Setelah
Diantasarikan, Dinovelkan, Lalu...
Catatan untuk
Pimpinan KPK
Oleh: Adhie M.
Massardi
KPK sebenarnya lahir
pada penghujung 2003, setahun setelah UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi ditandatangani Presiden Megawati (27/12/02). Tapi rakyat
Indonesia baru merasakan kehadiran KPK sejak dipimpin Antasari Azhar, 2008.
Di bawah kendali Antasari, KPK memang mulai bersinar, menjadi lembaga independen. Karena itu, Antasari memilih mengambil jarak dengan Istana. Beda saat dipimpin pensiunan polisi Taufiqurrahman Rukie yang sering sowan Presiden, makanya lepas dari KPK dapat jatah istimewa: Komisaris Utama BUMN Krakatau Steel.
Setelah berjarak dengan Istana, KPK Jilid 2 memang jadi lembaga hukum paling sangar. Anggota DPR yang selama ini dianggap kebal hukum, bisa dijebloskan ke penjara. Kejaksaan Agung diobrak-abrik. Jaksa Urip yang biasa mengirim orang ke penjara, giliran dimasukkan ke penjara.
Gubernur dan jajaran pimpinan Bank Indonesia yang sebenarnya memiliki undang-undang yang bisa melindungi mereka, skandal korupsinya berhasil diungkap Antasari. Mereka bisa dipenjarakan. Satu di antaranya Aulia Pohan, besan Presiden Yudhoyono.
Sejak itu, KPK mulai dapat serangan. Memang masih terselubung dan malu-malu. Tapi skenario pelemahan KPK tampaknya terus dimatangkan.
Karena menjalankan prinsip “hukum akan kuat bila bisa menghukum orang kuat yang melanggar hukum” maka KPK jadi momok baru di pentas politik dan hukum nasional. Bahkan bikin gusar Presiden Yudhoyono yang besan dibui KPK.
”Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati..,” kata Presiden saat berkunjung ke harian Kompas, Jakarta (24/6/09). Sejak itu KPK distigma sebagai lembaga superbody yang dikesankan negatif!
Gertakan Presiden Yudhoyono tidak bikin KPK gentar. Bahkan ketika atas perintah Presiden Yudhoyono, Ketua BPKP Komjen Didi Widayadi menyatroni KPK untuk memeriksa keuangannya, pimpinan KPK tetap tegar.
Rencana memeriksa KPU terkait skandal korupsi pengadaan perangkat teknologi (IT) penghitung suara yang kondisi mesinnya yang ganjil terus dilanjutkan. Padahal saat itu KPU terus mengumandangkan kemenangan Partai Demokrat yang luar biasa pada pemilu 2009 itu.
KPK juga terus berkomunikasi dengan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk membongkar permainan uang triliunan rupiah di balik bailout Bank Century. Padahal pengucuran uang Rp 6,7 T dari BI ke Bank Century berbasis Perppu No 4/2008 yang ditandatangani Presiden Yudhoyono.
Benar, setelah sejak April (2009) Antasari Cs serius mau masuk ke kasus IT KPU dan hendak membongkar sandiwara bailout Bank Century, yang kata Jusuf Kalla perampokan, skenario pelemahan KPK dilaksanakan dengan sangat profan. Terang-terangan.
Seperti sudah kita ketahui, Antasari kemudian diplot terlibat pembunuhan Nasrudin yang bermotif cinta segitiga. Masuk bui dan tak bisa berkutik sampai detik ini. Bibit dan Chandra dikriminalisasi lewat kisah Cicak vs Buaya.
Berbagai cara masih akan terus dilakukan untuk memberangus KPK. Tujuan utamanya, agar para pembesar negara yang sekarang, kalau sudah lengser dari panggung politik kekuasaan, tidak dikejar-kejar.
Sebab hanya KPK yang bisa menyeret para (bekas) penguasa korup itu. Kalau kejaksaan dan kepolisian masih punya rasa “ewuh pekewuh” kalau harus menghadapi bekas juragannya yang jadi pesakitan.
Makanya, pimpinan KPK, Samad Cs tidak boleh gentar melawan penguasa yang korup. Justru setelah ada tekanan yang mau melemahkan, kalian harus lebih tegas lagi. Acungkan pedang hukum kalian. Tusuk jantung korupsi di negeri ini. Jangan takut “diantasarikan” dan para penyidiknya jangan gentar “dinovelkan”.Lain kali “disinetronkan”…
Contohlah keberanian para wartawan seperti Didik Herwanto fotografer Riau Pos yang dihajar tentara. Mereka menjalankan profesinya untuk bangsanya hanya dengan modal UU Pers yang bias dan tidak terlalu diakui. Banyak wartawan yang dikriminalisasi, dihajar sampai babak belur, bahkan tak sedikit yang sampai tewas.
Tidak seperti KPK yang bisa dengan mudah mendapat dukungan publik dan politik bila dapat tekanan dari luar, para wartawan itu harus membela dirinya sendiri. Tapi mereka tetap bergerak. Mengungkap kebusukan pusat-pusat kekuasaan negeri ini, yang kian lama kian memabukkan dan bikin mual rakyat. [***]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar