Sentimentil Kecil di Kegaduhan Besar
Oleh:
Dahlan Iskan
Saya
tidak bisa tidak sentimentil menerima SMS ini Sabtu kemarin. Pengirimnya orang
di pedalaman Siak, Riau.
Dia mengabarkan, Kota Siak Sri Indrapura, ibu
kota Kabupaten Siak, segera terang benderang. Berlistrik.
Dia ingat ketika saya ke Siak. Berita yang
beredar setelah itu, saya lagi gundah, mengapa kabupaten begini kaya dengan migasnya
sering gelap tanpa listrik. Sangat kontras dengan gegap gempita pembangunan
kotanya.
Bupatinya memang luar biasa. Dia bangun
jembatan ”golden gate” yang megah di atas Sungai Siak yang begitu besar. Dia
bangun gedung-gedung dan kota baru.
Dia bangun hutan kota yang terencana baik.
Tapi, dia tidak bisa mengatasi listrik karena tidak punya wewenang untuk
mengatasinya. Jadilah ironi yang sempurna. Gedung-gedung megah yang muram di
waktu malam.
Saya diajak pak bupati untuk mendiskusikannya.
Lalu, saya tahu, sebenarnya ada sumber gas. Kecil-kecil. Tidak ekonomis untuk
dimanfaatkan dengan cara lama.
Puluhan tahun sumber gas itu dibiarkan. Saya
ajak pak bupati untuk meninjaunya. Dengan menggunakan mobil dinasnya, tapi saya
yang mengemudikannya. Sulitnya, bupati juga tidak punya wewenang di bidang
migas.
Tapi, ironi daerah kaya migas yang gelap harus
dipecahkan. Berbagai terobosan harus dilakukan. Minggu lalu gas-gas kecil itu
berhasil disalurkan ke mesin pembangkit listrik.
Hari-hari ini, kata SMS itu, uji coba untuk
menghidupkan pembangkit dilakukan. Lumayan besar untuk ukuran Siak: 25 mw.
Yang menyenangkan: Gas yang muncul di Siak bisa
untuk melistriki Siak. Saya begitu sentimentil menerima SMS tersebut.
Sama dengan ketika saya menerima SMS dari Bintuni,
satu kota di Papua Barat. Waktu dulu saya ke sana, kota itu sedang gelap. Yang
kelihatan terang justru daerah di seberang laut sana.
Terangnya bukan main. Padahal, daerah seberang
laut itu sangat jauh: 70 km dari Bintuni. Itulah Tangguh. Kaya gas untuk
diekspor ke Tiongkok dan Jepang.
Puluhan tahun penduduk Bintuni melihat cahaya
di kejauhan itu dari kegelapan kotanya. Saya begitu sentimentil ketika menerima
SMS bahwa sebagian terang dari Tangguh tersebut bisa dialirkan ke Bintuni.
Dengan cara yang langka: membangun kabel listrik di bawah laut.
Dari Papua, saya juga menerima SMS yang lain:
Minggu lalu Bapak Presiden Jokowi meresmikan pabrik sagu di Papua Barat yang
dibangun Perhutani.
Itulah pabrik sagu pertama di pulau yang hutan
sagunya jutaan hektare. Sebuah ironi lama yang juga memberikan new hope.
Saya memang masih belum tahu kelanjutan proyek
raksasa di pedalaman Wamena. Sebuah PLTA yang akan bisa melistriki sembilan
kabupaten di pegunungan Papua.
Yang saya dengar, justru mengapa ada dua usulan
PLTA yang lain, yang kini heboh itu.
SMS berikutnya dari Ricky Elson. Minta ketemu.
Bersama tim motor listriknya. Begitu banyak kemajuan yang diperoleh.
Baik untuk pengembangan riset mobil listrik
maupun kincir listrik anginnya. Berbinar-binar saya mendengarkan semangatnya.
Mengalahkan semangat saya.
Sesekali saya sungguh merasa terhibur dengan
SMS seperti itu. Terutama di saat banyaknya berita gaduh yang menjengkelkan.
(*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar