Allah, 2014
Oleh: Emha Ainun
Nadjib
Sejak jauh sebelum
hari Pilgub Jakarta, sejumlah teman saya tanya “lebih ok mana Foke-Nara atau
Jokowi-Ahok?” muncul labirin dan mosaik jawaban.
Ada jawaban “close-up”
: si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA hebatnya begini, memblenya
begitu — tentu saja semua dalam skema nilai-nilai baku kebangsaan dan
kenegaraan: kualitas kepemimpinan, kematangan manajemennya, kreativitas
pembangunannya, watak sosial budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.
Jawaban yang ini ada
yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada yang dari filosofi dan budaya
tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja banyak yang “common sense” atau
“kata ini”, “menurut itu” dan lain sebagainya. Yang dari Agama misalnya
menyebut pemimpin harus soleh. Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan
konsep, perencanaan dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga
“dipastikan” sangat minimal mudlaratnya.
“Soleh” itu “baik” pada
formula yang demikian. Ada “baik-baik” yang lain dalam bahasa Tuhan. “Khoir”
itu kebaikan yang universal, cair, bahkan Kristal, belum berbentuk, belum
aplikatif. “Ma’ruf” itu kebaikan yang sudah melalui dialektika, diskusi,
perundingan, pergesekan-pergesekan antar manusia, sehingga kemudian disepakati
sebaga aturan bersama. “Ihsan” itu kebaikan yang lahir murni dari nurani
manusia: orang berbuat baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak
diatur oleh hukum atau etika. Ada lagi “birr”, yang menghasilkan istilah
“mabrur” : itu puncak pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara
manusia dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia dipunggungi atau
sekurang-kurangnya dinomer-duakan secara total.
Kalau memakai
“close-up” pemahaman yang ini, benar-benar tidak gampang menilai mana yang
lebih oke antara FN dengan JA. Begitu luasnya kemungkinan dalam kehidupan,
namun begitu jauh lebih luasnya cakrawala probabilitas pada diri manusia.
Kalaupun persepsi, analisis dan kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN,
kebenarannya direlatifkan oleh teori ilmu teater: “Tidak ada aktor yang buruk.
Yang ada adalah pemain yang berada di tempat yang tepat atau tidak”.
Jadi, soal “casting”.
Hidung seindah dan semancung apapun menjadi mengerikan kalau letaknya tergeser setengah
sentimeter. Shalat menjadi kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada
interval waktunya. Berdzikir siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan
istri bingung tak punya beras. Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat
dilaknat kalau dilaksanakan di halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat
berjamaah.
Bahkan ada orang yang
ketepatannya adalah memelihara kambing, bukan ayam. Ada pejabat yang
ketepatannya menjadi penjaga gudang. Ada tentara yang ketepatannya berpangkat
Kolonel, sehingga Pak Riamirzad Ryacudu ketika menjadi KASAD pusing kepala
karena ada temannya yang mengajukan Surat Mohon Tidak Naik Pangkat. Orang macam
saya ini hampir sama sekali nir-tepat: jadi intelektual tidak tepat, jadi
seniman, kiai, aktivis, dukun, pengasuh Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi
— belum pernah benar-benar berada pada koordinat ketepatan.
Kalau keruwetan hidup
macam itu dituruti: bagaimana bisa punya presisi pengetahuan bahwa JA tepat
memimpin Jakarta? Apalagi terkadang, entah berapa prosentasenya, justru yang
diperlukan adalah ketidak-tepatan. Striker sebuah kesebelasan nendang bola agak
melenceng, sehingga terkena kaki pemain belakang lawan, sehingga bola meleset
dan masuk gawang.
Nabi Muhammad SAW
menyarankan mantan musuh utamanya sesudah “Kemenangan Mekah” agar segera cari
istri dan berumah tangga. Dilaksanakan. Kelak putra beliau yang dikasih saran
ini yang membunuh cucu Nabi. Jengis Khan menghancur-leburkan peradaban Islam
meluluh-lantakkan perpustakaan besar Islam Bagdad, kemudian kelak cucunya
menjadi tokoh Muslim yang membangun kembali tradisi intelektual dan kebudayaan
Islam.
Dalam kasus itu di
mana letak ketepatan dan di mana ketidak-tepatan? Penguasa pembunuh keluarga
Nabi Muhammad SAW itu menambah teks khutbah Jumat dengan kalimat kutukan kepada
Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kelak cucunya menjadi Khalifah terbaik dalam
sejarah Islam dan dia yang menghapus kalimat kutukan itu. Karena itu dalam
sebuah peperangan, tatkala pasukan musuh keok dan tinggal dipenggal lehernya,
Nabi Muhammad SAW melarangnya: “Jangan bunuh, saya sudah mendoakan kebaikan
Islam bagi cucu-cucu mereka”.
Jadi JA dan FN
berangkulan aja dari maqamnya masing-masing untuk membangun kegembiraan rakyat
Jakarta dengan kesungguhan hati dunia akhirat terserah Jokowi bisa wudlu atau
tidak, itu wilayah konflik dia dengan Allah. Toh sudah sama-sama bisa makan
berkecukupan, bisa beli pakaian lebih dari tiga lembar, punya mobil, dan sudah
sama-sama aqil baligh.
Aqil artinya sudah
memiliki kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan akal itu pasti sehat. Baligh
artinya kemampuan untuk menyampaikan, menerapkan, mengaplikasikan, mewujudkan,
mengejawentahkan atau mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi
kenyataan, cita-cita dan cinta menjadi entitas kehidupan.
Mereka toh juga
sama-sama “Amirul Mu’minin”, pemimpin proses menuju “aman”, dengan landasan
“iman”, membawa senjata “amanah”, dengan ujung doa “amin”. Amirul Mu’minin
membangun iman amin amanah aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya,
aman pasarnya, aman kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman
kerjaannya, aman seluruhnya.
Jokowi dan Foke
sama-sama Muslim dan Mu’min. Kriteria, parameter atau tanda-tandanya: kalau ada
Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mu’min di suatu lingkungan, maka terjamin
amanlah harta semua orang, aman martabat semua orang, dan aman nyawa semua
orang.
Tetapi jaminan “aman”
itu belum pernah benar-benar menjadi pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya
belum dipercaya bahwa benar demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN
itu muncul jawaban yang sangat lebih jauh “mempercayai” relativitas. Memang lebih
luas namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian. Semacam
jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka buruk, antara kewaspadaan
dengan rasa kapok — oleh suatu keberlangsungan realitas yang mungkin
mengecewakan, bahkan mungkin menyiksa.
Kehidupan ini
sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum pertandingan sepakbola di
mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari pada menang. Karena faktor mental,
karakter, route hati dan bioritme, situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap
turnamen — membuat kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini,
demi kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena kwalitas
mental para pemain belum transenden dari situasi kalah atau menang.
Jawaban yang ini berpandangan
bahwa dalam hukum dialektika sejarah, belum tentu kalau JA menang itu pasti
baik bagi diri mereka atau rakyat Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu
buruk bagi keduanya maupun bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya.
Tetapi karena keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan
pandangan bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau
FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan pendapat sebaliknya:
bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya adalah kalau JA menang.
Keduanya memiliki
kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah dalam kehidupan adalah kita
manusia menyediakan ruang seluas-luasnya untuk apresiasi bahwa orang lain hidup
dalam kebenarannya sendiri yang bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan
kebenaran kita. Kebudayaan dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen,
kerendah-hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan kelenturan mental pada
manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.
Itulah sebabnya selama
pertandingan dua petinju saling mengincar, memukul dan menjatuhkan, kemudian
selesai tanding mereka berpelukan, saling mengangkat dan mengacungkan tangan
lawannya. Sebab mereka itu “musuh” selama pertandingan namun sahabat dalam
kehidupan. Partnership yang kompak dalam ideologi untuk sama-sama menghormati
sportivitas. Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa hukumnya: adil. Bahasa
keseniannya: pas.
Jawaban yang paling
“parah” berbunyi semacam “distrust statement”. Suatu ungkapan pesimis yang ternyata
optimistik. Misalnya: “Jokowi atau siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit
mengubah Jakarta, tapi tidak akan berdaya menghadapi penyakit-penyakit
Indonesia yang sudah terlalu akut. Yang dicuri terlalu banyak, yang mencuri
terlalu banyak, modus pencuriannya, formulanya dan teknis strategi pencuriannya
saling mendukung dan saling menggelembungkan dengan mental dan budaya
kemunafikan yang hampir sempurna.”
“Semua itu muncul di
semua lini dan segmen, di semua bidang dan disiplin, di gedung pemerintahan, di
sekolah, di lembaga-lembaga apapun, di jalanan, di tempat-tempat ibadah.
Teraplikasi pada manusianya dan sistemnya, etika sosialnya dan hukumnya.
Komplikasi penyakit Pemerintahan Indonesia di era apapun sudah bukan hanya
tidak bisa diatasi, tapi bahkan semua bertengkar ketika mencoba merumuskannya.
Dengan pendekatan ilmu dari bumi, planet-planet maupun dari langit sap tujuh”.
“Ini bangsa semakin
tidak mengerti dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini rakyat menjalani 25
tahun Orde Lama untuk menyesalinya, menelusuri 32 tahun Orde Baru untuk
mengutuknya, kemudian memanggul 14 tahun Reformasi untuk muntah dan pecah
kepalanya. Bawa ke sini Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Firaun
yang cacat teologi namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya, serta semua
pemimpin dunia yang terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan menjadi satu
orang, mari bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah Indonesia….”
Jadi bagaimana
pesismisme itu bisa bersifat optimistik? Teman itu menjawab: “Barang siapa
tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah, maka ia tidak berkewajiban untuk
menyelesaikan masalah. Barang berat yang mestinya dimuat oleh truk besar, tidak
memberi kewajiban kepada becak atau andong untuk mengangkutnya. Kita yang becak
lakukan terus darma perjuangan becak, yang andong aktif terus menyelenggarakan
pengabdian becak.”
“Setor-setor kerja
keras dan kebaikan ke masa depan sesedikit apapun. Rajin tanam padi terus,
karena ada sahabat-sahabat dari pegawai birokrasi alam semesta yang menjalankan
kewajiban menumbuhkan padi itu dan menyiapkan panen raya. Ada ratusan Kabinet
dalam kehidupan, termasuk yang meneteskan embun dari gigir daun-daun, yang
memelihara detak jantung, juga yang menjadwal jam berapa kita buang air kecil
pagi ini, siang nanti, sampai kelak kita mati atau datang kiamat besar atau
kecil, tanpa bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat Depag”.
“Ya Allah, nanti 2014
iku Pemilu dong…. Kalau Engkau berpartisipasi, jatah suara-Mu tak satu,
melainkan hidayah-Mu dengan mudah merasuki semua mereka yang sedang bingung
menentukan pilihan”. []
Dimuat di Kolom,
Majalah Gatra No. 47 XVIII 27 September – 3 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar