Selasa, 09 Oktober 2012

Dahlan: Bayang-Bayang Pak Sum di Atas Laut Benoa


Bayang-Bayang Pak Sum di Atas Laut Benoa

Senin, 08 Oktober 2012


Sistem “keroyokan” ini ibarat balap antar-BUMN. Inilah yang terjadi di Bali, dalam proyek pembangunan jalan tol di atas laut yang menghubungkan Bandara Ngurah Rai, Nusa Dua, dan Tanjung Benoa.

 

“Kami memang sudah tidak melihat untung rugi. Proyek ini harus jadi tepat waktu,” ujar M. Choliq, direktur utama PT Waskita Karya (Persero) yang bersama Hutama Karya dan Adhi Karya mengerjakan proyek itu.

 

Di mata saya, ini juga seperti proyek penebusan dosa. Terutama bagi sebagian BUMN karya yang dulu sering diberitakan terlibat kasus sogok-menyogok. Peluang menyogok memang tidak mungkin di sini: pemilik proyeknya BUMN, pendanaannya BUMN, dan kontraktornya BUMN.

 

Sistem “keroyokan” ini juga akan menjadikan proyek jalan tol Bali menjadi yang tercepat pembangunannya dan tercantik penampilannya. Juga akan menjadi jalan tol di atas laut yang pertama di Indonesia.

 

Inilah proyek jalan tol yang memberikan inspirasi untuk pembangunan jalan tol di atas laut lainnya. Seperti jalan tol yang akan menghubungkan basis industri di Kawasan Berikat Nusantara ke dermaga baru pelabuhan New Tanjung Priok di Kalibaru Jakarta Utara.

 

Waskita Karya mengerjakan proyek ini dari arah Benoa. Pelebaran jalan lama sudah dilakukan. Pemasangan tiang-tiang pancang di atas Teluk Benoa sudah jauh sampai di atas laut. Sudah lebih dari 2.000 titik tiang pancang yang diselesaikan. “Tidak ada kendala yang berarti,” ujar Tito Karim, Dirut PT Jasa Marga Bali Tol, yang akan menjadi pemilik proyek ini.

Hutama Karya yang memulai proyek ini dari arah Ngurah Rai juga tidak kalah cepat. Tiang pancangnya sudah terlihat jauh menjorok ke laut. Bahkan, bundaran yang akan menjadi pintu masuk dari arah Ngurah Rai sudah memasuki tahap pemasangan beton.

 

Saya berkali-kali menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada tim Hutama Karya. Tim inilah yang menemukan teknik bagaimana mempercepat pemancangan tiang di laut. Terutama teknik mengurangi ketergantungan kepada ponton.

 

“Pemancangan tiang dengan ponton tidak bisa dilakukan 24 jam. Pada saat air laut surut pekerjaan harus berhenti. Dengan teknik ini kami bisa bekerja 24 jam,” ujar Tri Widjajanto Joedosastro, Dirut PT Hutama Karya (Persero).

 

Teknik ini lantas ditularkan ke Adhi Karya yang memulai proyek ini dari sisi Nusa Dua. Pemancangan pun bisa lebih cepat. Tiga bulan pertama proyek ini hanya berhasil memasang 1.000 tiang pancang. Setelah ada cara baru itu, setiap bulan bisa ditancapkan 1.000 tiang pancang.

 

Kalau target penyelesaian itu tercapai memang sangat bersejarah. Betapa jauh bedanya dengan yang pernah terjadi di Surabaya. Pembangunan jalan tol sepanjang 12 km dari Waru ke Juanda, Surabaya, memakan waktu 12 tahun. Proyek jalan tol di Bali ini, dengan panjang yang kurang lebih sama, bisa diselesaikan hanya dalam waktu 16 bulan. 12 tahun berbanding 16 bulan!

 

Kalau jalan tol di atas Laut Benoa ini nanti jadi, kendaraan dari arah bandara yang ingin menuju Nusa Dua tidak lagi harus berjubel melewati jalan satu-satunya sekarang ini. Kendaraan bisa langsung menuju bundaran, lalu naik ke jalan tol menuju tengah laut. Di tengah laut itu ada interchange yang cantik, bercabang-cabang, dan meliuk-liuk.

 

Di interchange tengah laut itu semua kendaraan bisa langsung memutar ke kiri menuju Sanur. Atau ke kanan ke arah Nusa Dua. Atau ke arah barat ke Bandara Ngurah Rai. Interchange yang melingkar-lingkar di atas laut itulah bagian yang paling indah dari proyek ini.

 

Setiap kali meninjau proyek ini, saya selalu teringat nama ini: Ir Sumaryanto Widayatin, Deputi Bidang Infrastruktur dan Logistik Kementerian BUMN. Dialah penggagas jalan tol di atas laut ini. Dia pula yang sangat aktif menemukan dan mewujudkan berbagai terobosan. Terutama agar proyek jalan tol ini terwujud dengan cepat.

 

Hampir setiap hari Pak Sum, begitu nama panggilannya, menerobos ruang kerja saya untuk minta blessing berbagai ide gilanya. Mulai ide jalan tol, pelabuhan, bandara, sampai pembenahan perusahaan-perusahaan yang ada di bawah koordinasinya.

 

Saya sungguh cocok dengan orang ini. Agak terasa kurang sopan, kurang ajar, meledak-ledak, ngotot, tapi logikanya sangat baik. Kalau berdebat suka melawan, tapi kalau keputusan sudah diambil, dia sangat loyal.

 

Saya mendengar, beberapa bulan sebelum saya menjadi menteri, di sebuah rapat dengan salah satu instansi, Pak Sum disiram kopi oleh pejabat tinggi di instansi tersebut. Saya pun kadang ingin juga menyiramkan kopi ke wajahnya. Sayangnya, saya tidak minum kopi.

 

Sesekali saya memang mengalami, dua-tiga hari setelah keputusan diambil, dia datang lagi dengan ide baru. Rupanya, dia tidak puas dengan keputusan yang sudah diambil. Tapi, dia juga tidak ngotot dengan ide lamanya. Kelihatannya dia terus berpikir dan berpikir. Lalu menemukan ide yang lebih baru. Yang hebat, dia tidak pernah takut mengemukakan ide yang lebih baru itu kepada saya.

 

Dan, saya tidak pernah malu untuk mencabut keputusan saya yang memang kalah baik dari idenya.

 

Kini, Pak Sum dirawat di Singapura. Enam bulan lalu, lewat tengah malam, dia terkena stroke. Untung istrinya segera melarikannya ke rumah sakit. Tidak sampai kehilangan golden time yang sangat vital bagi penderita stroke. Nyawanya selamat.

 

Meski mengalami kelumpuhan sampai tidak bisa berbicara, semangatnya untuk sembuh luar biasa. Itulah yang membuat kondisinya kian hari kian baik. Apalagi di tangan istrinya yang sangat telaten merawat dengan sepenuh hati dan melatihnya.

 

Belakangan Pak Sum sudah bisa duduk di kursi roda. Untuk dibawa berjemur di bawah matahari pagi. Bahkan, minggu-minggu ini Pak Sum sudah bisa dibawa kembali ke Jakarta.

 

Ketika diadakan acara pemancangan tiang pertama proyek ini Desember lalu, dia hadir dengan mengenakan baju batik yang agak kedodoran. Dia memang termasuk orang yang penampilannya agak asal-asalan dan cenderung urakan.

 

Dari atas podium saya minta dia berdiri. Saya sampaikan kepada seluruh hadirin bahwa dialah yang memiliki ide jalan tol di atas laut Bali ini. Terutama untuk menghindari keruwetan pembebasan tanah. Pak Sum juga yang memiliki ide menggabungkan berbagai kekuatan BUMN agar bisa kerja keroyokan. Dia memang punya kemampuan teknis dan memiliki kekuatan untuk melakukannya.

 

Saat menjenguknya beberapa waktu lalu, saya sempat membisikkan ke telinganya mengenai perkembangan proyek yang dia gagas ini. Saya membisikkannya sambil mencengkeram jari-jari tangannya.

 

Dia memang sudah bisa berada di kursi roda, tapi belum bisa menggerakkan seluruh tubuhnya. Juga belum bisa berkata-kata.

 

Saat saya berbisik ke telinganya, wajahnya kelihatan berseri dan matanya bergerak-gerak. Cengkeraman jari tangannya juga terasa menguat.

 

Kalau saja Pak Sum bisa melihat perkembangan proyek itu sekarang, alangkah bangganya. Apalagi, tim BUMN karya yang di lapangan bekerja sungguh-sungguh dan menemukan banyak cara untuk mempercepatnya.

 

Saya minta berbagai terobosan itu dicatat dan dijadikan buku. Dalam acara peresmian kelak, buku tentang pembangunan jalan tol ini sudah harus jadi. Ini untuk pembelajaran bagaimana sebuah proyek bisa terwujud cepat hanya karena kuatnya”kemauan. Di banyak hal, kita ini tidak bisa mewujudkan sesuatu bukan karena tidak bisa, tapi karena lemahnya kemauan.

 

Tidak “Ya Begitulah”

 

Di samping meninjau proyek jalan tol, pagi itu, sebelum menyampaikan pidato ilmiah di acara Dies Natalis Ke-50 Universitas Udaya, saya melihat proyek pembangunan bandara baru Ngurah Rai. Ini juga kerja keroyokan tiga BUMN: Adhi Karya, Waskita Karya, dan Angkasa Pura I.

 

Ini juga proyek yang tidak lagi menghitung untung rugi. Ini adalah proyek yang harus jadi tepat pada waktunya.

 

Lantai satu dan dua sudah selesai. Saya naik ke lantai tiga. Di sinilah lokasi check-in, ruang tunggu keberangkatan, sampai boarding dilakukan. Berada di lantai tiga proyek ini, saya baru merasa bangga. Terasa luasnya. Lantai tiga ini akan terasa sangat lapang dan longgar. Ini karena tinggi ruang itu sampai 17 meter.

Jarak antara pilar satu dan pilar lain sampai 60 meter. Pilar itu sendiri garis tengahnya sampai 8 meter. Berupa ruang kosong yang menembus langit. Di tengah setiap pilar kosong inilah kelak akan ditanam pohon besar.

 

Memang tidak gampang membangun proyek ini. Lapangan untuk kerjanya sangat sempit. Manuver peralatannya terbatas. Bahkan, jadwal pembangunan setiap bagian harus disesuaikan dengan keperluan penumpang pesawat saat ini.

 

Inilah risiko membangun bandara baru di lokasi bandara lama. Sambil membangun harus tetap menjaga agar semua fungsi pelayanan tidak terganggu.

 

Memang mulai ada keluhan. Koridor untuk jalan kaki menuju tempat keberangkatan domestik sangat jauh. Tapi, tidak banyak pilihan untuk mencapai kemajuan. Apalagi, setelah saya rasakan sendiri, sebenarnya tidak juga lebih jauh dari umumnya bandara di luar negeri. Kebiasaan lama yang serbadekat telah menimbulkan dampak psikologis mengenai jarak sebuah koridor.

 

Saya hanya mengajukan beberapa pertanyaan. Salah satunya: akan seperti bintang berapakah Bandara Ngurah Rai nanti? Banyak bandara baru kita bangun, tapi finishing-nya hanya setingkat bintang tiga. Saya khawatir Ngurah Rai pun seperti itu.

 

“Tidak,” jawab Yanus Suprayogi, pimpinan proyek bandara baru ini. “Bandara baru Ngurah Rai akan setingkat bintang lima,” ucap Yanus tegas.

 

Malam itu saya pun tidur dengan nyenyaknya. Apalagi, di kamar baru di hotel baru milik BUMN yang belum diresmikan: Grand Inna Kuta. Mungkin masih perlu waktu sebulan lagi bagi hotel ini untuk beroperasi. Masih ada beberapa koreksi dan pemasangan “jembatan” menuju Hotel Inna Kuta lama. Tapi, setidaknya, wujudnya sudah jelas.

 

Hotel Inna Kuta tidak akan menjadi bahan ejekan, bahwa semua hotel milik BUMN “ya begitulah”.

 

Setelah ini, fokus berikutnya adalah pembangunan hotel bintang lima di Nusa Dua: Grand Inna Putri Bali yang kini kelasnya juga “ya begitulah”. Saat ini bangunan lama sedang dirobohkan. Di atas lahan 7 hektare itu akan dibangun hotel baru dengan perancang Kamil Ridwan, arsitek kebanggaan Indonesia yang lagi ngetop.

 

Konsepnya pun berubah. Dulu pantai itu dianggap “halaman belakang”. Kelak pantai adalah “halaman depan” yang harus dimanfaatkan kekuatannya.

 

Kualitas “ya begitulah” memang harus segera lenyap dari dunia BUMN! (*)

 

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar