Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
SEBAGAI sebuah pertunjukan politik, aksi
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bolehlah dibilang memukau dan menjadi
bintang panggung dalam pidato di Istana Negara, Senin, 8 Oktober 2012.
Presiden berhasil menciptakan klimaks, setelah energi negeri ini dihabiskan
berbulan-bulan dalam kemelut di antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
Mabes Polri.
Dalam pidatonya, Presiden SBY memberikan
solusi taktis ihwal penyelesaian konflik antara KPK-Polri. Pernyataan SBY dalam
pidato itu, kabarnya, mendapat panen pujian.
Presiden melansir lima solusi ini, setelah
terjadi konflik terbuka antara Polri dengan KPK, yang sudah berlarut-larut, dan
sebelumnya cenderung dibiarkan. Sehingga rakyat terpaksa berunjuk rasa dan
berteriak “Where are You, Mr. President?” Di sejumlah daerah secara simultan.
Seperti diketahui, berlarut-larutnya konflik
KPK versus Polri menjadi penjelasan yang paling mudah dicerna oleh siapa pun
bahwa efektivitas pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus
menurun. Jika presiden independen, persoalan yang memerangkap KPK dan Polri
terbilang sederhana dan mudah diselesaikan. Presiden tersandera atau sekadar
menerapkan manajemen konflik?
Insiden di gedung KPK (Komisi Pemberantasan
Korupsi), Jumat (5/10) pekan lalu, semestinya tidak perlu terjadi jika presiden
sejak awal bisa mengendalikan situasi dan kondisi dalam negeri, khususnya yang
berkait dengan friksi antara KPK versus Polri. Kehadiran sejumlah perwira Polri
di Gedung KPK hari itu otomatis melahirkan banyak tafsir, karena mereka tiba di
lokasi gedung KPK tak lama setelah penyidik KPK memeriksa tersangka kasus
dugaan korupsi pengadaan simulator berkendara di Korps Lalu Lintas Polri,
Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Sekali pun benar bahwa kedatangan para
perwira Polri itu bertujuan menjemput penyidik Polri yang ditugaskan di KPK,
kesan yang mengemuka tetap saja tidak elok. Kini, publik sudah terlanjur
mengasumsikan peristiwa itu sebagai tindakan jemput paksa. Karena jemput paksa
itu dilakukan pada hari pemeriksaan Djoko Susilo di KPK, Polri pun dianggap
marah, melampiaskan dendam serta dituduh macam-macam.
Peristiwa itu tidak enak dipandang, pun tak
sedap didengar. Sebab, yang tampak di permukaan adalah berlarut-larutnya
perseteruan dua institusi negara, yang nota bene tugas dan fungsinya
masing-masing sudah diatur dan ditetapkan oleh undang-undang (UU). Indonesia
bukan negara baru. Semua kalangan prihatin karena perseteruan KPK versus Polri
justru terjadi pada era Indonesia modern yang sudah menjalani belasan tahun
periode reformasi.
Dalam konteks lebih luas, utamanya tata
kelola negara, berlarut-larutnya konflik Polri versus KPK, berikut insiden
Jumat pekan lalu itu, lebih menggambarkan kemunduran. Juga
mengindikasikan buruknya tata kelola pemerintahan. Bayangkan, merespons
insiden Jumat pekan lalu itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan
Djoko Suyanto hanya bisa memberi penjelasan kepada pers bahwa tidak ada
perintah Kepala Polri untuk aksi jemput paksa itu. Respons seperti ini tentu
saja tidak menyelesaikan masalah. Dalam persepsi banyak orang, Menko Polhukam
seharusnya mendesak Kapolri untuk mencegah atau segera mengakhiri insiden itu.
Bahkan, tidak salah jika Menko Polhukam turun langsung ke lapangan untuk
menetralisasi situasi saat itu.
Sebuah kesimpulan bisa dikedepankan dari
insiden Jumat pekan lalu itu; bahwa presiden ternyata tidak pernah berinisiatif
menggunakan wewenangnya sebagai kepala eksekutif pemerintahan menyelesaikan
hingga tuntas konflik KPK versus Polri. Publik tentu masih ingat bahwa pada
acara buka puasa bersama di Mabes Polri yang diselenggarakan pada pekan kedua
Agustus 2012, terjadi pertemuan dan pembicaraan yang melibatkan Presiden SBY,
Ketua KPK Abraham Samad dan Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Moment ini mendapat
publikasi yang luas.
Sebab, pertemuan dan pembicaraan itu
terlaksana ketika suasana sedang panas-panasnya menyusul langkah penggeledahan
oleh penyidik KPK di kantor Korlantas Mabes Polri pada 30 Juli 2012 hingga
keesokan harinya. Dari pertemuan dan pembicaraan itu, publik berasumsi bahwa
presiden telah menggunakan kewenangannya menyelesaikan dan menuntaskan
persoalan di antara KPK dengan Polri. Apalagi, setelah pertemuan itu, suasana
sempat tenang kembali.
Ternyata, pertemuan itu tidak menyelesaikan
persoalan. Mengacu pada situasi terkini, sulit untuk menduga apa yang
dibicarakan di sela-sela buka puasa bersama saat itu. Belasan jam setelah
insiden di gedung KPK, Kantor Presiden mengumumkan bahwa Presiden akan
merespons persoalan ini tiga hari setelahnya, tepatnya Senin (8/10). Dan
seperti diketahui akhirnya Presiden berpidato sangat bagus dan tegas. Namun,
kita juga tahu pidato yang bagus itu kerap kali tidak berbanding lurus dengan
pelaksanaan dilapangan. Itulah sebabnya saya meyakini konflik KPK versus Polri
tampaknya belum akan terselesaikan. Persoalan antara dua institusi penegak
hukum itu harus dituntaskan dengan kepatuhan para pembantu presiden
melaksanakan instruksi presiden. Memang benar bahwa baik pimpinan KPK maupun
pimpinan Polri seharusnya bisa menyelesaikan persoalan yang muncul di antara
kedua institusi itu. Namun, manakala kedua institusi terperangkap di jalan
buntu, presiden harus mengambil alih persoalan.
Harus Terkendali
Mengapa tata kelola negara harus tampak kacau
seperti sekarang ini? Sudah jelas bahwa KPK dan Polri gagal menemukan jalan
untuk menyelesaikan persoalan. Karena itu, kita sesalkan presiden hanya
menunggu. Dan baru bergerak setelah didesak publik. Presiden seharusnya tanpa
didesak-desak segera mengambil inisiatif menyelesaikan persoalan agar segala
sesuatunya terkendali. Jangan sampai berbagai elemen masyarakat terlanjur
bergerak seperti yang terjadi kemarin dan Jangan anggap remeh fakta ini.
Persoalan KPK dengan Polri harus dikelola dengan penuh kearifan guna mencegah
ekses yang lebih besar.
Sebab, sebelumnya muncul anggapan bahwa
presiden yang belakangan ini sering bepergian ke luar negeri itu tidak peduli
dengan ragam persoalan yang terus bermunculan di dalam negeri. Lebih dari itu,
publik pun semakin yakin bahwa efektivitas pemerintahan sekarang ini terus
menurun. Sebab, potret negara kini tampak amat buram karena sarat konflik,
termasuk konflik berdarah.
Ada konflik antarorganisasi kemasyarakatan
(Ormas), konflik horizontal berdarah di sejumlah daerah yang tak jarang menelan
korban jiwa, tawuran antarpelajar sampai dengan konflik antarinstitusi negara.
Kekuatan pemerintah untuk mengendalikan ketertiban umum tampak terus merosot.
Padahal, pemerintah memiliki wewenang dan peralatan untuk mewujudkan suasana
kehidupan yang kondusif.
Mengacu pada penjelasan Menko Polhukam atas
insiden di gedung KPK, jangan-jangan persoalannya sudah tereskalasi di tubuh
Polri. Oleh karena Polri menganut sistem komando, pergerakan sejumlah perwira
tanpa sepengetahuan Kapolri tentu saja menjadi masalah tersendiri dan terpisah.
Ini menjadi bukti bahwa jika masalahnya tidak dikelola dengan arif, situasi
bisa tak terkendalikan.
Di berbagai tempat dan kesempatan, sering
dimunculkan pertanyaan ini; mengapa presiden tidak juga bisa menyelesaikan
konflik KPK dengan Polri? Karena tidak mudah menjawabnya, yang mengemuka adalah
dugaan-dugaan. Pertama, dugaan presiden menerapkan manajemen konflik untuk
menciptakan ketergantungan dan menggelembungkan kekuasaannya. Kedua, dugaan
presiden tersandera oleh kepentingannya sendiri sehingga kesulitan menawarkan
jalan tengah yang bisa mengharmonisasi KPK dan Polri.
Kemungkinan menerapkan manajemen konflik
sangat kecil, karena sangat berisiko. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa
presiden sangat mementingkan dan menjaga citra yang baik atas pemerintahannya.
Logikanya, kalau presiden membiarkan KPK dan Polri hanyut dalam konflik
yang berkepanjangan, pemerintahannya akan dinilai tidak efektif.
Konsekuensi yang satu ini rasanya tidak diinginkan SBY.
Kemungkinan paling besar adalah presiden
tersandera oleh kepentingannya sendiri. Namun, tidak ada yang tahu persis
seperti apa kepentingan presiden dibalik konflik KPK versus Polri. Logikanya
sederhana saja. Presiden berani me-reshuffle kabinet-nya, mengganti sekaligus
sejumlah menteri. Padahal, risiko politik mengganti menteri jauh lebih besar
dibanding risiko menggunakan kewenangan presiden menyelesaikan konflik KPK
versus Polri.
Memang, perkembangan masalahnya tampak
menjadi sangat aneh. Tetapi, itulah kenyataan yang harus dihadapi rakyat
Indonesia.
Kita berharap pidato Presiden SBY soal solusi
kisruh KPK dan Polri tidak ditafsirkan seperti tukar-guling kasus antara kedua
lembaga penegak hukum itu. Dimana Presiden Yudhoyono dalam pidatonya meminta
kasus simulator kemudi diserahkan ke KPK namun dugaan kasus korupsi pengadaan
barang dan jasa yang lain di tubuh Polri ditangani sendiri oleh Polri.
Apalagi, presiden juga sama sekali tidak
berbicara soal sanksi yang akan diberikan jika instruksinya tidak dilaksanakan.
Termasuk kepada mereka yang sudah menciptakan kisruh politik ini. Padahal,
tanpa sanksi yang proporsional, masalah semacam ini berpotensi akan terus
terulang nantinya. Kalau sudah begini, maka tak ubahnya presiden seolah tidak
mematikan sumbu bom waktu, yang bisa meledak hebat, kelak, di suatu hari di
masa yang akan datang—mungkin setelah ia tak lagi berkuasa. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar