Tradisi Halal Bihalal
Di tanah kelahiran Islam, Arab Saudi, tradisi
halal bihalal justru tak dikenal. Juga di sebagian besar negara-negara muslim di
dunia. Dalam Al-Quran dan Hadis, istilah itu juga tak ditemukan. Tradisi ini
hanya khas di Indonesia.
Di kampung-kampung, tradisi bermaaf-maafan
biasanya dilakukan usai shalat Idul Fitri atau usai berziarah. Mereka
mendatangi satu rumah ke rumah lainya, terutama pemilik rumah yang lebih tua
atau dituakan seperti para kiai. Si pemilik rumah menyediakan rupa-rupa
makanan, biasanya makanan khas, lokal sebagai penghormatan terhadap tamu dan
kegembiraan di hari lebaran.
Tak hanya di kampung-kampung, tradisi saling bermaaf-maafan ini juga menjadi tradisi rutin yang digelar instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan swasta. Para pemimpin instansi dan perusahaan menjadikan momen halal bihalal sebagai medium bermaaf-maafan kepada karyawan dan bawahannya. Begitu sebaliknya.
Tradisi ini juga dikembangkan dengan menggelar kegiatan khusus berupa pengajian dan mendatangkan penceramah untuk memberi tausiyah atau pesan-pesan agama.
Makna halal bihalal lebih dekat dengan pengertian saling memaafkan atas segala salah dan khilaf agar bisa kembali menjadi manusia suci.
Karena itu, perkataan yang biasa dilontarkan, Minal Aidin wal Faizin, semoga termasuk orang-orang yang kembali dan beruntung. Padahal, kata “halal” biasanya terkait erat dengan konteks hukum berarti sesuatu yang diizinkan atau dibolehkan. Tapi untuk konteks halal bihalal, tidak dimaksudkan untuk itu. Tradisi ini salah satu model pribumisasi Islam. []
(Alamsyah M. Dja’far)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar