Gangnam Style Sepanjang Tahun
Senin, 22 Oktober 2012
Pantai Losari, Minggu pagi, 21 Oktober 2012. Senam pagi. Keringat pun
bercucuran gara-gara gerak yang kian keras dan matahari Makassar yang kian
tinggi. Apalagi setelah lagu Korea dipakai untuk gerakan penutupnya: Semua
peserta seperti sedang menunggang kuda liar: Gangnam style.
“Selamat ya!” ujar seorang teman, mengajak salaman. “Saya memang sudah
latihan Gam Lan style beberapa hari terakhir ini bersama grup senam saya di
Monas,” jawab saya.
Ternyata, bukan itu yang dia maksud. “Selamat ulang tahun,” katanya. Saya
lupa kalau hari itu genap satu tahun saya menjabat menteri BUMN. Saya pikir dia
menyalami karena gerakan saya di Gangnam style.
Usai senam itu, saya ingin melihat rencana pembangunan pelabuhan baru
Makassar. Tapi, diam-diam saya ingin belok dulu ke sebuah perusahaan BUMN yang
setahun lalu masih berstatus “mayat”: PT Industri Kapal Indonesia (IKI). Saya
ingin tahu bagaimana keadaannya sekarang. Setelah hampir setahun manajemen di
IKI diperbaiki.
Memang hampir setahun yang lalu, tengah malam, saya diam-diam ke IKI. Tidak
ada yang tahu. Satpam di situ sedang tidur dan pintunya tidak terkunci. Memang
tidak ada harta berharga di situ. Sebulan kemudian, tengah hari, saya datang
lagi. Meski tidak memberi tahu, rencana itu bocor di menit-menit terakhir.
Karyawan yang sudah lebih dua tahun tidak menerima gaji melakukan demo.
Tapi, persiapan demonya tidak bisa sempurna. Terburu-buru.
Saya telanjur masuk ke galangan ketika mereka berkumpul di pintu gerbang.
Tapi, mereka masih bisa mencegat ketika saya hendak keluar. Saya pun mendatangi
mereka. Setidaknya untuk memberi tahu bahwa spanduk yang mereka bentangkan
terbalik.
Beberapa bulan kemudian saya masih datang lagi ke IKI. Dan kedatangan saya
Minggu pagi kemarin itu untuk kali keempat. Saya pikir, karena hari Minggu, IKI
pasti sepi. Tidak mungkin direksinya ada di tempat. Tidak apa-apa. Toh, niat
saya memang hanya ingin melihat kondisinya yang terkini.
Ternyata, dari pintu gerbangnya terlihat banyak sekali manusia: laki-laki,
perempuan, dan anak-anak. Mereka membukakan pintu gerbang, tapi segera kaget
ketika melihat pengemudi mobil tersebut adalah saya. Semua berlarian ke arah
mobil: bukan untuk demo, tapi untuk menyalami.
“Ada apa ini?” tanya saya. “Ulang tahun IKI yang ke-35, Pak,” jawab mereka.
Saya pun didaulat untuk turun dari mobil. Tapi, saya minta izin untuk bisa
melihat-lihat dulu seluruh kawasan galangan kapal itu. Direksi IKI pun, yang
ternyata lengkap hadir di acara itu, ikut keliling lokasi. Saya kaget, sudah
begitu banyak kapal yang diperbaiki di situ. Ada kapal tunda, ada tongkang, ada
pula kapal barang. Graving dock yang dulu seperti kolam tua itu kini sudah
diisi dua kapal.
“Hebat! Sudah banyak kapal, ya?” tanya saya.
“Alhamdulillah, Pak. Sudah banyak sekali pekerjaan. Bahkan, kapal yang
minta diperbaiki di sini sudah harus antre,” ujar Bandung Bismono, Dirut PT IKI
yang baru. “Kami akan terus menambah alat agar lebih banyak lagi kapal yang
bisa diperbaiki di sini,” ujar Bandung yang asli Semarang itu.
“Sudah berapa karyawan yang bisa bekerja?” tanya saya. Saya ingat 200
karyawan PT IKI sudah lama menganggur dan tidak menerima gaji.
“Sudah lebih 200 orang. Semua sudah bekerja kembali. Bahkan, kami segera
merekrut karyawan baru. Sudah kekurangan karyawan,” tambah Bandung Bismono.
Dalam hati saya memuji kehebatan direksi baru PT IKI ini. Perusahaan ini
bisa hidup lagi tanpa disuntik modal sama sekali. Saya hanya menyuntikkan
kepercayaan diri. Padahal, dulu-dulunya selalu saja muncul ancaman ini: Kalau
tidak ada suntikan modal, tidak mungkin PT IKI bisa hidup lagi. Mereka selalu
minta modal dari negara. Nilai yang mereka ajukan pun Rp 200 miliar.
Saya ingat betapa gigih direksi PT IKI yang dulu memperjuangkan modal baru
itu. Bahkan, kesan saya, kesibukan direksinya justru lebih banyak untuk
mengurus penambahan modal itu daripada untuk bekerja di lapangan. Mereka marah
kepada saya karena saya tidak mau meneruskan permintaan itu ke pemerintah dan
DPR. Saya pun menunjuk direksi baru yang sanggup menghidupkan PT IKI tanpa
sikap yang cengeng. Namanya Harry Sampurno.
Saya punya prinsip direksi sebuah perusahaan tidak boleh cengeng. Modal
besar sekalipun di tangan sebuah direksi yang cengeng akan habis begitu saja.
Dalam enam bulan direksi baru PT IKI sudah menunjukkan hasil nyata.
Tanda-tanda kehidupan kian jelas. Saya tahu pengorbanan Harry Sampurno sangat
besar. Korban lahir dan batin. Karena itu, ketika PT IKI sudah kelihatan bisa
jalan, saya pun memindahkan Harry Sampurno untuk memegang perusahaan yang lebih
besar.
Dia kini menjabat Dirut PT Dahana, yang memproduksi bahan peledak itu.
Aslinya, dia memang orang PT Dahana. Dia ke IKI untuk sementara, sebagai
“Kopassus” yang harus membereskan PT IKI.
Usai meninjau lapangan, saya pun bergabung dengan seluruh karyawan dan
keluarga mereka. Dari dialog di halaman itulah saya baru tahu mengapa ulang
tahun ini terasa meriah. “Kami sudah sepuluh tahun tidak pernah mengadakan
ulang tahun,” ujar Sekretaris Perusahaan Ansyarif.
“Kali ini kami adakan ulang tahun karena kami sangat senang perusahaan ini
hidup lagi. Kami ingin terus maju,” katanya.
Salah seorang karyawan kemudian minta salaman sambil minta maaf. “Maafkan
kami dulu mendemo Bapak,” katanya.
Karyawan bertepuk riuh ketika saya memberitahukan bahwa hari itu saya pun
berulang tahun: genap setahun menjadi menteri.
Misteri Modal
Lokasi PT IKI ini tidak terlalu jauh dengan rencana pengembangan pelabuhan
peti kemas Makassar yang baru. Inilah pelabuhan baru yang harus bisa dimasuki
kapal dengan bobot 3.000 TEUs. Tiga kali lipat dari pelabuhan Makassar yang ada
sekarang.
Kini Dirut Pelindo IV Harry Sutanto sedang mengurus perizinannya di
Kementerian Perhubungan. Begitu izin keluar, pembangunan langsung dilakukan.
Pelindo IV sendiri yang akan mengusahakan dananya. Tidak perlu APBN.
Pelindo IV kini juga sudah menyelesaikan pembangunan pelabuhan peti kemas
baru di Kariangau, Balikpapan. Itulah pelabuhan yang akan diresmikan Presiden
SBY Rabu lusa.
Pelindo IV juga menghadapi tantangan berat bersama Pelindo II untuk
membangun pelabuhan baru yang amat besar di Sorong. Sebesar yang ada di
Makassar. Beda dengan IKI tadi, kali ini Pelindo mampu menyediakan modal
sendiri.
“Modal” memang sering seperti misteri. Ada perusahaan yang benar-benar
perlu modal. Tapi, banyak juga “modal” yang dimaksud hanyalah berupa dukungan
kepercayaan. Percaya kepada pemegang sahamnya, percaya kepada direksinya
(percaya bahwa direksinya akan mau kerja keras), dan kadang cukup percaya bahwa
ada orang lain yang memercayainya.
Dalam hal PT IKI, dukungan bahwa PT Dok dan Perkapalan Surabaya (DPS) akan
membantunya bisa menimbulkan kepercayaan. Padahal, akhirnya PT DPS tidak perlu
benar-benar memberikan dukungan. PT IKI bisa bangkit semata-mata oleh direksi
dan karyawannya sendiri!
Demikian juga PT Batantekno yang melakukan pengayaan uranium sistem rendah
untuk memproduksi radioisotop. BUMN yang bergerak di kedokteran nuklir itu
begitu terseok-seoknya. Dirinya sendiri sudah kehilangan kepercayaan. Apalagi
orang luar.
Kepercayaan mulai muncul ketika direksi barunya adalah orang-orang yang
tidak hanya ahli di bidang nuklir, tapi juga mau menderita (sampai tinggal di
rumah kos-kosan). Dan mau bekerja keras. Bukan direksi yang selalu memikirkan
“kalau saya kerja keras” saya akan “dapat apa”.
Memang setelah itu diperlukan dana. Batantekno tetap tidak bisa berkembang
kalau tidak disediakan dana yang besar.
“Berapa besar?” tanya saya.
“Besar sekali, Pak. Bisa Rp 80 miliar,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, direktur utama PT Batantekno yang ahli nuklir itu. Dialah satu-satunya orang di dunia yang mampu melakukan pengayaan uranium dengan sistem rendah.
“Kalau uang itu saya usahakan, pendapatan perusahaan bisa mencapai berapa
setahun?” tanya saya.
Dia pun menghitung-hitung. Dia melihat, negara-negara di Asia ini tidak ada yang mampu memproduksi isotop. Pun tidak Singapura dan Jepang. Amerika pun, kalau dua tahun lagi peraturan baru diterapkan, tidak akan bisa memproduksinya. Yakni, peraturan bahwa uranium tidak boleh lagi dikayakan dengan sistem tinggi. Negara-negara itu selama ini bisa memproduksi radioisotop dengan cara pengayaan sistem tinggi yang bisa disalahgunakan untuk senjata nuklir.
Dia pun menghitung-hitung. Dia melihat, negara-negara di Asia ini tidak ada yang mampu memproduksi isotop. Pun tidak Singapura dan Jepang. Amerika pun, kalau dua tahun lagi peraturan baru diterapkan, tidak akan bisa memproduksinya. Yakni, peraturan bahwa uranium tidak boleh lagi dikayakan dengan sistem tinggi. Negara-negara itu selama ini bisa memproduksi radioisotop dengan cara pengayaan sistem tinggi yang bisa disalahgunakan untuk senjata nuklir.
Pasar radioisotop sangat luas. Semua orang yang sakit, yang memerlukan MRI
atau CT scan, pasti memerlukan cairan radioisotop. Cairan itulah yang
disuntikkan ke dalam tubuh agar dokter bisa melihat keadaan dalam tubuh kita
mengandung penyakit apa saja. Setelah mempertimbangkan semua itu, Dr Yudi pun
menggoreskan angka.
“Setahun pendapatan perusahaan bisa mencapai Rp 2 triliun, Pak,” kata Dr
Yudi sepuluh menit kemudian.
“Oke. Saya carikan dana Rp 80 miliar. Anda laksanakan semua program itu,” tegas saya.
“Oke. Saya carikan dana Rp 80 miliar. Anda laksanakan semua program itu,” tegas saya.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, saya pun berpikir. Bank mana yang bisa
memberikan pinjaman modal sebesar itu. Kekayaan PT Batantekno belum memenuhi
syarat untuk punya pinjaman sebesar itu. Akhirnya, BRI bisa diyakinkan.
Ditandatanganilah perjanjian kredit Rp 80 miliar.
Mendengar PT Batantekno mendapat dukungan dana, muncullah kepercayaan diri
para direksi dan karyawannya. Bahkan, orang luar pun giliran memercayai
Batantekno. Produksi pun meningkat. Ekspor pun dilakukan. Bahkan sampai
Tiongkok dan Jepang.
Dari transaksi ekspor itulah PT Batantekno bisa mendapat L/C di depan.
Perusahaan menjadi punya uang. Tanpa pinjaman. Termasuk tanpa pinjaman dari BRI
yang sudah disetujui tersebut.
Direksi Batantekno juga bukan direksi yang “mata duitan”. Tidak mau
sembarangan mencairkan uang kalau memang tidak sangat diperlukan. Tidak ada
sikap mengada-ada untuk sekadar agar uangnya cair.
Sebaliknya, BRI tentu merasa dirugikan. Saya pun seperti mendapat teguran
ketika hari Minggu kemarin bertemu direktur BRI yang membidangi kredit-kredit
untuk BUMN. “PT Batantekno belum memanfaatkan kreditnya lho, Pak,” ujar Asmawi
Syam.
Di satu pihak tentu saya memuji direksi Batantekno. Tapi, di pihak lain
saya memaklumi problem pengaturan dana di BRI. Yang jelas, saya tetap
mengucapkan terima kasih kepadanya. “Tanpa kesanggupan kredit dari Anda,
direksi PT Batantekno tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk berkembang,”
kata saya.
“Tapi, alokasi kreditnya sudah telanjur ada, Pak,” katanya.
Tentu, saya tahu, bank bisa dirugikan kalau kredit yang sudah dialokasikan
tidak dicairkan. Saya pun percaya bahwa PT Batantekno akan memerlukannya. Suatu
saat. Untuk mengembangkan diri lebih besar lagi. Terutama kalau Batantekno jadi
berekspansi ke luar negeri tahun depan. Yakni, membangun reaktor nuklir di AS
dan memproduksi cairan kedokteran nuklir di sana.
Dari dua contoh kasus PT IKI dan PT Batantekno tersebut, nyatalah bahwa
kepercayaan adalah segala-galanya. Itulah sebabnya program holdingisasi BUMN
juga harus dilihat sebagai upaya untuk memperbesar kepercayaan itu. PT Semen
Gresik sudah membuktikannya. Demikian juga PT Pupuk Indonesia.
Saya sungguh berharap, sebelum akhir tahun ini holdingisasi BUMN perkebunan
dan kehutanan bisa terlaksana. Mungkin memang masih perlu gerak “Gangnam style”
di sepanjang tahun kedua saya di BUMN ini. (*)
Dahlan Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar