Populisme
Oleh: Budiarto Shambazy
Dua bakal calon Presiden Amerika Serikat, Donald Trump (Republik)
dan Bernie Sanders (Demokrat), populer di mata publik karena branding sebagai
tokoh yang anti kemapanan politik di Washington DC. Mereka memakai metode
contrasting memisahkan diri dari capres-capres lain yang menyandang predikat
dan beban sebagai "politisi mapan".
Cara ini cukup berhasil karena sebagian publik kecewa terhadap
pemerintahan Presiden Barack Obama yang dianggap lemah dalam kepemimpinan
global, menjalankan big government, membuat ekonomi terpuruk, dan seterusnya.
Menurut survei Gallup, job approval Obama sepanjang Januari-Februari 2016
berkisar hanya 46 persen sampai 49 persen.
Kekecewaan itu dimanfaatkan dan juga dimanipulasi oleh Trump,
miliarder yang tak memiliki latar belakang politik. Ironisnya, Republik justru
mulai khawatir dengan slogan-slogan kampanye Trump yang populis, yang
menyimpang dari konservatisme partai.
Sedangkan Sanders lebih dipandang sebagai politisi independen yang
meminjam tiket dari Demokrat. Mirip seperti Trump, Sanders juga membuat partai
agak panik karena dalam kampanye kerap tampil sebagai tokoh kiri, sosialis, dan
progresif.
Sanders senator yang pernah menjadi wali kota, sementara Trump
belum pernah menjadi pejabat publik. Trump dan Sanders membangkitkan animo
publik memilih presiden yang populis dibandingkan calon-calon yang
"dia-dia lagi" seperti Jeb Bush yang adalah adik George HW Bush, atau
Hillary Clinton.
Populisme lebih kurang bermakna berpihak kepada kepentingan
publik, bukan elite politik atau pemerintah. Itulah yang diperlihatkan Trump
yang memenangi pemilihan awal di New Hampshire atau Sanders yang "bermain
imbang" melawan Clinton di Kaukus Iowa.
Trump berjanji akan mengusir imigran gelap asal Meksiko sekaligus
membangun tembok di perbatasan AS-Meksiko. Sebagai seorang sosialis, Sanders
bertekad menggelontorkan dana gratis, seperti untuk jaminan kesehatan dan uang
kuliah untuk rakyat tidak mampu.
Sanders bangga dengan dana kampanye yang berasal dari urunan
pendukung yang mencapai 27 dollar AS per orang, sementara Trump merogoh
koceknya sendiri untuk dana kampanye. Trump mengancam akan membuat takluk
Tiongkok dan Jepang dalam persaingan ekonomi global, Sanders mengutip Swedia
sebagai "negara kesejahteraan" yang layak ditiru.
Kampanye "politik eceran" (retail politics) yang pro
rakyat, terinci, dan radikal inilah yang rupanya mulai diminati publik. Bukan
soal siapa yang akan memenangi Pilpres AS, tetapi populisme menjadi gejala
menarik dalam kampanye kali ini.
Kita sendiri sedikit banyak telah menyaksikan kelahiran populisme
ketika Jokowi memenangi Pilpres 2014. Ternyata kampanye blusukan langsung ke
kantong-kantong persoalan di kalangan rakyat lebih diminati publik ketimbang
mewacanakan tentang ideologi, NKRI, dan hal-hal yang berbau "empat pilar".
Seperti Trump di Washington DC, Jokowi seorang outsider yang
kurang dikenal elite Jakarta. Untuk kasus kita di Indonesia, magnet Jokowi
telah memicu kebangkitan pemimpin-pemimpin baru dari daerah yang bakal
mengguncang panggung nasional seperti Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama, Wali
Kota Surabaya Tri Rismaharini atau Wali Kota Bandung Ridwan Kamil.
Dan, suka atau tidak, publik kita mulai gemar kepada
pemimpin-pemimpin baru yang kurang terafiliasi dengan partai. Mulai tampak
gejala "deparpolisasi alamiah" akibat akumulasi kekecewaan publik
terhadap partai yang dianggap "begitu-begitu saja".
Dengan kata lain, para pemimpin baru dan publik akan menjauh dari
partai. Dan, sesungguhnya ini bukanlah sesuatu yang baru terjadi pada era
Reformasi ini.
Pada dekade 1950, bahkan seorang Presiden Soekarno menegaskan akan
"mengubur hidup-hidup" partai. Pada awal Orde Baru, sebagian dari
jenderal-jenderal pendukung Presiden Soeharto sempat mewacanakan sistem
dwipartai untuk membatasi peranan partai.
Dan, kita tahu Presiden Soeharto akhirnya "membonsai
partai" lewat fusi pada awal 1970-an dengan mengurangi jumlah partai
menjadi Golkar, PDI, dan PPP. Mungkin era Jokowi ini bisa menjadi penanda
terulangnya sejarah kedengkian publik terhadap partai?
Kini tinggal partai-partai sendiri yang berhak menentukan masa
depan mereka. Dalam kenyataannya dua partai yang berdiri sejak Orde Baru, yaitu
Golkar dan PPP, masih dirundung perpecahan yang belum selesai.
Sedangkan partai terbesar pendukung duet Jokowi, PDI-P, terkadang
malah kelihatan beroposisi terhadap pemerintahan. Pada kubu lain, keberadaan
Koalisi Merah Putih (KMP) semakin mengundang tanda tanya setelah partai
anggotanya satu per satu secara bergiliran menyatakan dukungan terhadap
pemerintah.
Sekadar mengingatkan, popularitas Jokowi menurut survei harian ini
mencapai sekitar 84 persen. Semoga saja ini bukan petunjuk arah bagi
partai-partai bahwa mereka menuju ke jurang yang curam dan dalam. []
KOMPAS, 20 Februari 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar