Qurban dan Krisis
Kepempimpinan
Oleh: Adhe HM Musa Said*
Idul Adha kembali hadir. Hari raya yang mengandung hikmah pengorbanan itu tak jemu menghampiri kita. Di sisi lain, kita seolah bebal dan tak mampu menangkap spirit berkorban. Padahal sejatinya idul adha adalah momentum yang tepat mengikis krisis kepemimpinan dengan menumbuhkan semangat berkurban.
Qurban dalam istilah fikih adalah udhiyyah yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Artinya qurban merupakan wujud kesediaan seorang hamba untuk mengqurbankan yang dicintainya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah.
Ada dua nilai penting dalam ibadah qurban yang menjadi ciri utama, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban Nabi Ibrahim dengan se-ekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian sedekah atau makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya idul qurban.
Ibadah qurban merupakan sarana pembuktian keimanan kita kepada Allah yang meliputi keikhlasan. Ibadah qurban yang dilakukan harus murni dilakukan hanya semata-mata karena Allah dan dalam rangka menjalankan perintah-Nya. Jadi, dalam pelaksanaan ibadah qurban sangat dituntut adanya keikhlasan yang tumbuh dari dalam hati.
Dari penyembelihan hewan qurban, kita sebagai manusia belajar mengenai pengorbanan, yang dalam konteks ini direfleksikan dalam bentuk materi yaitu hewan qurban. Ritual ibadah qurban telah melatih kita untuk selalu siap berqurban, karena ketaatan kepada perintah yang diterima. Kata pengorbanan yang dimunculkan mempunyai arti yang sangat penting. Pengorbanan merupakan salah satu bentuk sikap moral yang apabila diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari, akan menjadi ciri tersendiri. Kerelaan dan kesediaan untuk berqurban, adalah terapi ampuh untuk menata benang kusut persoalan hidup, yang kian hari kian menumpulkan akal sehat kita.
Para pemimpin yang rela berqurban dengan meninggalkan hawa nafsu dan ego akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang bijak. Bukan yang mendzalimi dan mengorbankan rakyatnya apalagi menyalahgunakan jabatanya dengan melakukan korupsi. Pada tataran dasar kehidupan, setiap individu adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Ada konsekuensi yang melekat dengan sendirinya, yakni setiap perbuatan dan tindakan memiliki resiko yang harus dipertanggungjawabkan. Namun, konteks tanggung jawab di sini bukanlah semata-mata bermakna hanya melaksanakan tugas, lalu setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak (atsar) bagi yang dipimpin. Makna hakikinya adalah lebih kepada upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh lapisan rakyat.
Pemimpin memang mendapatkan otoritas kewenangan, tetapi pada saat yang sama menjadi pelayan bagi orang yang dipimpinnya. Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka, oleh sebab itulah setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi melayani (service centric) terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Jika kita melihat potret kepemimpinan di tanah air saat ini, hanya segelintir pemimpin yang mau melayani dan berqurban bagi rakyat yang dipimpinnya. Tidak bisa dipungkiri, sebagian besar pemimpin mulai dari lingkungan tempat tinggal kita sampai dengan nasional, lebih cenderung berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Padahal, dalam hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh HR Thabrani menjelaskan bahwa khianat yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya. Tidaklah mengherankan, jika kebijakan-kebijakan yang digulirkan pun, sama sekali jauh dari upaya memanusiakan rakyat yang dipimpinnya. Karena, rakyat sudah diposisikan diametral oleh pemimpin, sebagai pihak yang dikhianati. Akibatnya, berbagai persoalan multidimensi yang melanda rakyat kita, seolah tiada henti meluluhlantakkan kehidupan mereka.
Memaknai Semangat Ber-Qurban
Kepemimpinan adalah sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang untuk tampil selangkah di depan, baik bagi dirinya sendiri, keluarga, lingkungan maupun bangsa dan negara. Kepemimpinan adalah tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggung jawab kepada yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang dipimpinnya. Belajar dari makna Hari Raya Idul Adha, seyogyanyalah para pemimpin di negeri ini, khususnya yang beragama Islam, mau dan mampu bermetamorfosis dari pemimpin yang mengorbankan rakyat, menjadi pemimpin yang selalu mau berkorban dan dan dikorbankan demi kepentingan rakyat.
Selama ini kita memaknai kurban dalam Idul Adha hanya sebatas ritual penyembelihan hewan kurban. Sebagai pemimpin, kita dapat meneladani lebih dalam makna kontekstual qurban yakni kedekatan dan mendekatkan. Qurban bisa bermakna sebagai upaya untuk menyingkirkan segala sesuatu yang dapat menghalangi kita untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tabir yang bisa menghalangi diri kita untuk mendekatkan diri kepada siapa pun adalah berhala dalam berbagai bentuknya, seperti ego, nafsu, cinta kekuasaan, cinta harta benda, cinta kemaksiatan, dan lain-lainnya secara berlebihan.
Jikalau seorang pemimpin tidak ada semangat berqurban dan mencintai, lebih-lebih kepada rakyatnya sendiri, perlahan namun pasti bangsa ini akan hancur lebur. Harus diingat, kehancuran suatu bangsa itu dimulai ketika para elite-nya berbuat fasik, zalim, maksiat, dan tidak mengindahkan hukum. Jiwa dari memimpin adalah mencintai orang lain, dan mencintai berarti konsekuensinya adalah harus siap berqurban. Jadi, adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin untuk memiliki kesediaan berkorban yang didorong rasa cinta terhadap sesamanya yang didasari cinta pada Tuhan.
Marilah kita semua sebagai pemimpin memulai dari diri sendiri, untuk menumbuhkembangkan semangat berkorban untuk sesama. Semangat ini akan melahirkan manusia-manusia dan pemimpin generasi seperti Nabi Ibrahim yang dengan tulus ikhlas mengqurbankan anak tercintanya Ismail. Bahwa kerelaan itu menyiratkan kesediaan dalam mengorbankan segala hal yang dimilikinya. Kita juga dapat berkaca pada para pemimpin di masa perjuangan dan revolusi dulu, yang keluar masuk penjara untuk menegakkan keadilan dan melawan penindasan. Semua pengorbanan itu dilakoni karena mereka sadar bahwa pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Rela berkorban, dan bukannya mengorbankan para insan jelata tersebut. Mendekatkan diri kepada rakyat adalah kunci untuk dapat menjadi pemimpin yang ikhlas berkorban, kapan pun, buat siapa pun dan dengan cara apa pun.
* Penulis adalah Ketua Presidium Koordinator Nasional Jaringan Alumni Muda JAM-PMII, -Wakil Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar