Senin, 15 Oktober 2012

BamSoet: Setelah Pidato SBY

Setelah Pidato SBY

 

Bambang Soesatyo

Anggota Komisi III DPR RI

 

SEBAGAI sebuah pertunjukan politik, aksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bolehlah dibilang memukau dan menjadi bintang panggung dalam pidato di Istana Negara, Senin, 8 Oktober  2012. Presiden berhasil menciptakan klimaks, setelah energi negeri ini dihabiskan berbulan-bulan dalam kemelut di antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri.

 

Dalam pidatonya, Presiden SBY memberikan solusi taktis ihwal penyelesaian konflik antara KPK-Polri. Pernyataan SBY dalam pidato itu, kabarnya, mendapat panen pujian.

 

Presiden melansir lima solusi ini, setelah terjadi konflik terbuka antara Polri dengan KPK, yang sudah berlarut-larut, dan sebelumnya cenderung dibiarkan. Sehingga rakyat terpaksa berunjuk rasa dan berteriak “Where are You, Mr. President?” Di sejumlah daerah secara simultan.

 

Seperti diketahui, berlarut-larutnya konflik KPK versus Polri menjadi penjelasan yang paling mudah dicerna oleh siapa pun bahwa efektivitas pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus menurun. Jika presiden independen, persoalan yang memerangkap KPK dan Polri terbilang sederhana dan mudah diselesaikan. Presiden tersandera atau sekadar menerapkan manajemen konflik?

 

Insiden di gedung KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Jumat (5/10) pekan lalu, semestinya tidak perlu terjadi jika presiden sejak awal bisa mengendalikan situasi dan kondisi dalam negeri, khususnya yang berkait dengan friksi antara KPK versus Polri. Kehadiran sejumlah perwira Polri di Gedung KPK hari itu otomatis melahirkan banyak tafsir, karena mereka tiba di lokasi gedung KPK tak lama setelah penyidik KPK memeriksa tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.

 

Sekali pun benar bahwa kedatangan para perwira Polri itu bertujuan menjemput penyidik Polri yang ditugaskan di KPK, kesan yang mengemuka tetap saja tidak elok. Kini, publik sudah terlanjur mengasumsikan peristiwa itu sebagai tindakan jemput paksa. Karena jemput paksa itu dilakukan pada hari pemeriksaan Djoko Susilo di KPK, Polri pun dianggap marah, melampiaskan dendam serta dituduh macam-macam.  

 

Peristiwa itu tidak enak dipandang, pun tak sedap didengar. Sebab, yang tampak di permukaan adalah berlarut-larutnya perseteruan dua institusi negara, yang nota bene tugas dan fungsinya masing-masing sudah diatur dan ditetapkan oleh undang-undang (UU). Indonesia bukan negara baru. Semua kalangan prihatin karena perseteruan KPK versus Polri justru terjadi pada era Indonesia modern yang sudah menjalani belasan tahun periode reformasi.

 

Dalam konteks lebih luas, utamanya tata kelola negara, berlarut-larutnya konflik Polri versus KPK, berikut insiden Jumat pekan lalu itu, lebih menggambarkan kemunduran. Juga mengindikasikan  buruknya tata kelola pemerintahan. Bayangkan, merespons insiden Jumat pekan lalu itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto hanya bisa memberi penjelasan kepada pers bahwa tidak ada perintah Kepala Polri untuk aksi jemput paksa itu. Respons seperti ini tentu saja tidak menyelesaikan masalah. Dalam persepsi banyak orang, Menko Polhukam seharusnya mendesak Kapolri untuk mencegah atau segera mengakhiri insiden itu. Bahkan, tidak salah jika Menko Polhukam turun langsung ke lapangan untuk menetralisasi situasi saat itu.

 

Sebuah kesimpulan bisa dikedepankan dari insiden Jumat pekan lalu itu; bahwa presiden ternyata tidak pernah berinisiatif menggunakan wewenangnya sebagai kepala eksekutif pemerintahan menyelesaikan hingga tuntas konflik KPK versus Polri. Publik tentu masih ingat bahwa pada acara buka puasa bersama di Mabes Polri yang diselenggarakan pada pekan kedua Agustus 2012, terjadi pertemuan dan pembicaraan yang melibatkan Presiden SBY, Ketua KPK Abraham Samad dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Moment ini mendapat publikasi yang luas.

 

Sebab, pertemuan dan pembicaraan itu terlaksana ketika suasana sedang panas-panasnya menyusul langkah penggeledahan oleh penyidik KPK di kantor Korlantas Mabes Polri pada 30 Juli 2012 hingga keesokan harinya. Dari pertemuan dan pembicaraan itu, publik berasumsi bahwa presiden telah menggunakan kewenangannya menyelesaikan dan menuntaskan persoalan di antara KPK dengan Polri. Apalagi, setelah pertemuan itu, suasana sempat tenang kembali.

 

Ternyata, pertemuan itu tidak menyelesaikan persoalan. Mengacu pada situasi terkini, sulit untuk menduga apa yang dibicarakan di sela-sela buka puasa bersama saat itu. Belasan jam setelah insiden di gedung KPK, Kantor Presiden mengumumkan bahwa Presiden akan merespons persoalan ini tiga hari setelahnya, tepatnya Senin (8/10). Dan seperti diketahui akhirnya Presiden berpidato sangat bagus dan tegas. Namun, kita juga tahu pidato yang bagus itu kerap kali tidak berbanding lurus dengan pelaksanaan dilapangan. Itulah sebabnya saya meyakini konflik KPK versus Polri tampaknya belum akan terselesaikan. Persoalan antara dua institusi penegak hukum itu harus dituntaskan dengan kepatuhan para pembantu presiden melaksanakan instruksi presiden. Memang benar bahwa baik pimpinan KPK maupun pimpinan Polri seharusnya bisa menyelesaikan persoalan yang muncul di antara kedua institusi itu. Namun, manakala kedua institusi terperangkap di jalan buntu, presiden harus mengambil alih persoalan. 

 

Harus Terkendali

 

Mengapa tata kelola negara harus tampak kacau seperti sekarang ini? Sudah jelas bahwa KPK dan Polri gagal menemukan jalan untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, kita sesalkan presiden hanya menunggu. Dan baru bergerak setelah didesak publik. Presiden seharusnya tanpa didesak-desak  segera mengambil inisiatif menyelesaikan persoalan agar segala sesuatunya terkendali. Jangan sampai berbagai elemen masyarakat terlanjur bergerak seperti yang terjadi kemarin dan Jangan anggap remeh fakta ini. Persoalan KPK dengan Polri harus dikelola dengan penuh kearifan guna mencegah ekses yang lebih besar.

 

Sebab, sebelumnya muncul anggapan bahwa presiden yang belakangan ini sering bepergian ke luar negeri itu tidak peduli dengan ragam persoalan yang terus bermunculan di dalam negeri. Lebih dari itu, publik pun semakin yakin bahwa efektivitas pemerintahan sekarang ini terus menurun. Sebab, potret negara kini tampak amat buram karena sarat konflik, termasuk konflik berdarah.

 

Ada konflik antarorganisasi kemasyarakatan (Ormas), konflik horizontal berdarah di sejumlah daerah yang tak jarang menelan korban jiwa, tawuran antarpelajar sampai dengan konflik antarinstitusi negara. Kekuatan pemerintah untuk mengendalikan ketertiban umum tampak terus merosot. Padahal, pemerintah memiliki wewenang dan peralatan untuk mewujudkan suasana kehidupan yang kondusif.

 

Mengacu pada penjelasan Menko Polhukam atas insiden di gedung KPK, jangan-jangan persoalannya sudah tereskalasi di tubuh Polri. Oleh karena Polri menganut sistem komando, pergerakan sejumlah perwira tanpa sepengetahuan Kapolri tentu saja menjadi masalah tersendiri dan terpisah. Ini menjadi bukti bahwa jika masalahnya tidak dikelola dengan arif, situasi bisa tak terkendalikan.

 

Di berbagai tempat dan kesempatan, sering dimunculkan pertanyaan ini; mengapa presiden tidak juga bisa menyelesaikan konflik KPK dengan Polri? Karena tidak mudah menjawabnya, yang mengemuka adalah dugaan-dugaan. Pertama, dugaan presiden menerapkan manajemen konflik untuk menciptakan ketergantungan dan menggelembungkan kekuasaannya. Kedua, dugaan presiden tersandera oleh kepentingannya sendiri sehingga kesulitan menawarkan jalan tengah yang bisa mengharmonisasi KPK dan Polri.

 

Kemungkinan menerapkan manajemen konflik sangat kecil, karena sangat berisiko. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa presiden sangat mementingkan dan menjaga citra yang baik atas pemerintahannya. Logikanya, kalau presiden membiarkan KPK dan Polri  hanyut dalam konflik yang berkepanjangan, pemerintahannya akan dinilai tidak efektif.  Konsekuensi yang satu ini rasanya tidak diinginkan SBY.

 

Kemungkinan paling besar adalah presiden tersandera oleh kepentingannya sendiri. Namun, tidak ada yang tahu persis seperti apa kepentingan presiden dibalik konflik KPK versus Polri. Logikanya sederhana saja. Presiden berani me-reshuffle kabinet-nya, mengganti sekaligus sejumlah menteri. Padahal, risiko politik mengganti menteri jauh lebih besar dibanding risiko menggunakan kewenangan presiden menyelesaikan konflik KPK versus Polri.  

 

Memang, perkembangan masalahnya tampak menjadi sangat aneh. Tetapi, itulah kenyataan yang harus dihadapi rakyat Indonesia.

 

Kita berharap pidato Presiden SBY soal solusi kisruh KPK dan Polri tidak ditafsirkan seperti tukar-guling kasus antara kedua lembaga penegak hukum itu. Dimana Presiden Yudhoyono dalam pidatonya meminta kasus simulator kemudi diserahkan ke KPK namun dugaan kasus korupsi pengadaan barang dan jasa yang lain di tubuh Polri ditangani sendiri oleh Polri.

 

Apalagi, presiden juga sama sekali tidak berbicara soal sanksi yang akan diberikan jika instruksinya tidak dilaksanakan. Termasuk kepada mereka yang sudah menciptakan kisruh politik ini. Padahal, tanpa sanksi yang proporsional, masalah semacam ini berpotensi akan terus terulang nantinya. Kalau sudah begini, maka tak ubahnya presiden seolah tidak mematikan sumbu bom waktu, yang bisa meledak hebat, kelak, di suatu hari di masa yang akan datang—mungkin setelah ia tak lagi berkuasa. []

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar