Membrane di Bawah
Bulan Purnama Kapat
Senin, 01 Oktober
2012
Bulan purnama lagi
mejeng dengan sangat menornya di atas langit ladang penggaraman yang luas di
selatan Sampang, Madura. Orang-orang Bali merayakannya sebagai purnama kapat
dengan sembahyang di pura. Orang Tionghoa sedunia merayakannya sebagai zhong
jiu yue dengan saling membagi kue bulan yang terkenal itu.
Tapi, di Madura, di
ladang garam ini, para petani sedang meradang: Harga garam mereka sedang
jatuh-jatuhnya. “Di satu pihak harga garam turun drastis, di lain pihak ongkos
angkutnya naik,” ujar Haji Ulum, seorang petani garam di situ. “Tahun ini kami
seperti terpukul dari kanan dan kiri,” tambahnya.
Malam Minggu kemarin
itu, di bawah sinar bulan purnama kapat yang menor itu, saya memang lagi
weekend di Sampang. Kombinasi pancaran sinar bulan yang terang dengan langit
biru yang cerah dan hamparan luas putihnya garam yang mengkristal membuat
suasana malam itu seperti lagi di alam maya: tidak siang, tidak malam, tidak
pagi, dan tidak senja.
Pencipta puisi
seperti Taufiq Ismail pasti akan bisa menggambarkan kemayaan suasana malam itu
sebagus puisinya tentang padang savana Sumba yang dibacakan penyair Umbu Landu
Paranggi itu!
Sayangnya,
kelompok-kelompok petani garam di Madura ini bukan seperti bait-bait puisi.
Mereka justru seperti lagi kompak menyenandungkan tanya: Mengapa di saat panen
garam seperti ini, impor garam terus terjadi!
Memang secara teori,
garam luar negeri itu hanya untuk industri. Tapi, semua bersaksi bahwa garam
impor itu juga masuk ke pasar konsumsi. Maka, panen raya garam yang luar biasa
tahun ini (berkat kemarau yang terik), yang semula menimbulkan harapan besar untuk
penghasilan yang lebih, berakhir dengan hampa.
Tentu bukan berarti
tidak ada hope. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan sudah memutuskan menghentikan
kebijakan lama. Mulai tahun depan, tugas mendatangkan garam untuk industri
hanya bisa dilakukan oleh BUMN PT Garam (Persero). Dengan demikian bisa lebih
terkontrol. Hanya, memang harus menunggu tahun depan. Izin-izin lama impor
garam itu baru berakhir pertengahan 2013.
Hope yang lain adalah
ini: membranisasi ladang garam. Program yang saya promosikan tahun lalu itu
kini sudah mulai ada hasilnya. Saya sengaja ke Sampang malam itu memang khusus
untuk melihat dan mengevaluasi percobaan penggunaan membrane tersebut. Saya
ingin tahu keadaan yang sebenarnya. Yang tidak hanya berbentuk laporan di atas
kertas.
Diam-diam dan agak
mendadak saya meluncur ke Sampang. Kesimpulannya -meminjam istilah pelawak
Tukul- ruaarrrr biasa!
PT Garam sudah
mencoba geomembrane itu di tiga lokasi: Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Semuanya di Madura, Jawa Timur. Di Sampang, geomembrane dipasang di area seluas
30 ha. “Hasilnya naik 40 persen,” ujar Yulian Lintang, Dirut PT Garam yang
malam itu mendadak saya ajak ke Sampang.
Bukan hanya jumlah
produksi yang meningkat, tapi juga kualitas garamnya. Dengan geomembrane, tidak
ada lagi garam kualitas dua atau kualitas tiga. Semuanya kualitas satu. Bahkan
dengan geomembrane itu, PT Garam sudah mulai bisa menghasilkan garam pada bulan
Mei. Tanpa geomembrane, panen pertama baru terjadi di bulan Juli.
Geomembrane seperti
lembaran plastik tipis yang sangat lebar, selebar petak-petak ladang garam.
Ukurannya sekitar 30 meter x 60 meter. Lembaran membrane tersebut dihampar di
dasar ladang. Seperti tambak udang. Lalu, air laut yang akan dijadikan garam
dialirkan ke petak tersebut. Dalam waktu lima hari, kristal-kristal garamnya
sudah mulai terlihat dan mengendap.
Itu beda dengan cara
tradisional yang dasar ladangnya adalah tanah. Dua bulan lamanya petani harus
membuat dasar ladang garam. Yakni dengan cara membiarkan dan meratakan
garam-garam awal musim berkali-kali. Setelah itu, barulah bisa membuat garam
yang sebenarnya. Itu pun ketika panen masih saja ada yang tercampur dengan
tanah. Itulah yang menyebabkan munculnya garam kualitas dua dan tiga.
Begitu PT Garam sudah
bisa panen di bulan Mei, petani garam di sekitar lokasi tambak BUMN itu
terperangah. Bagaimana mungkin di bulan Mei sudah bisa panen. Mereka pun
berbondong-bondong melihat teknologi baru itu. Apalagi ketika melihat seluruh
garam di atas membrane itu berkualitas satu, para petani pun terpana.
“Saya langsung
mendaftar untuk mendapatkan geomembrane itu,” ujar Haji Taufik, seorang petani
yang malam itu berbincang dengan saya.
“Mendaftar ke mana?” tanya saya.
“Ke Dinas Perindusterian Sampang,” jawab Taufik.
“Memangnya akan ada pembagian geomembrane?” tanya saya lagi.
“Saya dengar begitu. Tapi, entahlah,” jawab Taufik.
Bukan hanya Taufik
yang tergiur dengan teknologi geomembrane BUMN. “Saya juga sudah mendaftar,” ujar
Haji Wasil, 43 tahun, petani garam yang lulusan FISIP Universitas Muhammadiyah
Malang.
Bagaimana dengan Haji
Ulum, 37 tahun, yang juga bertani garam di situ” “Saya pun sudah mendaftar,”
katanya.
“Lho! Semuanya sudah mendaftar?” tanya saya.
“Iya, Pak. Total ada lima kelompok yang sudah mendaftar. Kira-kira 50 orang,” ujar Ulum, yang mengaku hanya tamat madrasah ibtidaiyah (setingkat SD), namun berkat ketekunannya bertani garam kini sudah memiliki sebuah Honda Jazz, satu pikap, dan dua truk.
Melihat hasil
penggunaan geomembrane yang begitu nyata, saya memutuskan agar PT Garam
menggunakan geomembrane 100 persen tahun depan. Yulian, Dirut PT Garam yang
asli Lintang, Lahat, Sumsel, dan baru menjabat mulai Juli lalu, bertekad akan
melaksanakan keputusan itu. Bukan saja untuk BUMN sendiri, tapi juga untuk
memberikan contoh kepeloporan bagi petani garam secara keseluruhan.
“Dari mana uangnya?”
tanya saya kepada Yulian Lintang.
“Bisa dari pinjaman bank, Pak,” jawab Yulian.
“Bisa mengembalikan bunga dan pokoknya?” tanya saya lagi.
“Dalam dua tahun pinjaman sudah bisa lunas. Asal, musimnya sebagus tahun ini,” jawab dia dengan tegas.
Mendengar dialog
tersebut, para petani garam juga tersulut. Mereka bertekad menempuh cara yang
sama. “Kalau memang tidak ada pembagian, saya juga mau lewat kredit,” ujar Haji
Taufik, petani garam tamatan sekolah pendidikan guru agama 6 tahun yang
sehari-hari naik Honda CR-V. Taufik yang pernah diangkat menjadi guru agama
tapi mengembalikan surat pengangkatannya itu memang petani garam yang cerdas.
Taufik tidak hanya
berladang garam. Dia juga mendirikan pabrik garam. Dia beli garam-garam
kualitas tiga dari para petani sekitar. Dia beli mesin pencuci garam seharga Rp
500 juta. Dia cuci garam tersebut sehingga bisa naik menjadi kualitas dua. Atau
dia cuci garam kualitas dua untuk bisa menjadi kualitas satu.
Bahkan, Taufik
sebenarnya tidak ingin menunggu pembagian atau kredit. “Kalau saja harga garam
tahun ini tidak jatuh, saya akan langsung membeli geomembrane,” ujarnya.
Haji Ulum punya
pikiran yang sama. “Sayangnya, harga garam tahun ini jatuh. Saya lagi mikir
lagi bagaimana bisa mendapatkan geomembrane,” katanya.
Dengan geomembrane,
peningkatan suhu air laut memang bisa lebih cepat. Suhu air laut yang disedot
dan dimasukkan ke ladang garam hanya 3 derajat. Suhu itu harus terus dinaikkan.
Caranya: Air diputar-putar (dialirkan) dari satu petak ke petak lain sampai
suhunya mencapai 20 derajat. Semua itu karena panas matahari.
Dalam proses
pindah-memindah air laut itulah terjadi juga pengendapan unsur-unsur kimia
seperti Fe, CaCO3, dan Ca sulfat. Zat-zat itu harus ditinggal agar mutu garam
bisa lebih baik. Artinya, dengan mengurangi zat-zat tersebut, NaCl dalam garam
bisa sangat tinggi.
Setelah mencapai suhu
20 derajat itulah, air dimasukkan (dialirkan) ke petak/kolam terakhir. Hanya
petak terakhir itulah yang perlu dilapisi geomembrane di dasarnya. Di petak
terakhir itu air akan dibiarkan mencapai suhu 25 sampai 28 derajat. Itulah suhu
yang bisa menghasilkan garam. Penggelaran geomembrane di dasarnya ikut membuat
peningkatan suhu tersebut lebih cepat.
Dalam lima hari, air
laut di atas membrane tersebut sudah berubah menjadi kristal-kristal garam.
Saat itulah ditentukan apakah garam yang dihasilkan akan dibuat menjadi
kristal-kristal kecil atau kristal-kristal besar. Sesuai dengan keinginan
pasar.
Melihat tumpukan
garam hasil dari ladang ber-geomembrane itu rasanya seperti melihat
mutiara-mutiara yang indah. Apalagi diterpa sinar bulan purnama yang sempurna.
Maka, seandainya BUMN
dan semua petani garam di Madura sudah menggunakan geomembrane, Madura saja
akan mampu memproduksi 1,2 juta ton garam setahun. Tinggal kurang 200.000 ton
lagi untuk bisa mencukupi kebutuhan garam konsumsi secara nasional. Kekurangan
itu bisa diperoleh dari Cirebon, Indramayu, dan Medan. Itu kalau semua petani
di tempat-tempat tersebut juga ketularan menggunakan geomembrane.
Kalau semua kebutuhan
garam konsumsi sudah bisa dipenuhi, tinggal kita memikirkan kebutuhan garam
untuk industri. Sayangnya, kebutuhan garam untuk industri itu jauh lebih besar
daripada kebutuhan garam untuk konsumsi: 1,8 juta ton. Itulah yang masih harus
diimpor.
Sampai kapan?
Harapan satu-satunya
adalah NTT. Ada 5.000 ha lahan yang bisa dipergunakan untuk ladang garam di
Kabupaten Kupang. Hampir sama dengan luas seluruh ladang garam Madura. PT Garam
sudah siap ekspansi ke sana. Namun, lahan tersebut masih harus diselesaikan.
Menyelesaikannya pun
mungkin tidak mudah. Sebab, pemerintah telanjur memberikan izin hak guna usaha
(HGU) kepada sebuah perusahaan dari Jakarta. Perusahaan itu ingin membuat ladang
garam raksasa dengan cara modern.
HGU itu sudah
diberikan 27 tahun yang lalu. Tapi, sampai 27 tahun kemudian, hari ini, lahan
tersebut masih tetap sama dengan 27 tahun yang lalu.
Garam rasanya memang
asin. Tapi, kalau jumlahnya sudah mencapai 3,2 juta ton, manisnya bukan main.
(*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar