Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
Masyarakat kebanyakan tidak ingin rumit dalam
mengukur atau menghitung kinerja pemerintah. Ukurannya sederhana. Rakyat akan
mengacu pada masalah kecukupan pangan, papan, sandang, jaminan kesehatan atau
berobat murah, dan jaminan bagi pendidikan anak-anak. Masih ditambah lagi
dengan pertanyaan soal asupan gizi keluarga, rasa aman atau ketertiban umum.
Dan, faktor penting lain yang juga menjadi sorotan publik adalah masalahk
penegakan hukum yang berkeadilan atau kepastian hukum. Jadi, yang utama adalah
aspek kesejahteraan.
Kalau tolok ukurnya kesejahteraan rakyat,
kinerja pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden Boediono
terbilang mengecewakan. Sebaliknya, jika acuannya data-data statistik menurut
teori ekonomi, SBY-Boediono masih mungkin diacungi jempol.
Masalahnya adalah mana yang ingin
dilihat? Realitas kehidupan mayoritas rakyat atau sekadar memaknai data-data
statistik versi Biro Pusat Statistik (BPS)? Saya memilih mengukur kinerja
pemerintah dengan parameter kesejahteraan umum. Sebab, kesejahteraan itu
langsung dirasakan. Kalkulasi tentang kesejahteraan boleh saja sarat
akal-akalan, tetapi rasa atau nikmat kesejahteraan itu tak bisa berbohong.
Coba simak debat kandidat presiden Amerika
Serikat baru-baru ini. Penantang dari Partai Republik Mitt Romney memojokan
petahana Partai Demokrat Barack Obama dengan isu tentang kegagalan Obama
menciptakan lapangan kerja baru dan ketidakmampuan menurunkan harga BBM (bahan
bakar minyak). Dua isu ini adalah faktor tak terpisah untuk mengukur
kesejahteraan. Jadi, di negara mana pun, kinerja pemerintah mudah dihitung dan
dirasakan, tanpa harus menggunakan teori atau terminologi-terminologi ekonomi
yang tidak familiar buat orang kebanyakan..
Karena takut sesat, Saya tidak berani hanya
mengandalkan data-data statistik untuk sekadar menyimpulkan maju mundurnya
perkembangan kesejahteraan rakyat. Lebih akurat jika melihat dan merasakan
bagaimana rakyat, per individu maupun kelompok, melakoni hidup keseharian
mereka. Dengan cara seperti itu, kita bisa melihat langsung fakta dan realitas
yang belum tentu tercermin dalam statistik. Sebab, di dunia nyata itu, kita
bisa melihat komunitas tertentu yang bekerja sangat keras agar bisa terhindar
dari kelaparan. Komunitas yang lain masih berkutat untuk keluar dari level
miskin. Sementara kelompok pekerja yang tidak berpenghasilan tetap berjibaku
agar tetap mampu memenuhi kebutuhan minimum, termasuk menjaga kesehatan dan
membiayai pendidikan anak-anak di sekolah negeri. Juga dari realitas itu,
muncul Pertanyaan berikutnya; ada berapa banyak warga negara yang tinggal di
pemukiman atau rumah tidak layak huni? Lalu, ada berapa banyak Balita dan orang
dewasa menderita kurang gizi?
Statistik resmi menyebutkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Indonesia rata-rata 6 persen per tahun. Bank Dunia memperkirakan
pertumbuhan ekonomi RI per 2012 sebesar 6,2%. Walaupun terjadi ketidakpastian
ekonomi dunia akibat krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat (AS), Pemerintah
tahun ini tetap optimis dengan mematok pertumbuhan 6,7%, lebih tinggi
dari 2011 yang 6,5%.
Pertanyaannya, siapa saja yang menikmati
pertumbuhan tinggi itu? Seberapa kuat pertumbuhan yang tinggi itu menciptakan
lapangan kerja dan menaikkan daya beli pekerja? Mampukah pertumbuhan itu
merespons masalah kemiskinan dan mengatasi masalah pangan, papan, kesehatan
masyarakat dan jaminan pendidikan bagi semua anak usia belajar?
Menrut BPS, hingga Februari 2012, jumlah
pengangguran terbuka tercatat 6,32%, dan jumlah Jumlah penduduk miskin per
September 2011 mencapai 29,89 juta orang (12,36 persen). Statistik ini
tampaknya terbantahkan dengan sendirinya, kalau dihadap-hadapkan dengan data
tentang program beras untuk warga miskin (Raskin) dan jumlah Rumah Tangga
Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM).
Untuk Program Raskin tahun 2012
pemerintah mengalokasikan menyediakan beras bersubsidi bagi 17.488.007
RTS-PM dengan kondisi sosial ekonomi terendah di Indonesia (kelompok miskin dan
rentan miskin). Ini data resmi yang dikutip dari kantor Menko Kesra. Sekarang,
mau diasumsikan berapa jiwa per RTS-PM? Sejumlah ahli sering berasumsi minimal
empat jiwa per RTS-PM. Maka, jumlah warga miskin sebenarnya bisa lebih dari 70
juta jiwa, bukan 29,89 juta jiwa.
Jumlah warga miskin versi BPS itu memuat
pesan bahwa pemerintah berhasil menurunkan jumlah warga miskin. Tetapi, program
Raskin berikut RTS-PM yang dirancang pemerintah justru membantah klaim BPS itu.
Program pengentasan kemiskinan bisa melenceng jauh jika hanya berpatokan pada
angka BPS.
Saya harus mengatakan sekali lagi bahwa tingginya
pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir sama sekali tidak bermutu.
Hingga saat ini, perekonomian Jawa masih menjadi kontributor pertumbuhan
terbesar, diikuti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara,
Maluku dan Papua.
Kehadiran Negara
Akhir-akhir ini, rakyat sering mempertanyakan
peran dan kehadiran negara di tengah rangkaian konflik yang bermuara pada
sengketa agraria. Karena negara tak penah tampil menengahi sengketa, bentrok
berdarah kadangkala sulit diihindari. Itulah yang terjadi di Sape dan Mesuji
belum lama ini. Dalam beberapa kasus, bentrok berdarah tak terhindarkan karena
rakyat merasa alat-alat negara tidak independen dan cenderung berpihak pada
pemodal besar.
Kalau rakyat sampai mempertanyakan peran dan
kehadiran negara atau pemerintah di tengah rentetan konflik, itu sudah menjadi
indikator tentang rendahnya efektivitas pemerintahan saat ini. Kalau
efektivitasnya dipertanyakan, sudah barang tentu kinerjanya pun patut
diragukan.
Menurut saya, pemerintahan sekarang ini sudah
kehilangan militansi dalam agenda penegakan hukum. Saya mengacu pada obral
grasi dan remisi yang diberikan kepada terpidana narkoba, serta sikap minimalis
pemerintah melihat lambannya proses hukum sejumlah kasus besar yang menjadi
perhatian publik, utamanya kasus Bank Century dan Mafia Pajak . Lebih spesifik
lagi, pemerintahan SBY tidak militan lagi dalam memerangi korupsi dan
kejahatan narkoba di negara ini.
Karena itu, tidak mengherankan jika
Pemerintah pun tampak minimalis pula menyikapi upaya pelemahan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya khawatir, sikap minimalis itu disebabkan oleh
tersanderanya pemerintah saat ini. Bukan rahasia lagi bahwa ada pejabat tinggi
negara saat ini yang diduga terlibat kasus Bank Century. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar