Kamis, 25 Februari 2016

Azyumardi: Politik Pendidikan Tinggi



Politik Pendidikan Tinggi
Oleh: Azyumardi Azra

Mau ke mana pendidikan tinggi Indonesia? Pertanyaan ini patut diajukan karena banyak kalangan kampus, pemikir, dan praktisi pendidikan kian pesimistis terhadap masa depan pendidikan tinggi di Tanah Air. Sebab, politik pendidikan tinggi yang kian bertumpu pada birokratisasi, perguruan tinggi Indonesia tidak memiliki arah yang jelas di tengah kian meningkatnya persaingan.

Satu tahun lebih pendidikan tinggi Indonesia dilepas pengelolaannya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke kementerian baru bernama Kemenristek dan Dikti. Kementerian baru dalam kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini sederhananya bermaksud lebih memajukan pendidikan tinggi, terlepas dari beban berat dan kerumitan pendidikan dasar dan menengah.

Dengan mengambil model pengelolaan di bawah kementerian khusus, kualitas pendi- dikan tinggi diharapkan dapat diakselerasi- kan sehingga lebih kompetitif vis-à-vis pendidikan tinggi negara lain. Hanya dengan pendidikan tinggi berkualitas mumpuni, perguruan tinggi—negeri dan swasta—bisa menjadi lokus pembelajaran dan penelitian inovatif sehingga dapat menjadi ”mesin modernisasi” dan pembangunan demi kemajuan bangsa, seperti terlihat dalam lompatan yang dicapai negara semacam Tiongkok.

Meski demikian, gagasan dan paradigma ini terlihat makin ”jauh panggang dari api”. Nomenklatur kementerian ini saja tidak menggambarkan pemberian prioritas pada pendidikan tinggi. Padahal, pendidikan tinggi di banyak negara bukan hanya sebagai pusat pembelajaran tingkat tinggi, melainkan sekaligus sebagai lokus utama riset. Ada perguruan tinggi di Tanah Air yang mendeklarasikan diri sebagai universitas riset, tetapi kenyataannya—sekali lagi—jauh panggang dari api.

Sebaliknya, dari nama kementerian ini terlihat seolah riset lebih mendapat priori- tas. Realitas menunjukkan, tidak ada pertanda riset mendapatkan perhatian khusus pemerintahan Jokowi-Kalla. Presiden Jokowi hampir tak pernah berbicara substantif tentang arah pengembangan riset negara ini menyongsong tantangan.

Presiden Jokowi juga hampir tidak pernah bicara konseptual tentang pendidikan tinggi. Boleh jadi karena kenyataan itu, Menristek dan Dikti turut belum berbicara konseptual substantif dan strategis tentang pengembangan riset dan pendidikan tinggi Indonesia. Padahal, pendidikan tinggi dan riset memerlukan prioritas khusus jika Indonesia ingin lebih maju dan kompetitif.

Karena itu, tidak jelas bagaimana perguruan tinggi menyelesaikan berbagai masalah serius yang kian membelenggu. Salah satu masalah pokok tersebut adalah birokratisasi yang semakin merampas otonomi perguruan tinggi dan sivitas akademika, khususnya dosen dan profesor. Sebagian birokratisasi berasal dari kebijakan Mendikbud Muhammad Nuh; sebagian lagi bersumber dari Kementerian PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara, serta Kemenristek dan Dikti.

Berbagai ketentuan birokratisasi membuat dosen dan guru besar yang merupakan motor dan dinamisator perguruan tinggi kian kehilangan kebebasan. Sebaliknya, mereka menghabiskan perhatian dan waktu pada urusan tetek bengek terkait administrasi. Kalangan kampus yang kritis menyebut proses birokratisasi itu sebagai ”kolonialisasi” perguruan tinggi oleh kementerian yang menjadikan perguruan tinggi sekadar unit pelaksana teknis kementerian.

Lihat, misalnya, ketentuan tentang kewajiban laporan beban kerja dosen (BKD) yang sejak 2010 dan kian ketat dalam beberapa tahun terakhir. Setiap akhir semester, dosen harus melaporkan kinerjanya dengan menyiapkan berbagai bahan yang bukan tidak menimbulkan banyak kerepotan.

Celakanya, tunjangan (sertifikasi) dosen tidak diberikan selama laporan BKD belum lolos verifikasi berlapis. Dosen senior dan profesor kini lazim tidak menerima tunjang- an berbulan-bulan. Mereka harus hidup dengan gaji pokok sekitar Rp 4 juta atau profesor sekitar Rp 7 juta. Penundaan pembayaran tunjangan jelas tidak manusiawi dan bisa disebut zalim. Penundaan tunjangan juga jelas bertentangan dengan ketentuan perburuhan. Juga bertentangan dengan prinsip Islam, seperti disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang menyerukan kepada majikan: ”bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringat mereka”.

Birokratisasi kurang masuk akal terlihat pula dalam Surat Edaran Menteri PAN dan RB Nomor 1 Tahun 2015 yang mewajibkan semua PNS—termasuk dosen—melaporkan kekayaan setiap kali mendapat promosi. Dosen biasa yang bukan atau tidak pernah promosi menjadi pejabat—yang hidup pas-pasan jika tidak miskin—direpotkan keperluan menyiapkan berkas yang tidak relevan dengan dunia akademik dan keilmuan.

Semua birokratisasi ini jelas mencengkeram dan memupus kebebasan dan otonomi kampus yang menjadi prasyarat bagi perguruan tinggi meningkatkan kualitas sehingga dapat memainkan peran lebih besar bagi negara-bangsa. Jika kita masih berharap perguruan tinggi dapat memainkan peran itu, pendidikan tinggi harus mengalami reformasi, debirokratisasi, atau bahkan dekolonialisasi. Tanpa itu, perguruan tinggi Indonesia tetap jalan di tempat belaka. []

KOMPAS, 23 Februari 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar