Kamis, 18 Oktober 2012

(Ngaji of the Day) Politik Berbasis Al-Qur'an


Politik Berbasis Al-Qur'an

Oleh: Hamidulloh Ibda


Selama ini, banyak politisi muslim yang berpolitik tanpa menggunakan nilai-nilai Al-Qur'an untuk berjuang. Tak jarang dari mereka melakukan “pemerkosaan politik” yang sangat menodai esensi dari politik. Padahal, mereka lahir dari rahim parpol-parpol Islam. Oleh karena itu, sudah saatnya politisi Islam kembali memahami, memaknai, dan melaksanakan politik berbasis Al-Qur'an.


Kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani atau bahasa latin politicos atau ploiticus yang berarti relating to citizen. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Dalam bahasa Indonesia, politik diartikan sebagai segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Politik diartikan pula sebagai kebijakan, cara bertindak (dalam mengahadapi atau menangani sesuatu masalah).


Dalam bahasa Arab, kata politik biasanya diterjamahkan dengan kata siyasah. Kata ini terambil dari asal kata sin-waw-sin dengan makna pokok “ kerusakan sesuatu”, “tabiat atau sifat dasar”. dari makna pertama terbentuk kata kerja sasa-yasusu-sausan yang berarti menjadi rusak atau banyak kutu, dan dari makna kedua terbentuk kata sasa-yasusu-siyasatan yang berarti memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan dan mengatur dan memelihara urusan.


Dalam Alquran tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sasa-yasusu, namun demikian esensi dari pemahaman politik sebagai pengambilan kebijakan dan cara bertindak, banyak dijumpai dalam Alquran. Misalnya, kata hukm atau hikmah, yang berarti memutuskan, mengendalikan dan menjalankan putusan, dapat dikatagorikan sebagai langkah-langkah politik. Ini dapat dilihat dalam Alquran yang menjelaskan bahwa manusia mempunyai otoritas untuk memberikan hukuman.


Kekuasaan dan Politik dalam Al-Qur’an


Di dalam Alquran sudah disebutkan; “Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan (memerintahkan kebijaksanaan) di antara kamu supaya menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat. Wahai orang-orang yang beriman Taatilah Allah, taatilah rasul, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) lagi lebih baik akibatnya“ (QS. An-Nisa : 58-59).


Kedua ayat di tersebut dinilai oleh para ulama sebagai prinsip-prinsip pokok yang menghimpun ajaran Islam tentang kekuasaan dalam pengertian tanggung jawab terhadap amanahnya serta kekuasaan Allah SWT. Hal ini menandakan bahwa semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Allah SWT melalui konstitusi yang ada di dalam Alquran, ini menandakan adanya syumuliatul Islam.


Amanat dimaksudkan berkaitan dengan banyak hal, salah satu di antaranya adalah perlakuan adil. Keadilan yang dituntut ini bukan hanya terhadap kelompok, golongan, atau kaum muslim saja, tetapi mencakup seluruh manusia bahkan seluruh makhluk.


Kalau kita meneliti lebih jauh tentang kekuasaan dalam Surat An-Nisa 58-59, dalam latar belakang historisnya turunnya ayat ini bisa dilihat dalam Asbabun Nuzulnya. Diriwayatkan oleh Ibnu Marduwaih dari al-Kalbi dari Abi shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah fathu makkah (pembebasan mekkah) Rasulullah SAW memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman datang menghadap Nabi untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata: “Ya Rasulallah demi Allah , serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan siqayah (urusan pengairan)." Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabda Rasulullah: “Berikanlah kunci itu kepadaku wahai utsman!” Utsman berkata : “Inilah dia, amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di Baitullah. Turunlah Jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman. Rasulullah melaksankan perintah itu sambil membaca ayat tersebut di atas Qs An-Nisa :58.


Diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya yang bersumber dari ibnu Abbas dengan riwayat ringkas. Menurut imam ad-Dawudi riwayat tersebut menyalahgunakan nama Ibnu Abbas, karena cerita mengenai Abdullah bin hudzafah itu sebagai berikut: Di saat Abdullah marah-marah pada pasukannya ia menyalakan unggun api, dan memerintahkan pasukannya untuk terjun ke dalamnya. Pada waktu itu sebagian lagi hampir menerjunkan diri ke dalam api. Sekiranya ayat ini turun sebelum peristiwa Abdullah mengapa ayat ini dikhususkan untuk mentaati Abdullah bin Hudzafah saja, sedang pada waktu lainnya tidak. Dan sekiranya ayat ini sesudahnya, maka berdasarkan hadist yang telah mereka ketahui, yang wajib ditaati itu ialah di dalam ma’ruf (kebaikan) dan tidak pantas dikatakan kepada mereka mengapa ia tidak taat.


Dari kajian tekstual di atas, menggambarkan bahwa kekuasaan yang paling hakiki adalah milik Allah Swt. Allah adalah pemilik segala sesuatu, sesuai yang difirmankan di dalam Surat Al-Maidah : 18 “Allah adalah pemilik kerajaan langit dan bumi serta apa yang terdapat antara keduanya” (Qs Al-Ma-idah:18). Adapun di dunia, maka di samping Dia melimpahkan sebagian kekusaan_Nya kepada makhluk, Dalam konteks kekuasaan politik, Alquran memerintahkan Nabi Muhammad SAW. Untuk menyampaikan pernyataan tegas berikut: “Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Ali Imran : 26).


Seperti tersurat di dalam ayat di atas, Allah SWT menganugerahkan kepada manusia sebagian kekuasaan itu. Di antara mereka ada yang berhasil melaksankan tugasnya dengan baik karena mengikuti prinsip-prinsip kekuasaan dan ada pula yang gagal. Dalam konsepsi Islam, manusia memikul amanah (amanah ibadah dan amanah risalah). Amanah ini boleh jadi sebagai konsekuensi dari deklarasi universal yang pernah dinyatakan manusia dihadapan Allah dan sekaligus menjadi tantangan terhadap sifat manusia yang etis yang harus dibuktikan melalui keberhasilannya di dalam menunaikan amanah yang telah disanggupinya itu.


Amanah risalah berkaitan dengan kedudukan manusia sebagai khalifatullah fi Al-Ardh. Kedudukan itu mencakup aktivitas manusia dalam memakmurkan dan memelihara bumi, menata kehidupan dan menyejahterakan umat manusia. Aktivitas ini jelas-jelas merupkan suatu tindakan dan fungsi siyasah manusia yang otentik.


Oleh sebab itu, amanah risalah dalam pengertiannya yang luas menegaskan bahwa manusia adalah makhluk siyasah yang bertanggungjawab atas terpeliharanya keteraturan hidup di tengah-tengah masyarakat manusia dan lingkungan hidupnya, sedangkan siyasah memakmurkan bumi dalam islam memiliki tujuan antara dan sekaligus menjadi cara, jalan dan sarana untuk meraih tujuan yang lebih mulia dan lebih abadi, yaitu keselamatan kehidupan yang lebih bermakna dan kekal, kehidupan akherat.


Kekuasaan yang berorientasi pemerintahan (kekuasaan politik) yang mempunyai mekanisme politik tertuang di dalam Alquran (Shaad:26) : ”Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan."


Kekuasaan politik (pemerintahan) juga tertuang di dalam surat Al-Baqarah ayat 21 :”Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, Kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”


Terlepas dari itu, pada intinya kaum muslim dan politisi muslim harus berbenah diri. Sudah saatnya mereka berpolitik secara santun dan memegang teguh ajaran Islam. Tanpa menjalankan ajaran Islam, maka sama saja mereka menodai amanah agama. Wallahu a’lam.


* Pendiri HI Study Centre, Peneliti di Centre for Democracy and Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar