NU. Mohammad Luthfi Tomafi (alumnus al-Azhar, Kairo), menulis pada akhir
2002, konsep Aswaja NU sudah terlalu sempit. Pada tataran fikih, keempat mazhab
yang diresmikan NU sudah nyata-nyata tidak mampu menampung kompleksitas
persoalan saat ini.
Di dalam
majalah Tashwirul Afkar itu, Pimpinan Redaksi Imdadun Rahmat menulis, di
jam’iyyah NU, arus ortodoksi dan konservatisme masih belum memberi ruang gerak
kepada anak muda dengan arus transformasinya. Pendapat anak-anak muda NU yang
liberal dianggap tak sesuai dengan “NU otentik”.
Tulisan
lain yang senada dibuat oleh Syafiq Hasyim. Dia menyatakan, akibat
persinggungan dengan modernitas, perlu reinterpretasi bahkan dekonstruksi
terhadap pemahaman Aswaja. Akan dilahirkan corak pemikiran baru yang tetap
berpijak pada khazanah lama, tapi kritis; dan apresiatif terhadap interpretasi
baru, tapi selektif.
Pada
2003, diadakan Muktamar Pemikiran Islam yang digelar sejumlah anak muda NU di
Situbondo. Namun muktamar itu tidak dianggap positif oleh para kiai di Jawa
Timur. Di Muktamar itu, Cak Nur, SAS, Masdar Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, dan
lainnya berbicara. Muktamar itu menyampaikan gagasan yang sejalan dengan
pemikiran sejumlah anak muda NU tadi.
NU Salafi
Di pihak
lain, muncul kelompok yang berseberangan dengan Prof. Nur Syam (Sekjen
Kementerian Agama), yang dalam tulisannya (2008) disebut sebagai NU Salafi,
saya tidak tahu apakah istilah itu tepat.
Dalam
tulisan itu, diterangai pemikiran sebagian kelompok NU menunjukkan
kecenderungan ke arah kanan (fundamental). Itu dilihat dari pergeseran anak
muda NU yang berpikiran progresif dari posisi strategis di Lakspesdam. Dia
menulis, pada 1990-an makin banyak anak muda NU yang belajar ke Timur Tengah
yang punya corak pemikiran keagamaan cenderung ke arah Islam Formal.
Alumni
Timur Tengah ini kebanyakan berpendapat, substansi dan simbol harus sama.
Mereka amat mengapresiasi pelarangan MUI terhadap sekularisme agama. Mereka
juga cenderung mendorong pemerintah melarang Syi’ah dan Ahmadiyah di Indonesia.
Saya
pernah punya pengalaman saat memberikan sambutan pada peringatan 40 hari
wafatnya Gus Dur di Masjid al-Akbar Surabaya. Saya menyampaikan bahwa
pluralisme yang diperjuangkan Gus Dur bukanlah paham yang menganggap semua
agama itu sama dan benar. Kita boleh toleransi dalam masalah sosial, tetapi
tidak boleh toleransi akidah.
Besoknya
seorang kiai menelepon saya dan minta saya tidak usah membela Gus Dur dalam
masalah pluralisme agama. Saya menjawab, ada kekeliruan pemahaman terhadap
pemikiran pluralisme agama yang dipunyai Gus Dur. Pluralisme Gus Dur tidak
menganggap semua agama itu sama dan benar.
Di media
sosial terdapat akun NU Garus Lurus yang sering mengkritik kelompok lain yang
berbeda pendapat dengan cara-cara yang kurang baik. Tentunya keberadaan mereka
tidak bisa kita larang, kita hormati keberadaannya.
Akan
lebih baik bila perbedaan pendapat itu dikomunikasikan secara langsung dengan
kelompok lain yang pendapatnya berlawanan. Perang kata-kata melalui media
sosial memperuncing keadaan dan tidak menyelesaikan masalah. []
REPUBLIKA,
30 Januari 2016
Salahuddin Wahid | Pengasuh Pesantren Tebuireng
Tidak ada komentar:
Posting Komentar