Menggerakkan Tangan
Kiri BUMN 22 Kali
Untuk apa negara
memiliki BUMN? Bukankah negara bisa maju dan makmur tanpa BUMN? Seperti Amerika
Serikat dan Jepang? Juga seperti Inggris yang dulunya memiliki banyak BUMN dan
kemudian dihilangkan sama sekali?
Bukankah negara
didirikan semata-mata untuk menyejahterakan rakyatnya? Apakah ada suatu negara
didirikan dengan tujuan untuk melakukan bisnis? Bukankah sektor bisnis
seharusnya diberikan kepada rakyatnya? Mengapa negara ikut terjun ke bisnis
yang berarti negara akan menyaingi rakyatnya sendiri di bidang bisnis?
Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang harus saya jawab ketika saya diangkat menjadi Menteri BUMN setahun
yang lalu. Harus bisa dijelaskan mengapa negara memiliki BUMN. Juga harus bisa
dijelaskan untuk apa negara memiliki BUMN.
Rakyat juga tidak
akan bisa menerima kalau para pengelola BUMN tidak bisa menjawab untuk apa
bekerja di BUMN.
Rakyat akan marah
kalau pengelola BUMN bukan saja tidak tahu tujuan BUMN, bahkan menjadikan BUMN
sebagai lahan obyekan dan sumber kenikmatan semata.
Setelah mendapatkan
arahan pertama Presiden dan melakukan dialog dengan berbagai kalangan, terutama
kalangan ahli dan universitas, saya menetapkan harus ada tujuan yang jelas di
mana peran BUMN dan akan ke mana. Garis inilah yang menjadi pedoman kerja
selama setahun ini, dan akan terus menjadi pedoman ke depan.
Pertama, BUMN harus
bisa dipakai sebagai alat ketahanan nasional. Industri strategis masuk kelompok
ini. Bahkan saya memasukkan BUMN sektor pangan ke dalam kelompok “ketahanan
nasional”. Ini berarti BUMN-BUMN pangan harus mendapat perhatian serius,
diperkuat, dan dibesarkan. Tidak boleh ada logika BUMN pangan kita lebih lemah
dari BUMN non pangan.
Kedua, BUMN harus
bisa berfungsi sebagai engine of growth. Mesin pertumbuhan ekonomi.
Proyek-proyek penting yang akan bisa menggerakkan ekonomi secara nyata harus
dimasuki BUMN. Swasta tentu tidak mau masuk ke proyek yang secara bisnis belum
bisa memberikan laba. Kalau proyek itu sangat penting, BUMN harus mengerjakannya.
Misalnya: pelabuhan, bandara, jalan tol, dan industri hulu solar cell.
Ketiga, BUMN harus
bisa dipergunakan untuk menumbuhkan kebanggaan nasional. Sejumlah BUMN tidak
boleh hanya bisa menjadi jago kandang. Harus menjadi kebanggan bangsa di dunia
internasional. Memang kita belum bisa mendapatnya dari sepak bola, namun bukan
berarti kita akan kalah di semua bidang. Bank, penerbangan, semen,
telekomunikasi, dan kedokteran nuklir adalah beberapa contoh yang akan bisa
menjadi kebanggaan bangsa di dunia internasional.
Secara singkat, tiga
tujuan itu sebenarnya bisa dirangkum dalam sebuah kebijakan yang digariskan
Presiden SBY berikut ini: BUMN harus bisa menjadi “tangan kedua” pemerintah.
Penegasan ini
diulangi sekali lagi oleh beliau di depan sekitar 1.000 orang yang menghadiri
pertemuan besar BUMN di Jogja Rabu lalu.
Untuk menggerakkan
pembangunan, kata Presiden SBY, pemerintah sudah punya satu “tangan”: APBN.
Tapi hanya punya satu “tangan” tidak lengkap. Pembangunan akan bisa lebih maju
dan lebih cepat kalau memiliki “tangan” kedua: BUMN. Ibarat manusia, dengan
memiliki dua tangan memang bisa lebih sempurna.
Pertemuan besar BUMN
dengan Presiden SBY di Jogja itu sangat semarak. Semua direktur dan komisaris
BUMN hadir. Juga hadir 14 orang menteri, Jaksa Agung Basrief Arief, Ketua BPK
Hadi Purnomo, dan Kepala BPKP Mardiasmo.
Para direksi BUMN,
termasuk direktur utamanya, hari itu mengenakan baju yang biasa dipakai pegawai
golongan terendah di masing-masing BUMN. Di dalam lift, saat mengantar Bapak
Presiden ke tempat acara, saya laporkan tentang tidak dipakainya jas dan dasi
dalam pertemuan besar tersebut. Ini sebuah simbol bahwa direksi BUMN harus siap
meninggalkan kemewahan yang berlebihan mengingat BUMN harus lebih efisien,
bersih, dan menjadi contoh untuk lokomotif pertumbuhan.
Memang baru sekali
ini ada pertemuan khusus antara seluruh direksi/komisaris BUMN dan Presiden.
Presiden sendiri yang menghendaki adanya pertemuan tersebut. Presiden ingin
memastikan bahwa BUMN benar-benar siap menjadi “tangan kedua” pemerintah.
Banyak hal penting dan mendasar yang tidak bisa dikerjakan melalui APBN, harus
bisa dikerjakan oleh BUMN.
Presiden tidak ingin
pembangunan berjalan lambat hanya karena, antara lain, proses politik APBN yang
panjang. Di samping karena keterbatasan APBN sendiri. “Di semua negara
demokrasi, proses politik memang harus seperti itu. Harus kita terima
sepenuhnya. BUMN harus mengisi bagian-bagian yang memerlukan percepatan
pembangunan,” ujar Presiden.
Kemampuan investasi
“tangan kiri” BUMN memang bisa mencapai Rp 250 triliun per tahun. Kurang lebih
sama dengan kemampuan investasi “tangan kanan” APBN. Kemampuan investasi
tersebut akan bisa meningkat manakala, misalnya, BUMN bersama-sama dengan
swasta bisa “merebut” kue yang amat besar di BP Migas.
Di depan Presiden di
acara tersebut saya mengemukakan tekad untuk mengajak swasta secara
bersama-sama mengincar anggaran Rp 250 triliun setahun (sekali lagi: setahun!)
yang ada di BP Migas yang selama ini lebih banyak dikerjakan perusahaan asing.
Pertemuan-pertemuan
dengan BP Migas yang dipimpin Kepala BP Migas R Priyono, sudah dilangsungkan.
Dalam pertemuan itu “pasukan BUMN” dipimpin oleh menterinya sendiri. Tim-tim
kerja sedang disusun. Kemampuan BUMN dan swasta harus digabung untuk bisa bersaing
dengan perusahaan asing yang memang hebat-hebat itu.
BUMN saja tidak kuat.
Swasta nasional saja tidak mampu. Tapi kalau kemampuan keduanya bisa bergabung,
kue yang begitu besar akan bisa lebih banyak dikerjakan oleh perusahaan dalam
negeri.
Tidak perlu ada
perlakuan khusus dan fasilitas khusus. Harus ada persaingan yang sehat,
termasuk dengan perusahaan asing. Ini agar industri dalam negeri kian cepat
dewasa. Lebih baik BUMN fokus “merebut” kue di BP Migas itu, daripada misalnya,
ikut rebutan proyek-proyek kecil di APBN.
Kemampuan BUMN harus
selalu “naik kelas” dan bukan justru “turun kelas” ke proyek-proyek kecil yang
sudah bisa ditangani swasta. Proyek-proyek di BP Migas umumnya memang proyek
yang skalanya besar dan memerlukan kemampuan teknologi yang lebih tinggi.
Mati suri
Tentu, dalam
presentasi di depan Presiden selama 45 menit itu, tidak mungkin semua kemajuan
BUMN dilaporkan. Forum itu terlalu besar dan berharga untuk dibuat menceritakan
hal-hal “remeh-temeh”. Hanya yang benar-benar hebat yang saya sajikan kepada
beliau. Atau dalam istilah yang dipergunakan Presiden dalam sambutannya, saya
hanya menampilkan para “stars dan super stars”.
Tentu BUMN masih
banyak memiliki calon-calon “stars” dan “super stars”. Salah satu calon super
stars itu menemui saya usai rapat akbar tersebut.
“Kami bisa menerima
bahwa kami belum bisa ditampilkan. Tapi seluruh direksi kami darahnya mendidih.
Kami sepakat untuk bisa segera menjadi super stars,” ujar seorang direktur
utama BUMN yang “bernasib kurang baik” tidak ikut saya tampilkan hari itu.
Tentu mereka juga
akan mendapatkan giliran untuk ditampilkan. Terutama kalau “darah semua direksi
yang mendidih” itu bisa menggerakkan perusuhaannya untuk menjadi super star
beneran. Apalagi, saat meninggalkan acara tersebut, di dalam lift yang kecil,
Presiden mengatakan kepada saya, “perlu secara periodik acara seperti ini
dilaksanakan lagi.”
Presiden kelihatannya
ingin terus memonitor apakah “tangan kiri”-nya bisa digerakkan maksimal untuk
mengimbangi gerak “tangan kanan”-nya.
Tentu masih banyak
kerja, kerja, dan kerja yang harus dilakukan. Misalnya, akan diapakan
perusahaan-perusahaan BUMN yang tidak bisa masuk dalam kategori “ketahanan
nasional”, tapi juga tidak bisa masuk kategori “engine of growth”, dan tidak
bisa juga menjadi “kebanggan nasional”.
Mereka harus
bermetamorfosis atau tergilas oleh keadaan.
Demikian juga
bagaimana dengan perusahaan-perusahaan BUMN yang pada dasarnya sudah lama
berstatus “mayat” namun belum sempat dikuburkan. Sebagian “mayat” itu memang
masih bisa dimasukkan ke “ICU”, ditangani “dokter ahli”, dan diberi “oksigen”.
Pelan-pelan mereka bisa bernafas kembali.
Bahkan beberapa di
antaranya, seperti galangan kapal IKI Makassar, sudah bisa berjalan
pelan-pelan.
Bisa saja mereka akan
menjadi sehat dan bisa berlari. Tapi bisa saja ambruk di tengah jalan, karena
pada dasarnya roh mereka belum sepenuhnya kembali ke jasadnya.
Presiden kelihatan
terus tersenyum ketika presentasi saya memasuki dunia “mayat” tersebut. Sebagai
Presiden yang amat santun, beliau dalam sambutannya, tidak mau menggunakan kata
“mayat”. “Lebih baik saya menggunakan istilah mati suri,” ujar beliau sambil
tersenyum. Hadirin pun bertepuk tangan dengan riuhnya.
Entah berapa kali
hadirin bertepuk tangan sore itu. Tapi ada yang menghitung, dalam sambutan 30
menitnya itu, Presiden mengucapan kata “saya senang” atau “senang sekali”
sebanyak 22 kali.
Saya tidak
menghitungnya karena saya terlalu sibuk mencatat esensi arahan itu di otak
saya.(*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar