Temuan Inefisiensi
yang Mestinya Melebihi Rp 37 Triliun
Senin, 29 Oktober
2012
Benarkah BPK menemukan inefisiensi di PLN sebesar Rp 37 triliun saat saya jadi Dirut-nya? Sangat benar. Bahkan, angka itu rasanya masih terlalu kecil. BPK seharusnya menemukan jauh lebih besar daripada itu.
Contohnya ini: Rabu
subuh kemarin saya mencuri waktu sebelum mengikuti acara peresmian pelabuhan
kontainer Kariangau, Balikpapan, oleh Bapak Presiden SBY. Masih ada sedikit
waktu untuk saya menyelinap ke Senipah. Jaraknya memang 1,5 jam dari
Balikpapan, tapi dengan sedikit ngebut masih akan oke.
Di Senipah sedang
dibangun pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 80 mw. Awalnya, sebelum saya
menjabat Dirut PLN, proyek itu menghadapi persoalan birokrasi besar. Saya
datang ke Senipah di dekat muara Sungai Mahakam itu. Persoalan selesai. Proyek
bisa dibangun.
Ini penting bukan
saja agar kekurangan listrik di Kaltim segera teratasi, tapi PLN pun bisa
berhemat triliunan rupiah. Lebih efisien. Kasus Kaltim tersebut (juga
Kalselteng) sangat memalukan bangsa. Daerah yang kaya energi justru krisis
listriknya terparah.
Kini, ketika
pembangunan PLTG Senipah itu hampir selesai, ada persoalan lagi. Untuk membawa
listrik itu ke Balikpapan dan Samarinda, harus melewati tanah Pertamina. Saya
pun harus mencarikan jalan keluar. Beres. Tiga bulan lagi proyek itu sudah
menghasilkan listrik. Efisiensi triliunan rupiah segera terwujud.
Dengan kata lain,
selama ini telah terjadi inefisiensi triliunan rupiah di Kaltim. Inefisiensi
itu tidak ditemukan oleh BPK.
Contoh lain lagi:
Krisis listrik di Jambi juga termasuk yang paling parah. Padahal, di Jambi
ditemukan banyak sumber gas. Tapi, PLN membangkitkan listrik dengan BBM.
Terjadilah inefisiensi triliunan rupiah di Jambi. BPK juga tidak menemukan
inefisiensi di Jambi itu.
Saya segera
memutuskan, pembangkit yang sudah nganggur di Madura dibawa ke Jambi. Sejak
kabel listrik untuk Madura dilewatkan Jembatan Suramadu, tidak ada lagi
kekhawatiran Madura kekurangan listrik. Jambi pun lebih efisien.
Ada lagi gas Jambi
yang sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Berapa triliun rupiah inefisiensi
telah terjadi. Itu juga tidak ditemukan BPK. Saya segera memutuskan membangun
CNG (compressed natural gas) di Sei Gelam, di luar Kota Jambi. Agar gas yang
ditelantarkan bertahun-tahun itu bisa dimanfaatkan.
Minggu lalu, tengah
malam, dalam rangkaian meninjau proyek sapi di Jambi, saya bersama Gubernur
Jambi Hasan Basri Agus meninjau proyek CNG itu. Sudah hampir selesai. Saya
bayangkan betapa besar efisiensinya. Bahkan, Jambi yang dulu krisis listrik
akan bisa “ekspor” listrik.
Contoh lagi: Suatu
saat pemerintah membuat keputusan yang tepat, yakni gas jatah PLN dialihkan
untuk industri yang kehilangan pasokan gas. Jatah gas PLN dikurangi. Akibatnya,
PLN berada dalam dilema: menggunakan BBM atau mematikan saja listrik Jakarta.
Pembangkit besar di Jakarta itu (Muara Karang dan Muara Tawar) memang hanya
bisa dihidupkan dengan gas atau BBM. Tidak bisa dengan bahan bakar lain.
Tentu PLN tidak
mungkin memilih memadamkan listrik Jakarta. Bayangkan kalau listrik Jakarta
dipadamkan selama berbulan-bulan. Maka, digunakanlah BBM.
Kalau keputusan tidak
memadamkan listrik Jakarta itu salah, saya siap menanggung risikonya. Saya
berprinsip seorang pemimpin itu tidak boleh hanya mau jabatannya, tapi tidak
mau risikonya. Maka, dia harus berani mengambil keputusan dan menanggung
risikonya.
Kalau misalnya
sekarang saya harus masuk penjara karena keputusan saya itu, saya akan jalani
dengan ikhlas seikhlas-ikhlasnya!
Saya pilih masuk
penjara daripada listrik Jakarta padam secara masif berbulan-bulan, bahkan bisa
setahun, lamanya. Saya membayangkan, mati listrik dua jam saja, orang sudah
marah, apalagi mati listriknya berbulan-bulan.
Sikap ini sama dengan
yang saya ambil ketika mengatasi krisis listrik di Palu. Waktu itu saya sampai
menangis di komisi VII. Saya juga menyatakan siap masuk penjara. Daripada
seluruh rakyat Palu menderita terus bertahun-tahun.
Akibat keputusan saya
untuk tidak memadamkan listrik Jakarta itu memang berat. PLN mengalami
inefisiensi triliunan rupiah. Tapi, pabrik-pabrik tidak tutup, PHK ribuan buruh
terhindarkan, dan Jakarta tidak padam selama setahun!
Apakah PLN harus
memberontak terhadap putusan pemerintah itu? Tentu tidak. Putusan itu sendiri
sangat logis. Kalau industri tidak dapat gas, berapa banyak pabrik yang harus
tutup. Berapa ribu karyawan yang kehilangan pekerjaan. Alangkah ributnya.
Indonesia pun kehilangan kepercayaan.
Sekali lagi,
jangankan dipanggil komisi VII, masuk penjara pun saya jalani dengan sikap
ikhlas seikhlas-ikhlasnya!
Ini mirip Pertamina
yang juga tidak mungkin tidak menyalurkan BBM ke masyarakat meski kuota BBM
bersubsidinya sudah habis. Atau juga seperti BUMN lain, PT Pupuk Indonesia,
yang November/ Desember nanti tidak mungkin tidak menyalurkan pupuk ke petani.
Padahal, kuota pupuk subsidi sudah akan habis.
Saya tahu pepatah ini:
Kian tinggi, kian kencang anginnya. Tapi, saya juga tahu lelucon ini: Kian
besar kembung perut, kian besar buang anginnya!
Contoh lain lagi:
Secara mendadak, saat menjadi Dirut PLN saya memutuskan membangun transmisi
dari Tentena ke Palu lewat Poso. Sejauh 60 km. Harus melewati hutan dan gunung.
Tahun depan transmisi tersebut harus jadi. Itu akan bisa mengalirkan listrik
dari PLTA Poso milik Pak Kalla yang begitu murah tarifnya ke Kota Palu.
Kalau tidak ada
transmisi itu, PLTA di Sulteng tidak bisa untuk melistriki Sulteng, tapi justru
melistriki provinsi lain. Akibatnya, inefisiensi di PLN Sulteng akan terus
terjadi. Dengan nilai triliunan rupiah. Itu juga tidak ditemukan oleh BPK.
Saya terus memonitor
pembangunan transmisi tersebut agar inefisiensi yang sudah terjadi
bertahun-tahun itu segera berakhir.
Belakangan ini ada
masalah besar di proyek itu. Terutama sejak dua polisi Poso tewas di hutan oleh
teroris. Para pekerja yang memasang transmisi itu tidak berani masuk hutan. Dua
polisi tersebut pernah ikut mengamankan proyek itu.
Karena begitu
pentingnya proyek tersebut, saya minta PLN tidak menyerah terhadap ancaman
teroris. Kalau perlu, minta tolong Zeni TNI-AD untuk mengerjakannya.
Efisiensi yang akan
terjadi triliunan rupiah. Listrik untuk Palu pun lebih terjamin. Program itu
tidak boleh gagal oleh gertakan teroris.
Contoh lain yang
lebih menarik: Di laut utara Semarang ditemukan sumber gas. Pemilik sumur gas
itu sudah setuju menjual gasnya ke PLN. Harganya pun sudah disepakati. Tapi,
bertahun-tahun perusahaan yang memenangi tender untuk membangun pipa gasnya
tidak kunjung mengerjakannya. Bukan PLN yang mengadakan tender. PLN hanya
konsumen.
PLN gagal mendapatkan
gas sampai 100 MMBtu. Di sini PLN mengalami inefisiensi triliunan rupiah. BPK
juga belum menemukan inefisiensi itu.
Contoh-contoh
inefisiensi seperti itu luar biasa banyaknya. Dan triliunan rupiah nilainya.
Itulah sebabnya saya benar-benar ingin menjabat Dirut PLN sedikit lebih lama
lagi. Agar saya bisa melihat hasil-hasil pemberantasan inefisiensi di PLN lebih
banyak lagi.
Apakah Komisi VII DPR
tidak tahu semua itu? Sehingga memanggil saya untuk menjelaskannya?
Saya tegaskan: Komisi
VII sangat tahu semua itu. Kalaupun merasa tidak tahu, kan ada Dirut PLN yang
baru, Nur Pamudji. Pak Nur bisa menjelaskan dengan baik, bahkan bisa lebih baik
daripada saya. Apalagi, waktu itu beliau menjabat direktur PLN urusan energi
primer.
Hampir tidak ada
relevansinya memanggil menteri BUMN ke komisi VII. Tapi, kalaupun saya
dipanggil lagi, saya akan hadir. Saya juga sudah kangen kepada mereka. Dan
mungkin mereka juga sudah kangen saya. Sudah setahun saya tidak melucu di
komisi VII. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar