KH. Abdul Wahab
Chasbullah, Perintis Tradisi Intelektual NU
Profil Singkat
Lahir: Maret 1888, di
Tambakberas, Jombang, Jawa Timur
Wafat: 29 Desember
1971
Pendidikan: Pesantren Langitan Tuban; Pesantren Mojosari, Nganjuk; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Bangkalan, Madura; Pesantren Tebuireng, Jombang; Makkah Mukkaramah
Pengabdian: Pendiri Tashwirul Afkar, Nahdatul Wathan, Syubbanul Wathan, dan Nahdlatul Ulama; pendiri SI Cabang Makkah ; pemrakarsa Komite Hijaz; Rois' Am PB Syuriyah NU.
Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok KH. Abdul Wahab Chasbullah, tokoh sentral pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Untuk lebih mendekati kebenaran, kita harus pinjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyebut kyai Wahab sebagai "kyai merdeka". Dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling. Bukan "pak turut", kata almarhum Kyai Haji Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai cara berbicara, berjalan dan berpakaian beliau tidak menjiplak orang lain.
Di zaman revolusi, baju kesayangannya adalah potongan safari lengan panjang berwarna khaki dengan kemeja putih yang lehernya dikeluarkan, persis tokoh-tokoh muda zaman sekarang. Tetapi ini yang penting, tetap mengenakan sarung dan serban. Pakaian semacam itu dikenakan pada waktu berada di parlemen, Istana Presiden atau di front pertemuan. Pendirian politiknya maupun pendirian hukum agamanya dikemukakan tanpa ragu-ragu, jelas dan terbuka. Tidak gentar menghadapi reaksi dari mana pun. Jika menurut keyakinannya sesuai dengan hukum Islam, dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.
Profil kyai amat berpengaruh ini seolah memberikan penegasan bahwa:
Pertama, Kyai Wahab adalah ulama pesantren tulen dengan ciri khas mengenakan kain sarung dan serban. Kemana saja pergi, beliau selalu mengenakan kedua pakaian itu, hatta ketika berada di medan perang sekalipun. Mengenai serban ini, menurut penuturan KH. Saifuddin Zuhri, ada anekdot menarik.
Suatu ketika, Kyai Wahab berbicara dalam sidang parlemen. Sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu membetulkan letak serbannya. Pada saat itu ada mulut usil nyeletuk, "Tanpa serban kenapa sih?" Sambil menunjuk serbannya, Kyai Wahab kontan menjawab, "Serban Diponegoro!" Ketika berdiri di podium sang kyai, sambil menunjuk serbannya berkata, "Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar, semuanya pakai serban." Karuan saja ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen;
Kedua, Kyai Wahab
adalah seorang intelektual yang salah satu cirinya adalah berjiwa bebas,
berpikir merdeka dan tidak mudah terpengaruh lingkungan; dan
Ketiga, Kyai Wahab adalah seorang politisi kawakan yang dekat dengan presiden. Di samping, tentu saja sebagai seorang pejuang, karena beliau berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang.
Intelektualitas dan
Joke
Pengembaraan intelektual Kyai Wahab mempunyai benang merah yang jelas dan bisa ditelusuri melalui berbagai aktivitas beliau sepanjang hidupnya. Dimulai dengan mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914 bersama KH. Mas Mansur, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, sampai memberikan inspirasi dan sekaligus membidani lahirnya Nahdlatul Ulama.
Yang dirintis oleh Kyai Wahab sekitar tahun 1920 dengan mengadakan kontak dan kerjasama dengan Dr. Soetomo di dalam Islam Studie Club adalah cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerjasama antara kekuatan Islam dan nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa. Bukanlah seorang intelektual jika Kyai Wahab tidak bisa memecahkan persoalan-persoalan pelik dengan spontan, cerdas dan memiliki joke-joke dan humor yang tinggi. Dalam hal yang satu ini Kyai Wahab adalah jagonya.
Ketika terjadi perdebatan di kalangan tokoh Masyumi mengenai ikut atau tidaknya dalam Kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan Persetujuan Renville yang ditolak Masyumi, Kyai Wahab tampil memecahkan persoalan disertai joke-joke jitu. Kyai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat dalam Kabinet Hatta. Pertimbangannya jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih mudah menentang kebijaksanaan kabinet tersebut. Forum ternyata menyetujui usul itu setelah melalui perdebatan seru.
Kyai Haji Raden Hajid tokoh Muhammadiyah, menanyakan kepada Kyai Wahab, "Setiap calon menteri yang akan duduk dalam kabinet tersebut harus mempunyai niat bagaimana?". Dijawab Kyai Wahab, "Niatnya I'zalul munkarat (melenyapkan yang mungkar)." "Kalau begitu, niatnya harus dilafalkan," usul Kyai Hajid. Dengan spontan Kyai Wahab menimpali, "Mana dalil al-Qur'an dan haditsnya mengenai talaffuzh bin niyyat (melafalkan niat)?" Serentak hadirin tertawa riuh. Sebagaimana diketahui kedua tokoh ini mewakili dua organisasi yang berbeda pendapat dalam harus atau tidaknya mengucapkan lafal niat (ushalli) dalam shalat; pengikut NU selalu melafalkan niat, sedangkan Muhammadiyah tidak. Lha kok dalam masalah Renville ini menjadi terbalik, jadi lucu terdengarnya.
Kecil tetapi Gagah
Kyai Wahab selalu dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan berwibawa. Kulitnya sedikit hitam, tetapi tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih. Konon Kyai ini sulit untuk marah dan dendam karena sifat dan penampilannya yang humoris. "Meskipun orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah," kata Kyai Haji Saifuddin Zuhri, salah seorang pengagumnya. Selanjutnya dilukiskan oleh Kyai Saifuddin Zuhri bahwa Kyai Wahab adalah ulama dengan pengetahuan yang sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran yang mempesona. Kyai Wahab bukan termasuk golongan ulama "klise" karena tindak tanduk dan tutur katanya orisinal, keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Tidak pernah beliau merasa canggung berbicara di muka ribuan manusia sekalipun dengan dilakukan mendadak, tetapi juga tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni cuma sedikit orang. Kecerdasan otaknya dilengkapi dengan retorika yang baik, menjadikan setiap uraiannya terdengar menarik. Topik pembicaraannya bisa dari masalah bela diri pencak sampai bom atom, dari onderdil mobil sampai masalah aparatur negara, dari masalah kasidah dan perwayangan hingga masalah land reform dan sosialisme.
Bagi warga NU, Kyai Wahab tidak sekadar bapak dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, melainkan sebagai simbol dalam banyak hal, dari tradisi intelektual di kalangan ulama pesantren sampai lambang pemersatu. Diceritakan bahwa Kyai Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan hartanya dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut Kyai Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang tidak diperhitungkan orang sampai menjadi partai politik dan jam'iyah Islam terbesar di Indonesia.
Lahir dan Besar di
Pesantren
Kyai Wahab lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah pada bulan Maret 1888 di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama dari Jombang, yaitu Kyai Haji Hasyim Asy'ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan Kyai Abdussalam. Konon jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.
Sepeninggal isteri pertamanya di Mekkah sewaktu menjalankan ibadah haji tahun 1921, Kyai Wahab memperisteri Alawiyah, puteri Kyai Alwi. Setelah memperoleh seorang anak, isteri keduanya ini pun meninggal. Sesudah itu Kyai Wahab pernah tiga kali menikah, tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak. Kemudian kawin lagi dengan Asnah, puteri Kyai Said, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya Kyai Nadjib (almarhum) yang melanjutkan mengasuh Pesantren Tambakberas.
Setelah Asnah meninggal, Kyai Wahab menikah dengan Fatimah, anak Haji Burhan dan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri, diantaranya Kyai Haji A. Sjaichu. Setelah itu Kyai Wahab pernah kawin dengan Masmah, memperoleh seorang anak. Kawin dengan Ashikhah, anak Kyai Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir Kyai Wahab memperisteri Sa'diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada 1971 dan memperoleh lima orang anak.
Seperti kebanyakan pola hidup yang diterapkan dipesantren, Kyai Wahab juga menganut pola hidup sederhana, meskipun dia tidak bisa digolongkan sebagai tidak berkecukupan. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, Wahab berdagang apa saja asal halal. Diantaranya pernah berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Kebanyakan dari bidang usahanya itu dipercayakan kepada orang lain dengan cara bagi hasil.
Bekal utama bagi pendidikan Wahab kecil yang diberikan sendiri oleh ayahnya adalah pelajaran agama dan membaca al-Qur'an serta tasawuf. Baru sesudah dipandang cukup, Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan, Tuban; Mojosari, Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh; Pesantren Cepoko; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, dan langsung berguru kepada Kyai Cholil yang masyhur itu. Oleh Kyai Cholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng, Di berbagai pesantren inilah kehidupan Wahab ditempa dan dia mempelajari banyak kitab penting keagamaan sampai mahir betul.
Pada usia 27 tahun Kyai Wahab meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Di kota suci itu dia bertemu dan kemudian berguru dengan Ulama-Ulama terkenal diantaranya Kyai Machfudz Termias, Kyai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asya'ri Bawean, Syaikh Said al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kyai Wahab. Melihat riwayat pendidikannya tersebut, tidak heran jika di kalangan Ulama dan para pejuang sebayanya waktu itu Kyai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.
Sebagai
Pemikir-Pejuang
Bakat kepemimpinan
dan kecerdasan Kyai Wahab Chasbullah
sesungguhnya sudah mulai tampak di pesantren. Di sela-sela kegiatan belajar, Wahab memimpin kelompok belajar dan diskusi santri secara
rutin. Dalam kelompok itu dibahas masalah sosial kemasyarakatan, di samping
pelajaran agama. Tidak heran jika sepulang dari berbagai pesantren, Kyai Wahab sama sekali tidak canggung terjun ke masyarakat,
mempraktikkan apa yang sudah dipelajari.
Melihat kenyataan
sosial yang waktu itu sedang dalam tekanan penjajah Belanda dengan berbagai
akibatnya, Kyai Wahab berpikir keras bagaimana dapat
menyumbangkan pikirannya yang progresif untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah
kemudian Kyai Wahab melakukan kontak dengan
teman-teman belajarnya, baik sewaktu di pesantren maupun ketika menuntut ilmu
di Tanah Suci untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya bersama Kyai Mas Mansur
kawan mengaji di Mekkah, dia membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar
(Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan
kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir
dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai
jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi
sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk
mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya
menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum
saling tukar informasi antar tokoh nasionalis
sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari
posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur.
Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa. Tampaknya kelompok
ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang
muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsa kelompok ini memasukkan
unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Karena sifat rekrutmennya
yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula
kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang
gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik. Bersamaan dengan itu, dari
rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab masih
bersama Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916.
Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat
kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran
dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai M. Bisri Syansuri
Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai
Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma'shum dan Kyai Cholil
Lasem . Di kalangan pemudanya disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang di
dalamnya, antara lain ada nama Abdullah Ubaid. Dalam kelompok inilah Kyai Wahab mulai memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran
berdasarkan keagamaan dan nasionalisme. Sayang sekali hanya karena perbedaan
khilafiyah saja duet Wahab-Mas Mansur harus retak
dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas Islam
atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan berbicara lain. Perbedaan
pandangan dengan Mas Mansur tidak menjadikan Wahab
mundur dari penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang
bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus
melakukan kontak dengan tokoh-tokoh
pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri
Al-Irsyad, Syaikh Achmad Syurkati di Surabaya misalnya, Kyai Wahab tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah
keagamaan. Sedangkan dengan tokoh pendiri
Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Wahab sering
bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya. Dan ketika kaum
terpelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum
pergerakan, Kyai Wahab tidak menyia-nyiakan
kesempatan untuk memanfaatkan forum tersebut. Dalam forum inilah Kyai Wahab berkawan akrab dengan Dr. Soetomo dan lain-lain.
Tidak bisa disangkal
lagi bahwa melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan,
maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal seperti ini menimbulkan dampak
makin bergelora semangat cinta tanah air di kalangan pemuda. Akan tetapi juga
tidak bisa dihindari, karena terjadinya gesekan kepentingan dan makin
menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh
agama, timbul polarisasi yang tajam di kalangan mereka, meskipun tidak sampai
mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita memerdekakan
Indonesia. Kyai Haji Mas Mansur misalnya' harus kembali ke organisasinya,
Muhammadiyah dan Kyai Wahab terus melanjutkan
penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.
Kristalisasi di
kalangan organisasi tersebut makin keras bersamaan dengan munculnya khilafat
baik di Turki maupun di Saudi Arabia yang kemudian ditarik garis lurusnya yang
bermuara pada masalah perselisihan paham keagamaan. Yaitu terjadinya
perselisihan antara paham Islam bermazhab dan tidak bermazhab.
Menjawab tantangan
yang diakibatkan oleh perselisihan ini pada mulanya tokoh-tokoh seperti Kyai Wahab, HOS.
Cokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim dan Kyai Mas Mansur sendiri masih
menampung seluruh aspirasi umat dengan cara sebaik-baiknya. Akan tetapi, ketika
menentukan siapa yang harus berangkat ke Kongres Khilafat di Timur Tengah,
situasi makin meruncing. Buntut dari diabaikannya keterlibatan ulama pesantren
dalam Kongres Khilafat itu, muncullah kelompok yang di kemudian hari terkenal
dengan Komite Hijaz.
Komite ini mengirimkan delegasi ke Mekkah, terdiri atas Kyai Wahab dan Syaikh Ghanaim, yang akhirnya berhasil menggolkan
misinya di hadapan Raja Saud.
Perjuangan Politik
Akhirnya sampailah
pada saat yang amat bersejarah, yaitu ketika pada 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz,
diantaranya Kyai Wahab, Kyai M. Bisri Syansuri, Kyai
Ridwan Semarang, Kyai Haji Raden Asnawi Kudus, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai
Nachrowi Malang dan Kyai Alwi Abdul Aziz Surabaya,
berembuk dan menyimpulkan dua hal pokok:
Pertama, mengirimkan delegasi
ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Saud agar
hukum-hukum menurut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) mendapat
perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya; dan
Kedua, membentuk suatu
jam'iyah bernama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya
syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab tersebut.
Nama Nahdlatul Ulama
diusulkan oleh Kyai Haji Alwi Abdul Aziz Surabaya.
Ketika penyusunan kepengurusan, Kyai Wahab konon
tidak bersedia menduduki jabatan Rois
Akbar dan merasa cukup dengan jabatan Katib 'Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Jabatan
tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada Kyai Haji Hasyim Asy'ari Jombang,
sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo.
Demikianlah,
Nahdlatul Ulama telah lahir. Dalam waktu yang relatif singkat 10 tahun,
organisasi yang semula hanya berlingkup lokal Surabaya ini bisa melebarkan
sayapnya dan diterima oleh kalangan ulama di seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai
ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Ini semua berkat
kegigihan para ulama menyebarkan ide-ide keagamaan dan kemasyarakatannya,
terutama melalui jaringan pesantren. Lima tahun kemudian kiprah Nahdlatul Ulama
tidak hanya terbatas pada masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara
tradisional, tetapi sudah mulai mengadopsi model pendidikan Barat dengan
mendirikan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, mendirikan koperasi dan
menggalang ekonomi rakyat pedesaan di bidang pertanian, nelayan dan usaha kecil.
Di bidang politik NU memunculkan tokoh-tokoh muda yang berpikiran modern, seperti Kyai Wahid Hasyim, Kyai
Masykur, Zainul Arifin, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri. Pada masa pasca
proklamasi andil Kyai Wahab baik dalam kancah
politik nasional maupun pengembangan organisasi NU sangat menonjol. Pada awal
kemerdekaan, Kyai Wahab bersama kaum pergerakan
lainnya seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, Dr. Rajiman
Wedyodiningrat, duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, kemudian berkali-kali
duduk dalam kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Akan tetapi peran
paling menonjol dari Kyai Wahab dalam hal ini adalah
sebagai negosiator antara kepentingan NU dan pihak pemerintah. Tidak heran
dengan fungsinya itu Kyai Wahab sangat dekat dengan
presiden dan pejabat tinggi lainnya. Dalam intern NU sendiri puncak karier Kyai
Wahab adalah ketika bersama-sama tokoh muda lainnya seperti Kyai Wahid Hasyim dan Idham Chalid
menjadikan NU sebagai partai politik bersaing dengan partai lainnya yang lebih
dahulu mapan dalam gelanggang politik Indonesia dan diterima secara bulat dalam
Muktamar NU tahun 1952.
Pada waktu itu
situasi hubungan antara NU dan Masyumi dan juga tokoh-tokohnya
amat tegang. Meskipun Dr. Sukiman sendiri menyaksikan peristiwa keluarnya NU
dari Masyumi, hal itu tidak cukup untuk mengatasi situasi tersebut. Situasi
ragu dan tegang juga menghantui pengikut dan pimpinan NU yang semula duduk dan
aktif dalam Masyumi. Dalam situasi seperti itu, Kyai Wahab
tampil dengan sikap khasnya, yaitu tegas dan berwibawa.
Katanya, "Siapa
yang masih ragu, silakan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri partai
ini (NU). Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan Tuan-tuan silahkan lihat
apa yang akan saya lakukan!"
Beberapa tahun
kemudian, dalam Pemilu 1955 NU keluar sebagai salah satu partai terbesar di
samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang Kyai Wahab
bukan satu-satunya tokoh yang berperan dalam
membesarkan NU, akan tetapi peranan Wahab amat
menonjol. Dalam hal ini yang lebih menarik untuk dilihat adalah konsistensi
Kyai Wahab dalam merealisasikan gagasan sejak dia
merintis munculnya tradisi keilmuan melalui kelompok diskusi, penggalangan
solidaritas antara sesama kaum agama dan antara kaum agama dengan tokoh-tokoh nasionalis, Sampai
penggalangan Ulama pesantren dalam mendirikan NU.
Kyai Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang
baik dalam kancah pergolakan dan turun naiknya politik Islam, mulai dari
pembentukan MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik
Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam tersebut. Di sini Kyai Wahab terlibat dalam pergumulan dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti Kyai Mas
Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto,
Amir Syarifuddin dan lain-lain.
Tradisi Jurnalistik di NU
Bukan Kyai Wahab jika tidak memutar otak, selalu "gelisah" mencari
cara mewujudkan cita-citanya. Bersama tokoh NU
lainnya, Kyai Wahab pernah membeli sebuah percetakan
beserta sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya.
Dari sini kemudian dia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini
dilandasi oleh pemikiran Wahab yang sesungguhnya
amat sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan
efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di
pesantren.
Mulai saat itu
diterbitkan majalah tengah bulanan Suara Nahdlatul Ulama. Selama tujuh tahun
majalah ini dipimpin oleh Kyai Wahab sendiri. Teknis
redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kyai Mahfudz Siddiq
dan menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Disamping itu terbit pula Suluh Nahdlatul
Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Lalu Terompet Ansor dipimpin oleh Tamyiz
Khudlory; dan majalah berbahasa Jawa Penggugah, dipimpin oleh Kyai Raden
Iskandar yang kemudian digantikan oleh Saifuddin Zuhri. Dari tradisi
kepenulisan ini NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa
Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar
prestisius seperti Duta Masyarakat.
Tidak salah lagi,
Kyai Wahab adalah pemegang andil terbesar dalam
meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor; dari mulai
tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah organisasi
NU, jurnalistik, sampai siasat bertempur di medan laga. Dalam hal yang terakhir
ini ucapannya yang paling populer adalah, "Kalau kita mau keras harus
punya keris." Keris dalam hal ini diibaratkan Kyai Wahab
sebagai suatu kekuatan, kekuatan politik, militer dan batin. Itulah sebabnya
Kyai Wahab juga gigih dan terjun sendiri bersama pasukan Hizbullah (di
bawah pimpinan Kyai Haji Zainal Arifin), pasukan
Sabilillah (di bawah pimpinan Kyai Haji Masykur) dan Barisan Kyai
(yang dipimpin sendiri) dalam berperang melawan penjajah.
Kyai Wahab juga dikenal jago bersilat dan ber-"wirid". Konon
di mana-mana Kyai Wahab menyebar ijazah, macam-macam
Hizb, doa dan wirid kepada seluruh warga
NU dan siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Beliau ternyata bukan hanya
berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena
"wirid"-nya.
Ulama Tiga Zaman
Demikianlah Kyai Wahab Chasbullah, ulama yang
diberkati Tuhan memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, (1) zaman
pergerakan kemerdekaan; (2) sesudah proklamasi kemerdekaan; dan (3) masa Orde
Baru. Kiai ini pernah merasakan pahit getirnya hidup, dan banyak teladan yang
ditinggalkan bagi generasi sesudahnya. Dalam masa kepemimpinannya dia juga
tidak lepas dari ejekan, fitnah dan hinaan disamping tentu saja sanjungan dan
hormat. Pada zaman Orde Lama misalnya, banyak orang mengejek Kyai Wahab sebagai "Kyai Nasakom" atau "Kyai Orla"
lantaran NU menerima konsep Nasakom dan dekat dengan Bung Karno. Padahal kata
Kyai Saifuddin Zuhri, semua orang dan semua organisasi waktu itu menerima
Nasakom termasuk ABRI. Ya, siapa yang berani menentang Bung Karno waktu itu?
Menanggapi hal ini
Kyai Wahab berjiwa besar dan menanggapi dengan
tertawa enteng. "Ha..ha..ha.. Ya biarkan saja," katanya.
"Ejekan itu
masih belum apa-apa dibanding dengan ejekan terhadap Nabi Muhammad SAW yang
dianggap gila. Saya kan masih belum dianggap gila," katanya.
Yang jelas, hampir
sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk
mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika
Kyai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali
Muktamar NU.
Saat sakit dan
menjelang wafatnya, Kyai Wahab masih berkeinginan
bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap bisa ikut memberikan
suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu dikabulkan
Tuhan. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kyai kondang ini terpilih
sebagai Rois 'Am PB Syuriah NU. Empat hari kemudian setelah Muktamar Surabaya,
ulama yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil Tuhan. Dia wafat di
rumahnya yang sederhana, di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang pada 29
Desember 1971.
Dalam khutbah
iftitahnya yang terakhir sebagai Rois 'Am, Kyai Wahab
masih sempat berharap, "Supaya NU tetap menemukan arah jalannya di dalam
mensyukuri nikmat karunia Allah SWT, sebagai suatu partai terbesar (dalam arti
besar amal saleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara
yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama'ah."
Diingkatkan pula agar
kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926. Dan sekarang ini
NU telah kembali ke khittah 1926. Mengikuti harapan Kyai Wahab.
Disadur dari buku:
"KARISMA ULAMA,
Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU", Editor: Saifullah Ma'shum, Penerbit:
Yayasan Saefuddin Zuhri dan Penerbit MIZAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar