Nabi Muhammad dan
Penghinanya
Oleh: Mohamad Guntur Romli
Saat Nabi Muhammad masih di Mekkah sebelum hijrah ke Madinah, ia dikelilingi lawan-lawannya. Segala macam kekerasan dari yang fisik dan psikis berlipat-lipat diterimanya. Sebuah riwayat yang sering dikutip oleh para khatib untuk menggambarkan ketabahan dan keagungan budi Nabi Muhammad. Setiap Rasul selesai beribadah dari pelataran Ka’bah ia melewati “gang senggol”. Dari lantai atas ada seorang yang senantiasa mengintainya. Setiap Nabi Muhammad melintas ia meludahi dan melemparkan kotoran. Permusuhan orang itu sampai kelewat batas. Suatu hari ia melempar isi perut onta, lambung dan usus yang masih penuh dengan kotoran. Nabi Muhammad jatuh, terengah-engah dan hampir pingsan. Untung saja ada seseorang yang simpati dan menolongnya. Nabi Muhammad tidak membalas kekasaran itu. Hingga pada hari yang lain Nabi Muhammad melewati gang sempit itu tanpa rintangan. Ia heran, seperti menunggu dan mengamati, mencari-cari orang yang memusuhinya. Nabi Muhammad dikabari bahwa orang yang biasa melempar kotoran jatuh sakit. Mendengar kabar itu, Nabi Muhammad tidak menimpalinya dengan “syukurin luu” tapi malah menjenguknya. Didatangi Nabi Muhammad orang itu terharu, minta maaf dan menyatakan keislamannya.
Kisah ini sangat populer. Saya ingat, Muballig kondang di zamannya almarhum KH Zainuddin MZ sering mengutip kisah ini dalam ceramahnya. Dengan gaya Betawi yang khas, seolah-olah peristiwa itu baru saja terjadi dan dekat dengan pendengarnya. Namun sayangnya kisah ini hanya berpengaruh dalam kondisi yang normal. Dalam kondisi yang genting, misalnya ada serangan dan cemohoan kepada Nabi Muhammad, cerita tadi sekan-akan terlupakan.
Ada kisah lain yang tak kalah masyhur. Nabi Muhammad yang menyuapi seorang perempuan Yahudi tunanetra yang tak henti-henti memuntahkan hinaan bahwa Nabi Muhammad adalah orang pendusta. Perempuan itu tak sadar orang yang menyuapinya adalah sosok yang dicemoohnya. Sampai Nabi Muhammad wafat. Abu Bakar yang menggantikan Rasul tak bisa menghindar dari tugas ini. Awalnya Abu Bakar enggan karena perempuan itu masih terus mengolok-olok Nabi Muhammad. Sadar yang menyuapinya bukan orang yang lalu, perempuan itu bertanya, “Siapa kamu? Kamu bukan orang yang biasa menyuapiku.” Abu Bakar menjawab, “Memang bukan, karena orang yang biasa menyuapimu sudah wafat. Dia lah Nabi Muhammad, Rasulullah, orang yang kamu maki-maki. Kini aku yang meneruskan tugasnya.” Perempuan itu terperanjat dan menangis. Meminta maaf dan masuk Islam.
Meskipun dua kisah tadi sangat terkenal dan diceritakan turun-temurun, banyak yang meragukan kesahihannya. Apakah benar-benar terjadi? Apalagi saat ini di tengah kemarahan orang-orang pada cuplikan sebuah film atau kartun yang dituding menghina Rasul—keabsahan dua kisah tadi terus dipertanyakan. Kisah tadi memang tidak bisa dibaca secara harafiyah. Bahkan bisa dipandang agak berlebihan. Namun ada pesan moral yang dikandungnya. Kekasaran tak akan selesai kalau dibalas kekasaran yang serupa. Justru balasan dengan kelembutan dan penuh simpati, kekerasan itu malah takluk dan berpihak pada sosok yang diserangnya. Abu Bakar yang disebut-disebut melanjutkan tugas Rasul dalam kisah anekdotal itu artinya meneruskan keramahan dan keagungan akhlak Nabi Muhammad.
Kalau dua kisah tadi diragukan, saya akan menceritakan kisah Rasul yang diriwayatkan al-Bukhari, seorang perawi hadist yang riwayatnya dinilai paling sahih. Kisah Nabi Muhammad meminta perlindungan kepada Penduduk Thaif. Sepeninggal Abu Thalib paman Rasul, yang juga pelindungnya, kekerasan penduduk Quraisy Mekkah semakin meningkat tajam. Rasul ingin meminta perlindungan dari tiga tokoh Thaif: Abdi Yalel, Khubaib dan Mas'ud dari Bani Amru. Namun sambutan yang diterimanya bukan tangan yang terbuka, justeru makian dan bebatuan yang menghujaninya. Menurut Aisyah, istri Rasul sumber riwayat ini, peritiwa tersebut lebih menyedihkan daripada kekalahan umat Islam pada Perang Uhud (kekalahan terbesar di mana Nabi Muhammad kehilangan pamannya Hamzah yang jenazahnya dimutilasi lawannya).
Nabi Muhammad yang mendatangi mereka dengan baik-baik dan memohon bantuan, diusir secara kasar. Pemuka Thaif mengejek Nabi Muhammad yang mengaku utusan Allah dan menyindirnya bagaimana mungkin seorang utusan Allah dibiarkan tanpa perlindungan-Nya. Tak cukup memaki, di sepanjang jalan yang dilewati Rasul, dua barisan penghinanya melempari batu. Nabi Muhammad luka berdarah-darah dan terpaksa berlindung di sebuah kebun kurma. Di tengah kesedihan itu, Malaikat Jibril menghampiri dan menawarinya agar malaikat penjaga gunung memindahkan dua gunung: Abi Qubais dan Ahmar menghimpit penduduk Thaif. Nabi Muhammad menolak. “Jangan... jangan! Bahkan aku berhadap agar Allah mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang menyembah Allah, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun!” Dalam riwayat lain, beliau berdoa allahumma-hdi qawmi fa’innahum la ya’lamun—Ya Allah berilah petunjuk pada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.
Bagi yang tidak percaya ada usulan malaikat tadi—Husain Haykal Penulis HayĆ¢t Muhammad tidak mengutip kisah tawaran malaikat tadi—atau ada prediksi Rasul tidak membalas karena kondisinya saat itu masih lemah, rujuk lah periode Nabi Muhammad dan umat Islam yang telah kuat di Madinah. Tak ada informasi Rasul mengirimkan serdadu Islam ke Thaif untuk balas dendam.
Kalau kini (dan mungkin yang akan datang) ada hinaan apakah saya ingin mengajurkan menyikapinya seperti tiga kisah di atas? Sekali lagi saya tak ingin kisah tadi dipahami secara literer, apalagi dengan berharap ada bumbu-bumbu keajaiban, namun juga jangan dilupakan ketika kita dirundung kesedihan dan kemarahan sewaktu sosok yang kita cintai dihinakan. Reaksi yang berlebihan, kalap, kasar, membabi-buta, atau bahkan jatuh korban jiwa semakin membuat umat Islam menderita.
Ketika kita dihina sebagai sosok yang kasar dan barbar kemudian reaksi kita berlebihan dan melakukan kekasaran bukankah kita malah membantu si pencemooh bahwa tuduhannya benar belaka? Cuplikan film yang buruk (sekali lagi baru cuplikannya), berbiaya sangat murah, dan kualitas yang sangat rendah, apakah kita membantu mempromosikannya dengan reaksi yang heboh seperti yang kita saksikan di Libya dan Pakistan?
Mengapa kita tidak seperti deru ombak lautan yang tak terpengaruh dan malah meredam teriakan seseorang di pantai? Mengapa kita seperti tebing batu yang justru menggemakan teriakan dan hinaan itu ke seluruh penjuru mata angin?
Baru cuplikan film sudah menguras energi demo di mana-mana, dan kini akan muncul kembali kartun yang mengejek Nabi. Apakah energi umat akan dihabiskan untuk merespon hinaan dan makian yang berpangkal pada kebodohan.
Saya teringat pada pepatah Arab, tarku-l jawabi ala-l jahili jawabun—tidak merespon pada tindakan orang bodoh sebenarnya adalah respon juga.
Mohamad Guntur Romli, penulis
Sumber: Koran Tempo, Jumat 12 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar