Rabu, 03 Oktober 2012

(Ngaji of the Day) Melepas Belenggu Syahwat


Melepas Belenggu Syahwat

Oleh Cecep Zakarias El Bilad

 

Ramadhan demi Ramadhan berlalu. Kita sudah hampir melewati sebulan pertama pasca Ramadhan tahun ini. Tetapi rasanya tidak jauh berbeda dengan keadaan di bulan-bulan pasca Ramadhan tahun-tahun sebelumnya: persoalan umat masih menumpuk, bahkan dalam banyak hal nampaknya semakin memburuk. Di televisi dan koran, misalnya, kita saksikan, korupsi, kekerasan massa, terorisme dan perebutan jabatan politik, masih menjadi headline pemberitaan. Tempat-tempat mesum masih ramai dikunjungi orang. Aurat-aurat perempuan kembali ramai dipertontonkan. Masjid-masjid dan mushalla-mushalla kembali sunyi, hanya beberapa gelintir orang saja masih rajin mengisi shaf-shaf shalat jama’ah.


Ramadhan seolah tak meninggalkan jejak sama sekali dalam kehidupan umat di tanah air. Ia menjadi tak lebih sekedar festival tahunan, tanpa makna dan kesan dalam kehidupan. Padahal tidak demikian. Jelas dalam al-Quran disebutkan:


“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan pula kepada generasi-generasi sebelumnya. Tiada lain supaya kalian menjadi hamba-hamba yang bertakwa” (Al-Baqarah: 183).


Puasa Ramadhan adalah demi terbentuknya pribadi dan masyarakat yang bertakwa. Inti dari takwa, sebagaimana kata Syekh Ibn ’Atāillāh, ialah ketundukan kepada Allah SWT baik lahir maupun batin. Secara lahir, pribadi bertakwa selalu memperhatikan aturan-aturan Allah dalam setiap hal dalam hidup sehari-harinya: saat berpakaian selalu menutup aurat dan tidak berlebihan; saat bekerja selalu jujur dan bertanggungjawab; dalam studi selalu disiplin; saat bergaul selalu menjaga diri dari berbuat dhalim; dalam ibadah ritual selalu semangat mengerjakan yang wajib maupun yang sunnah; dan seterusnya.


Secara batin, semua ketaatan itu dilakukan dengan niat tulus-ikhlas karena Allah SWT, bukan karena dorongan duniawi seperti pujian dan kehormatan di mata orang lain.


Demikianlah sepintas hasil puasa Ramadhan yang diharapkan sebagaimana dalam al-Quran. Ramadhan menjadi semacam training intensif serta evaluasi tahunan bagi kaum beriman untuk meraih derajat takwa.


Cinta Dunia


Dengan demikian, takwa adalah kunci bagi semua persoalan umat seperti digambarkan di awal. Dan Ramadhan adalah moment untuk menumbuhkembangkan kualitas pribadi tersebut.


Terhitung sejak kemerdekaan, sudah 67 kali rakyat Muslim tanah air melewati Ramadhan. Bahkan hari kemerdekaan bangsa ini pun bertepatan di bulan Ramadhan. Tapi mengapa pribadi takwa belum juga tumbuh pada bangsa ini?


Masalahnya bukan terletak pada ibadah tahunan tersebut, tetapi pada diri masyarakat bangsa ini yang belum sepenuhnya berpuasa. Barangkali hanya beberapa gelintir saja yang berpuasa dengan benar dan total. Sebagian besarnya belum sepenuhnya, baru sebatas melepas kewajiban syariat, dan melaksanakannya pun dengan sangat minimalis (sebatas menahan makan, minum dan seks suami-istri di siang hari).


Mengapa bisa demikian? Satu jawaban yang bisa ditawarkan adalah karena begitu kuatnya belenggu syahwat duniawi atas hati umat ini; begitu dalamnya mereka tenggelam dalam kubangan hasrat duniawi.


Fenomena ini secara umum sudah diisyarakat Allah dalam QS. Al-’Ādiyāt, 8:


“Dan sungguh, manusia itu cintanya kepada gemerlap duniawi sangat besar.”


Gemerlap duniawi itu bisa berupa makanan dan minuman, pakaian, seks, keluarga, harta, jabatan, gelar, popularitas, karir, dan lain-lain. Dari ayat itu, berarti cinta kepada gemerlap duniawi sudah tertanam dalam diri manusia secara alamiah. Gemerlap-gemerlap duniawi itu ibarat pupuk bagi benih cinta tersebut. Nah, karena nyatanya, untuk bertahan hidup manusia tidak bisa lepas dari gemerlap-gemerlap tersebut, benih cinta itu lambat-laun kian tumbuh subur. Tanpa disadari, akarnya menjalar ke seluruh tubuh termasuk hati dan pikirannya. Jadilah kemudian ia mencengkram seluruh bagian tubuh manusia tersebut, baik lahir maupun batinnya.


Cinta duniawi itu tumbuhnya dari (hawa) nafsu. Sedangkan nafsu adalah unsur batin manusia yang selalu menyesatkannya dari jalan Allah SWT.


“Sesungguhnya nafsu selalu mengajak manusia kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang dirahmati Tuhan” (QS. Yusuf: 53).


Cinta duniawi adalah racun paling ampuh bagi nafsu untuk berkuasa dalam diri manusia. Jika manusia tidak menyadarinya dan tidak segera mengambil tindakan preventif (pencegarah) atau perlawanan, dirinya akan ditaklukkan nafsu. Demikian yang terjadi pada banyak manusia.


Dalam dekapan nafsu (cinta duniawi), misalnya, seseorang akan mengabdikan sebagian besar waktu dan tenaganya pada karir, sedikit sekali meluangkannya untuk “berdua” dengan Allah; dalam buaian cinta duniawi, manusia menempuh berbagai cara, tanpa peduli halal-haram, mengejar uang, jabatan, gelar, wanita, popularitas dan kehormatan; dalam rauan cinta duniawi, tak jarang agama ditumpangi demi meraih gemerlap-gemerlap duniawi, dengan berpura-pura taat, alim, shaleh atau dermawan.


Zuhud


Dalam kitab Sirr al-Asrār, Syekh Abd al-Qādir al-Jīlānī menasehati, terlalu larut dalam buaian nafsu duniawi dan mengesampingkan Allah SWT akan menjadikan hati beku, dan mengeras seperti batu. Lumpur-lumpur hitam akan menempel di dinding hati, mengering dan menutupinya. Hati menjadi gelap-gulita. Cahaya ilahiah dalam inti hati tidak lagi memancar; dan cahaya ilahiah dari luar pun tak dapat menembus dinding hati akibat terhalang kerak-kerak hitam itu. Cahaya ilahiah dari luar itu di antaranya adalah Ramadhan. Cahaya Ramadhan hanya sampai di mulut, perut dan kelamin, tidak menembus ke dalam hati, karena telah tertutupi kerak duniawi tersebut, kendati telah puluhan kali Ramadhan menyambangi.


Oleh sebab itu, solusinya hanya satu, yaitu mengikis habis kerak-kerak hati tersebut. Cara terbaik adalah dengan memberantas virus cinta tersebut dengan obat bernama zuhud. Bila cinta duniawi diibaratkan api, maka zuhud adalah air yang dapat memadamkannya. Rasulullah SAW bersabda:


“Apabila Allah berkehendak baik pada seorang hamba-Nya, Dia akan menganugerahkan pemahaman dalam agama, menjadikannya seorang yang zuhud pada dunia, dan menampakkan kejelekkan-kejelekkannya” (HR. Al-Baihaqi).


Menurut Syekh Junaid al-Baghdadi, zuhud adalah melepaskan dunia dari genggaman tangan, dan menghilangkan pengaruhnya terhadap hati. Berlawanan dengan cinta dunia, zuhud adalah kondisi hati yang tidak menganggap istimewa gemerlap duniawi. Seorang zāhid (pelaku zuhud) bisa saja bergelimang kekayaan dan kemewahan. Tetapi semua itu tidak berbekas di hatinya. Dia tidak menaruh cinta pada apa yang dipakainya, dimakannya, diminumnya, dirasakannya dan dimilikinya. Semua itu dipandangnya sebatas sarana. Dia-pun mengambil dan menikmatinya sekedarnya saja demi menyambung hidup.


Dalam hati si zāhid, Syekh Asy-Syibli berpetuah, yang ada hanya Allah. Artinya, energi cinta dan orientasi berpikirnya tertuju hanya kepada Allah. Baginya, hidup adalah perjalanan menuju hadirat Allah. Maka, semua yang dipijak, dirasa dan ditemuinya dalam hidup, apakah jabatan, kekayaan, keluarga, gelar, ilmu dan apapun hanya sekedar sarana. Ketika semua itu terlepas dari genggaman, tidak sedikit pun menyulut kesedihan, kegalauan dan kemarahan dalam hatinya.


Syekh Abd al-Qādir berkata, kerinduan seorang zāhid adalah hanya kepada Allah SWT. Hari-harinya dihabiskan dengan mencari kedekatan pada-Nya. Setiap yang ada pada dirinya, seberapa pun banyaknya dipergunakan untuk mencari ridha Allah. Baginya, dunia adalah sarana menuju Allah.


Bagi si zāhid, momen-momen sakral seperti Ramadhan, shalat, zakat dan haji lebih dari sekedar kewajiban, tetapi sebagai jawaban Allah atas kerinduannya. Dengan segala daya upaya, dia akan menyerap cahaya ilahiah yang memancar dari momen-momen tersebut ke dalam ruang hatinya. Dia akan menjalankan ibadah-ibadah tersebut dengan totalitas lahir dan batin, karena baginya itu adalah saat sakral untuk bertemu, bercengkrama dengan Dzat yang dirindukannya. Sehingga setelah itu, cahaya ilahiah membekas dalam hatinya, kemudian memantul ke dalam pikiran, detak hati, kata, sikap dan perilakunya.


Denyut cintanya kian berdetak cepat. Rindunya kian menderu-deru. Tiada yang berharga kecuali Allah. Tiada yang indah kecuali saat bertemu Allah. Tiada apapun dalam hatinya, kecuali Allah. []


* Dewan Pengasuh Pesantren Mahasiswa “Mutiara Bangsa”, Depok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar