Jumat, 19 Oktober 2012

Cak Nun: Allah, 2014


Allah, 2014

Oleh: Emha Ainun Nadjib


Sejak jauh sebelum hari Pilgub Jakarta, sejumlah teman saya tanya “lebih ok mana Foke-Nara atau Jokowi-Ahok?” muncul labirin dan mosaik jawaban.


Ada jawaban “close-up” : si FN bagusnya di sini, kacaunya di situ; si JA hebatnya begini, memblenya begitu — tentu saja semua dalam skema nilai-nilai baku kebangsaan dan kenegaraan: kualitas kepemimpinan, kematangan manajemennya, kreativitas pembangunannya, watak sosial budayanya, juga kadar kasih sayang kerakyatannya.


Jawaban yang ini ada yang ambil dari konsep demokrasi modern, ada yang dari filosofi dan budaya tradisi, ada yang dari Agama, tapi tentu saja banyak yang “common sense” atau “kata ini”, “menurut itu” dan lain sebagainya. Yang dari Agama misalnya menyebut pemimpin harus soleh. Soleh maksudnya kebaikan yang dikerjakan dengan konsep, perencanaan dan perhitungan komprehensif sedemikian rupa sehingga “dipastikan” sangat minimal mudlaratnya.


“Soleh” itu “baik” pada formula yang demikian. Ada “baik-baik” yang lain dalam bahasa Tuhan. “Khoir” itu kebaikan yang universal, cair, bahkan Kristal, belum berbentuk, belum aplikatif. “Ma’ruf” itu kebaikan yang sudah melalui dialektika, diskusi, perundingan, pergesekan-pergesekan antar manusia, sehingga kemudian disepakati sebaga aturan bersama. “Ihsan” itu kebaikan yang lahir murni dari nurani manusia: orang berbuat baik meskipun tidak disuruh, tidak diwajibkan, tidak diatur oleh hukum atau etika. Ada lagi “birr”, yang menghasilkan istilah “mabrur” : itu puncak pencapaian kebaikan dalam hubungan spesifik antara manusia dengan Tuhan, pada posisi di mana dunia dipunggungi atau sekurang-kurangnya dinomer-duakan secara total.


Kalau memakai “close-up” pemahaman yang ini, benar-benar tidak gampang menilai mana yang lebih oke antara FN dengan JA. Begitu luasnya kemungkinan dalam kehidupan, namun begitu jauh lebih luasnya cakrawala probabilitas pada diri manusia. Kalaupun persepsi, analisis dan kesimpulan kita tepat tentang JA dan FN, kebenarannya direlatifkan oleh teori ilmu teater: “Tidak ada aktor yang buruk. Yang ada adalah pemain yang berada di tempat yang tepat atau tidak”.


Jadi, soal “casting”. Hidung seindah dan semancung apapun menjadi mengerikan kalau letaknya tergeser setengah sentimeter. Shalat menjadi kebaikan kepada Tuhan hanya kalau dilaksanakan pada interval waktunya. Berdzikir siang-siang itu buruk ketika berbarengan dengan istri bingung tak punya beras. Bernyanyi dan bermusik dangdut itu sangat dilaknat kalau dilaksanakan di halaman Masjid ketika orang sedang shalat Jumat berjamaah.


Bahkan ada orang yang ketepatannya adalah memelihara kambing, bukan ayam. Ada pejabat yang ketepatannya menjadi penjaga gudang. Ada tentara yang ketepatannya berpangkat Kolonel, sehingga Pak Riamirzad Ryacudu ketika menjadi KASAD pusing kepala karena ada temannya yang mengajukan Surat Mohon Tidak Naik Pangkat. Orang macam saya ini hampir sama sekali nir-tepat: jadi intelektual tidak tepat, jadi seniman, kiai, aktivis, dukun, pengasuh Sekolah, pemikir, dan macam-macam lagi — belum pernah benar-benar berada pada koordinat ketepatan.


Kalau keruwetan hidup macam itu dituruti: bagaimana bisa punya presisi pengetahuan bahwa JA tepat memimpin Jakarta? Apalagi terkadang, entah berapa prosentasenya, justru yang diperlukan adalah ketidak-tepatan. Striker sebuah kesebelasan nendang bola agak melenceng, sehingga terkena kaki pemain belakang lawan, sehingga bola meleset dan masuk gawang.


Nabi Muhammad SAW menyarankan mantan musuh utamanya sesudah “Kemenangan Mekah” agar segera cari istri dan berumah tangga. Dilaksanakan. Kelak putra beliau yang dikasih saran ini yang membunuh cucu Nabi. Jengis Khan menghancur-leburkan peradaban Islam meluluh-lantakkan perpustakaan besar Islam Bagdad, kemudian kelak cucunya menjadi tokoh Muslim yang membangun kembali tradisi intelektual dan kebudayaan Islam.


Dalam kasus itu di mana letak ketepatan dan di mana ketidak-tepatan? Penguasa pembunuh keluarga Nabi Muhammad SAW itu menambah teks khutbah Jumat dengan kalimat kutukan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Kelak cucunya menjadi Khalifah terbaik dalam sejarah Islam dan dia yang menghapus kalimat kutukan itu. Karena itu dalam sebuah peperangan, tatkala pasukan musuh keok dan tinggal dipenggal lehernya, Nabi Muhammad SAW melarangnya: “Jangan bunuh, saya sudah mendoakan kebaikan Islam bagi cucu-cucu mereka”.


Jadi JA dan FN berangkulan aja dari maqamnya masing-masing untuk membangun kegembiraan rakyat Jakarta dengan kesungguhan hati dunia akhirat terserah Jokowi bisa wudlu atau tidak, itu wilayah konflik dia dengan Allah. Toh sudah sama-sama bisa makan berkecukupan, bisa beli pakaian lebih dari tiga lembar, punya mobil, dan sudah sama-sama aqil baligh.


Aqil artinya sudah memiliki kesanggupan untuk menggunakan akal. Dan akal itu pasti sehat. Baligh artinya kemampuan untuk menyampaikan, menerapkan, mengaplikasikan, mewujudkan, mengejawentahkan atau mentransformasikan visi menjadi realitas, ilmu menjadi kenyataan, cita-cita dan cinta menjadi entitas kehidupan.


Mereka toh juga sama-sama “Amirul Mu’minin”, pemimpin proses menuju “aman”, dengan landasan “iman”, membawa senjata “amanah”, dengan ujung doa “amin”. Amirul Mu’minin membangun iman amin amanah aman beras rakyatnya, aman sekolah anak-anaknya, aman pasarnya, aman kesehatannya, aman keadilannya, aman hartanya, aman kerjaannya, aman seluruhnya.


Jokowi dan Foke sama-sama Muslim dan Mu’min. Kriteria, parameter atau tanda-tandanya: kalau ada Jokowi dan Foke, kalau ada Muslim dan Mu’min di suatu lingkungan, maka terjamin amanlah harta semua orang, aman martabat semua orang, dan aman nyawa semua orang.


Tetapi jaminan “aman” itu belum pernah benar-benar menjadi pengalaman sejarah, sekurang-kurangnya belum dipercaya bahwa benar demikian. Sehingga atas pertanyaan tentang JA-FN itu muncul jawaban yang sangat lebih jauh “mempercayai” relativitas. Memang lebih luas namun ada semacam tarik-ulur antara kemungkinan dengan kepastian. Semacam jawaban agak bingung antara sangka baik dengan sangka buruk, antara kewaspadaan dengan rasa kapok — oleh suatu keberlangsungan realitas yang mungkin mengecewakan, bahkan mungkin menyiksa.


Kehidupan ini sedemikian tidak pastinya sehingga ada suatu momentum pertandingan sepakbola di mana suatu kesebelasan lebih baik kalah dari pada menang. Karena faktor mental, karakter, route hati dan bioritme, situasi kebersamaan mereka, peta dan tahap turnamen — membuat kesebelasan itu lebih baik mengalami kalah dulu kali ini, demi kebangunan yang lebih matang pada tahap berikutnya. Juga karena kwalitas mental para pemain belum transenden dari situasi kalah atau menang.


Jawaban yang ini berpandangan bahwa dalam hukum dialektika sejarah, belum tentu kalau JA menang itu pasti baik bagi diri mereka atau rakyat Jakarta. Juga kalau FN kalah belum tentu itu buruk bagi keduanya maupun bagi rakyat. Juga tak bisa dipastikan sebaliknya. Tetapi karena keterbatasan rasional, manusia harus mengambil ketetapan pandangan bahwa yang baik adalah kalau JA menang dan yang celaka adalah kalau FN menang. Sementara kalangan yang lain harus memastikan pendapat sebaliknya: bahwa yang aman adalah kalau FN menang dan yang bahaya adalah kalau JA menang.


Keduanya memiliki kebenarannya masing-masing, sehingga yang terindah dalam kehidupan adalah kita manusia menyediakan ruang seluas-luasnya untuk apresiasi bahwa orang lain hidup dalam kebenarannya sendiri yang bisa jadi berbeda atau bertentangan dengan kebenaran kita. Kebudayaan dan peradaban dibangun oleh kesanggupan managemen, kerendah-hatian, dinamika-kontinyu ilmu, kearifan dan kelenturan mental pada manusia di antara perbedaan dan pertentangan itu.


Itulah sebabnya selama pertandingan dua petinju saling mengincar, memukul dan menjatuhkan, kemudian selesai tanding mereka berpelukan, saling mengangkat dan mengacungkan tangan lawannya. Sebab mereka itu “musuh” selama pertandingan namun sahabat dalam kehidupan. Partnership yang kompak dalam ideologi untuk sama-sama menghormati sportivitas. Sportif itu bahasa moralnya: jujur. Bahasa hukumnya: adil. Bahasa keseniannya: pas.


Jawaban yang paling “parah” berbunyi semacam “distrust statement”. Suatu ungkapan pesimis yang ternyata optimistik. Misalnya: “Jokowi atau siapapun pasti bisa berbuat baik dan sedikit mengubah Jakarta, tapi tidak akan berdaya menghadapi penyakit-penyakit Indonesia yang sudah terlalu akut. Yang dicuri terlalu banyak, yang mencuri terlalu banyak, modus pencuriannya, formulanya dan teknis strategi pencuriannya saling mendukung dan saling menggelembungkan dengan mental dan budaya kemunafikan yang hampir sempurna.”


“Semua itu muncul di semua lini dan segmen, di semua bidang dan disiplin, di gedung pemerintahan, di sekolah, di lembaga-lembaga apapun, di jalanan, di tempat-tempat ibadah. Teraplikasi pada manusianya dan sistemnya, etika sosialnya dan hukumnya. Komplikasi penyakit Pemerintahan Indonesia di era apapun sudah bukan hanya tidak bisa diatasi, tapi bahkan semua bertengkar ketika mencoba merumuskannya. Dengan pendekatan ilmu dari bumi, planet-planet maupun dari langit sap tujuh”.


“Ini bangsa semakin tidak mengerti dirinya. Ini Negara salah lahirnya. Ini rakyat menjalani 25 tahun Orde Lama untuk menyesalinya, menelusuri 32 tahun Orde Baru untuk mengutuknya, kemudian memanggul 14 tahun Reformasi untuk muntah dan pecah kepalanya. Bawa ke sini Mahatma Gandhi, Abraham Lincoln, Nelson Mandela, Firaun yang cacat teologi namun ratusan tahun sejahtera rakyatnya, serta semua pemimpin dunia yang terpuji dan emas catatan sejarahnya: gabungkan menjadi satu orang, mari bertaruh kalau sampai dia bisa mengatasi masalah Indonesia….”


Jadi bagaimana pesismisme itu bisa bersifat optimistik? Teman itu menjawab: “Barang siapa tidak punya kemampuan untuk mengatasi masalah, maka ia tidak berkewajiban untuk menyelesaikan masalah. Barang berat yang mestinya dimuat oleh truk besar, tidak memberi kewajiban kepada becak atau andong untuk mengangkutnya. Kita yang becak lakukan terus darma perjuangan becak, yang andong aktif terus menyelenggarakan pengabdian becak.”


“Setor-setor kerja keras dan kebaikan ke masa depan sesedikit apapun. Rajin tanam padi terus, karena ada sahabat-sahabat dari pegawai birokrasi alam semesta yang menjalankan kewajiban menumbuhkan padi itu dan menyiapkan panen raya. Ada ratusan Kabinet dalam kehidupan, termasuk yang meneteskan embun dari gigir daun-daun, yang memelihara detak jantung, juga yang menjadwal jam berapa kita buang air kecil pagi ini, siang nanti, sampai kelak kita mati atau datang kiamat besar atau kecil, tanpa bergantung pada keputusan DPR dan Sidang Isbat Depag”.


“Ya Allah, nanti 2014 iku Pemilu dong…. Kalau Engkau berpartisipasi, jatah suara-Mu tak satu, melainkan hidayah-Mu dengan mudah merasuki semua mereka yang sedang bingung menentukan pilihan”. []


Dimuat di Kolom, Majalah Gatra No. 47 XVIII 27 September – 3 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar