Basis Sosial GBHN
Oleh: Yudi Latif
Bola salju wacana restorasi Garis-garis Besar Haluan Negara terus
menggelinding sejak dilemparkan ke tengah publik oleh Ketua Umum PDI Perjuangan
Megawati Soekarnoputri.
Dari berbagai arus pendapat yang berkembang, ada satu dimensi
penting yang luput dari perhatian para pengamat, yakni dimensi sosial sebagai
anteseden tentang perlu atau tidaknya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN)
bagi suatu negara. Pilihan-pilihan hukum-ketatanegaraan dan kebijakan itu
sesungguhnya harus mempertimbangkan faktor-faktor sosiologis, yang justru
sering diabaikan para pemerhati dan pengambil keputusan di negeri ini.
Pilihan model demokrasi
Konsepsi yang menyerahkan rencana (kebijakan) pembangunan kepada
Presiden sesungguhnya bermula sebagai konsekuensi dari tradisi demokrasi
majoritarian. Dalam pandangan mahaguru demokrasi, Arend Lijphart (1999), pola
demokrasi secara garis besarnya bisa dibedakan dalam dua model: majoritarian
democracy (demokrasi yang lebih mengutamakan suara mayoritas) dan consensus
democracy (demokrasi yang lebih mengutamakan konsensus).
Sungguh mengejutkan bahwa dalam wacana (ilmu) politik terdapat
kecenderungan kuat untuk menyamakan demokrasi dengan majoritarian democracy;
gagal mengakui consensus democracy sebagai alternatif yang sama absahnya. Dalam
kenyataannya, Lijphart menunjukkan fakta bahwa jarang sekali negara yang
menjalankan model majoritarian democracy secara murni; boleh dibilang hanya Inggris
Raya, Selandia Baru (hingga 1996), bekas koloni Inggris di wilayah Karibia, dan
dalam taraf yang berbeda juga Amerika Serikat. Kebanyakan pemerintahan
demokratis lebih menganut model konsensus. Lebih dari itu, Lijphart menilai
bahwa consensus democracy jauh lebih demokratis ketimbang majoritarian
democracy dalam banyak hal.
Dengan meminjam argumen dari Arthur Lewis (1965), Lijphart
menunjukkan bahwa penekanan model majoritarian pada majority rule serta pola
pemerintah-versus-oposisi dalam politik bisa ditafsirkan tidak demokratis
karena mengandung prinsip-prinsip pengucilan (exclusion). Perlu diingat,
pengertian pertama demokrasi adalah bahwa "semua yang terpengaruh oleh
suatu keputusan harus memiliki peluang untuk berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan baik secara langsung maupun melalui perwakilan. Pengertian kedua
adalah bahwa "kehendak mayoritas harus menang". Jika hal ini berarti
bahwa partai pemenang boleh membuat seluruh kebijakan pemerintah dan rencana
pembangunan dan yang kalah boleh mengkritik tapi tak boleh ikut memerintah,
maka kedua pengertian itu, menurut dia, tidaklah kompatibel: "mengucilkan
kelompok-kelompok yang kalah dari keikutsertaan dalam pengambilan keputusan
secara nyata melanggar pengertian pertama dari demokrasi".
Meski demikian, ia berpandangan bahwa model majoritarian masih
bisa diterima di bawah dua kondisi. Pertama, pengucilan minoritas bisa
dikurangi jika pemerintahan bisa dimenangkan secara bergantian sehingga
mayoritas dan minoritas bisa silih berganti. Hal ini biasanya berlaku dalam
sistem dwi-partai seperti yang berkembang di Inggris, Selandia Baru, Barbados,
dan juga Amerika Serikat.
Kedua, dalam negara yang masyarakatnya relatif homogen. Dalam
masyarakat seperti itu, partai-partai utama tidaklah terlalu lebar perbedaannya
dalam pandangan kebijakannya (policy outlooks) dan siapa pun yang memimpin tak
akan menghadirkan diskriminasi bagi pendukung partai lawan. Singkat kata,
pengucilan partai lawan (termasuk pendukungnya) dari pemerintahan dan rencana
pembangunan memang tak demokratis dipandang dari kriteria government by the
people, tetapi bilamana kepentingan dan pilihan pemilih secara rasional
dilayani oleh kebijakan partai lain dalam pemerintahan, sistem ini mendekati
definisi government for the people dari demokrasi.
Dalam masyarakat majemuk dan menganut sistem multi-partai, kedua
kondisi tersebut tak terpenuhi. Masyarakat plural ditandai pembelahan
masyarakat secara tajam menurut garis keagamaan, ideologi, bahasa, budaya,
etnis dan ras, hingga membentuk sub-sub masyarakat yang berafiliasi dengan
partai politik, kelompok kepentingan, dan media komunikasinya masing-masing. Di
bawah kondisi seperti itu, fleksibilitas untuk majoritarian democracy tak
tersedia; dengan demikian, model majoritarian bukan hanya tidak demokratis,
tetapi juga berbahaya karena kekuatan-kekuatan minoritas akan terus-menerus
terhalang aksesnya ke dalam kekuasaan dan kebijakan pembangunan sehingga merasa
terkucilkan dan terdiskriminasikan yang akan menghilangkan kesetiaannya pada
rezim pemerintahan, bahkan pada negara.
Dengan perspektif teoretis seperti itu, idealisasi para pendiri
bangsa atas model demokrasi konsensus (demokrasi permusyawaratan) merupakan
pilihan demokrasi yang tepat-guna. Indonesia adalah masyarakat plural dengan
kecenderungan sistem multipartai yang kuat. Dalam kondisi seperti itu, model
majoritarian democracy sulit dibumikan bahkan akan menimbulkan banyak masalah
dalam proses nation-building. Dalam kaitan itu, JS Furnivall (1980)
mengingatkan masyarakat plural sulit menemukan kehendak bersama (common will),
suatu fakta yang membuat pembangunan bangsa dalam masyarakat seperti itu
merupakan suatu proyek muskil. Padahal, rasa pertautan ke dalam suatu entitas
politik bersama merupakan prakondisi bagi demokrasi.
Seperti ditegaskan Dankwart Rustow (1970), persatuan nasional
harus mendahului fase-fase lain dari demokratisasi; diindikasikan oleh adanya
sejumlah besar warga negara yang tidak memiliki keraguan untuk bertaut pada
komunitas politik kebangsaan. Majoritarian democracy yang cenderung
mendiskriminasikan kekuatan-kekuatan minoritas akan semakin menyulitkan
penemuan kehendak bersama dan persatuan nasional dari masyarakat plural. Oleh
karena itu, pilihan pada consensus democracy merupakan pilihan yang bisa
membawa banyak kemaslahatan bagi bangsa Indonesia.
Presiden dan negara kekeluargaan
Di bawah sistematik negara kekeluargaan, Indonesia memilih
demokrasi permusyawaratan dengan lebih menekankan daya-daya konsensus (mufakat)
dalam semangat kekeluargaan. Demokrasi permusyawaratan ini berusaha mengatasi
paham perseorangan dan golongan. Yang dihindari bukan saja dikte-dikte diktator
mayoritas, melainkan juga dikte-dikte tirani minoritas dari oligarki elite
penguasa dan pengusaha. Dalam ungkapan Soekarno, demokrasi kita janganlah
mengikuti model "mayorokrasi" dan "minorokrasi".
Di dalam negara kekeluargaan dengan demokrasi konsensus ala
Indonesia, kebijakan dasar (rencana) pembangunan tidaklah diserahkan kepada
presiden sebagai ekspresi kekuatan majoritarian. Kebijakan dasar rencana
pembangunan harus dirumuskan bersama melalui mekanisme konsensus seluruh
representasi kekuatan politik rakyat dalam suatu lembaga perwakilan terlengkap,
yakni Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dengan kata lain, presiden tidak
mengembangkan politik sendirian, tetapi haru menjalankan prinsip-prinsip
direktif yang ditetapkan MPR dalam suatu GBHN.
GBHN memiliki fungsi penting dalam mewujudkan konsepsi negara
kekeluargaan dan kesejahteraan. Selain memberikan prinsip-prinsip direktif yang
memberikan haluan pembangunan nasional secara menyeluruh (semesta), bertahap
dan berencana, GBHN juga memiliki fungsi alokatif dalam pendistribusian sumber
daya ekonomi. Di dalam sistem kapitalisme, fungsi alokasi sumber daya strategis
diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar. Dalam sistem etatisme, fungsi
alokasi sumber daya diserahkan pada pusat komando diktatorial. Dalam sistem
Pancasila, alokasi sumber daya tidak hanya tunduk pada mekanisme-mekanisme
tersebut, melainkan juga melalui mekanisme permusyawaratan rakyat dalam MPR.
Orde Reformasi tampaknya cenderung hendak meniru sistem AS, tetapi
"salah arah" karena tidak mengadopsinya secara konsisten. Setelah MPR
dijatuhkan posisinya dari lembaga tertinggi, kewenangannya dalam menyusun GBHN
juga ditiadakan. Sebagai gantinya, muncul Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional (RPJPN) yang ditetapkan dengan UU. RPJPN ini kemudian diturunkan ke
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk periode lima tahunan
dengan memberikan kesempatan kepada Presiden untuk menentukan platform politik
pembangunannya tersendiri sesuai dengan janji kampanye.
Masalahnya, karena RPJP ini ditetapkan oleh UU, presiden ikut
serta dalam merumuskan ketentuannya. Setelah itu, karena presiden juga diberi
kewenangan menetapkan platform pembangunan, Presiden juga yang menjalankan UU
itu dan menetapkan anggarannya. Dan akhirnya, karena tidak ada mekanisme
pertanggungjawaban kepada MPR, presiden juga yang mengawasi pelaksanannya.
Alhasil, jika presidennya tidak amanah, mudah sekali kebijakan pembangunan di
negeri ini jatuh ke tangan kepentingan perseorangan yang dapat merugikan
kepentingan nasional.
Hal ini amat berbeda dengan sistem pemerintahan yang dijalankan di
AS. Di sana, meskipun presiden diberikan wewenang untuk menetapkan platform
kebijakannya, fungsi Kongres (MPR) dalam menentukan anggaran lebih kuat. Sesuai
sistem pemisahan kekuasaan, baik Senat maupun DPR di AS harus sama-sama
menyetujui anggaran, kemudian ditandatangani Presiden AS. Jika Presiden tidak
setuju atas rancangan anggaran yang ditetapkan Kongres, Presiden bisa
memvetonya, dan rancangan anggarannya dikembalikan ke Kongres. Di Kongres, veto
tadi dapat dibatalkan dengan dua pertiga suara menolak. Dengan demikian, final
say tentang anggaran itu tetap ada di Kongres yang bisa menjadi alat kendali
bagi kebijakan rencana pembangunan yang dicanangkan presiden.
Selain itu, fakta juga menunjukkan bahwa sekalipun Presiden RI
memenangkan dukungan mayoritas popular vote, dalam kenyataannya tak pernah
mudah menguasai parlemen. Solusinya, Presiden sering tergoda membentuk kabinet
dengan koalisi lebar tanpa kesamaan basis ideologis. Koalisi yang terbentuk
bersifat pragmatis, yang menyimpang dari prinsip-prinsip deliberatif demokrasi
konsensus yang mesti bersifat inklusif, imparsial, dan berorientasi jauh ke
depan. Dengan pragmatisme, menteri-menteri dari ragam partai mengembangkan
loyalitas ganda. Kementerian-kementerian tampil bak negara dalam negara karena
kebijakannya sering kali tak taat asas terhadap platform pembangunan yang
digariskan presiden ataupun terhadap tujuan dan fungsi negara. Untuk
menghindari itu, lebih baik semua elemen kekuatan politik tunduk pada
prinsip-prinsip direktif GBHN, disertai adanya mekanisme pertanggungjawaban
atas pelaksanaan haluan negara itu.
Lebih dari itu, keberadaan GBHN sangat penting manakala
pembangunan Indonesia saat ini dihadapkan pada problem diskontinuitas dan
diskonektivitas. Para pengambil keputusan politik terjebak pada kepentingan jangka
pendek dan terfragmentasi menurut garis kepartaian dan kedaerahan. Dengan
kondisi seperti itu, pilihan-pilihan kebijakan sering bersifat tambal-sulam dan
parsial; mengabaikan pilihan-pilihan strategis yang bersifat fundamental dan
integral, yang memerlukan kesinambungan dan keterpaduan berjangka panjang.
Kesadaran untuk menghidupkan kembali GBHN tampaknya mendapatkan sokongan arus
bawah yang kuat. Meski demikian, perlu diingatkan bahwa format dan isi GBHN
tidaklah harus sama dan sebangun dengan versi terdahulu. Kandungan GBHN
cukuplah berisi pedoman-pedoman dasar (guiding principles) atau arahan-arahan
dasar (directive principles) yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam
merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin dan terencana.
[]
KOMPAS, 12 Februari 2016
Yudi Latif | Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar