Menelisik Pengelolaan SDA Indonesia
Judul
Buku : Sumber Daya Alam Indonesia
Salah Kelola! “Kritik Terhadap Pengelolaan SDA Rezim Pascakolonial”
Penulis Buku : Abdul
Ghopur
Penerbit
: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr (LTN) PBNU
Cetakan
: Pertama, Agustus, 2012.
Tebal
Hlm. : 242 Halaman
Peresensi
: Daud Gerung*
Di era globalisasi ini, kebutuhan akan Sumber
Daya Alam (SDA) sudah menjadi kebutuhan primer bagi setiap manusia di seluruh
dunia. Hampir semua kegiatan manusia di era modern ini, membutuhkan SDA
misalnya energi listrik. Mulai dari kegiatan perkantoran, pertokoan,
pabrik/industri [mulai dari skala kecil, menengah dan besar], Mall, rumah
tangga, bahkan aktifitas peribadatan pun memerlukan tenaga listrik.
Di samping kebutuhan primer lainnya, listrik sesungguhnya memiliki peranan yang sangat penting dalam menggerakkan setiap aktifitas manusia, terutama dalam menggerakkan roda perekonomian dunia. Tanpa adanya sumber energi listrik yang handal dan memadai, kita tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya kehidupan manusia di masa kini dan mendatang.
Namun Ironisnya di zaman modern seperti sekarang ini listrik masih saja mati. Padahal, Indonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam. Kekayaan alamnya sungguh melimpah ruah dan beraneka ragam jenisnya. Kita memiliki seluruh sumber energi yang dibutuhkan untuk menggerakkan semua sektor kehidupan. Mulai dari minyak bumi, gas, air [microhydro], angin, panas bumi [geothermal], matahari, batubara [coal] sampai energi nuklir kita punya. Selain itu kita juga memiliki sumber energi alternatif lainnya.
Tapi sayangnya, melimpahnya kekayaan alam Indonesia tidak dikelola secara bijak dan penuh tanggung jawab, dan juga tidak memenuhi aspek keadilan bagi masyarakat. Tak pelak, dampaknya Indonesia terus mengalami pemadaman listrik bergiliran yang entah untuk kesekian kalinya. Parahnya lagi, di tengah ancaman nyata krisis listrik di Indonesia, pengelolaan listrik oleh PT PLN semakin kurang profesional dan cenderung menisbikan kepentingan rakyat kecil. Krisis listrik atau bahkan krisis energi yang selalu melanda Indonesia nampaknya sangat serius (lihat, hlm. 195 & 199).
Melimpahnya kekayaan alam Indonesia jika dikelola secara baik dan penuh tanggung jawab semestinya tidak membuat penduduk negeri ini menjadi miskin. Namun sayang, kekayaan alam tersebut tidak dikelola dengan bijak, berkeadilan dan terpadu. Tak pelak kekayaan alam ini pun malah menjadi kutukan sumber daya alam (Resources Curse) dan tidak bisa dinikmati secara murah/gratis oleh rakyatnya yang sebagian besar miskin. Tengok saja faktanya bahwa tidak semua masyarakat bisa mengakses secara mudah terhadap sumber-sumber energi.
Munculnya kelangkaan serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas (Migas) di negeri sendiri, merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya sumber energi. Hal ini disebabkan kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lain. Begitu juga belum adanya payung hukum (Undang-Undang Induk Energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif.
Di tengah kelangkaan energi di dalam negeri, pemerintah dan pengusaha justru mengeksplorasi sumber-sumber energi dan mengeksploitasinya secara membabi-buta demi memenuhi kepentingan pihak-pihak asing. Banyak oknum pejabat baik dari kalangan pemerintah, DPR, maupun spekulan minyak dan gas (Migas) yang berburu rente migas. Migas hanya dijadikan komoditi dagangan belaka oleh para oknum pejabat demi keuntungan pribadi. Banyak kontrak-kontrak migas yang merugikan keuangan negara dan kepentingan masyarakat dan bangsa. Alasannya sederhana, harga komoditas tersebut sedang melejit di pasar global. Padahal kita tahu banyak rakyat miskin di negeri ini yang sangat membutuhkan minyak, gas, dan listrik untuk sekadar memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti memasak dan penerangan. Tata-kelola energi nasional yang demikian ini mencerminkan ketidak-berpihakan pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Krisis energi yang selama ini digembar-gemborkan sesungguhnya bukan karena persediaan energi yang tidak cukup. Ataupun cadangan persediaan energi yang tinggal sedikit. Melainkan karena pengelolaan energi nasional yang kurang baik dan terpadu.
Padahal, di Asia bagian tenggara, Indonesia dikaruniai sumber daya alam melimpah. Menurut data Kementerian ESDM 2011, Sumber daya minyak dan gas yang diperkirakan mencapai 87,22 milliar barel dan 594,43 TSCF tersebar di Indonesia, menjadikan Indonesia tujuan Investasi yang menarik pada sektor minyak dan gas bumi. Dinamika Industri Minyak dan Gas Bumi yang sudah berlangsung sejak lama, menjadikan Indonesia lebih matang dalam mengembangkan kontrak dan kebijakan yang ada untuk mendukung investasi.
Dukungan peraturan, insentif dan penghormatan terhadap kontrak yang ada adalah usaha pemerintah Indonesia untuk menjamin keberlangsungan Investasi di Indonesia. Peluang investasi pengembangan industri migas di Indonesia, baik di bidang hulu maupun hilir di masa mendatang masih sangat menjanjikan. Secara geologi, Indonesia masih mempunyai potensi ketersediaan hidrokarbon yang cukup besar. Rencana pemerintah dalam mempertahankan produksi minyak bumi pada tingkat 1 juta barel per hari, tentu akan memberikan peluang investasi yang besar di sektor hulu migas (lihat, hlm. 2 & 3).
Namun, belum adanya “UU Induk Energi”/”Buku Induk Energi/SDA” yang menjadi rujukan utama dalam menangani persoalan-persoalan Sumber Daya Alam di Indonesia, menjadikan tata-kelola energi nasional begitu semrawut bahkan berantakan. Antara satu sektor dengan sestor lain dalam persoalan pengelolaan energi seolah tidak terkait sama sekali (lihat, hlm. 9). Pemerintah seakan belum memiliki cetak biru (blue print) atau landscape pengelolaan energi nasional yang terpadu. Yaitu suatu tata kelola energi secara strategis yang memperhatikan pemetaan kebutuhan energi tiap wilayah. Sebab ukuran kebutuhan energi tiap-tiap wilayah di Indonesia tentu berbeda-beda.
Perbedaan kebutuhan energi tentunya akan memengaruhi tingkat konsumsi energi di tiap daerah. Penghitungannya dapat dilakukan melalui berbagai cara, misalnya, pertama, pemerintah harus menghitung/memetakan daerah/wilayah mana sajakah yang memiliki cadangan atau pasokan ketersediaan energi yang melimpah dan yang tidak melimpah. Kedua, pemerintah harus mengukur daerah atau wilayah mana sajakah yang mengkonsumsi energi (listrik/BBM) paling besar (boros). Ketiga, pemerintah juga harus bisa memetakan daerah mana saja yang memilliki tingkat kebutuhan konsumsi energi yang cukup tinggi ataupun rendah (misal, diukur dengan perkapita). Keempat, wilayah/pulau mana saja yang di wilayahnya terdapat banyak industri-industri atau tingkat pertumbuhan infrastruktur yang tinggi yang membutuhkan pasokan energi (listrik, gas, dan BBM) sangat besar.
Pengelolaan pemanfaatan energi di perusahaan-perusahaan ini bisa dilakukan dengan mengaudit konsumsi energi di tiap perusahaan dan kemudian menggunakannya secara proporsional. Konsumsi energi listrik bisa dikurangi atau dihemat tanpa harus mengurangi produktivitas. Caranya dengan menggunakan listrik secara efektif. Kalangan industri harus mampu mengontrol secara ketat konsumsi listriknya baik untuk menyalakan mesin produksinya maupun untuk keperluan penerangan.
Dengan cara ini dipastikan ada persentase penghematan yang terukur. Meski persentase penghematannya “mungkin” tergolong kecil, namun jika dilakukan secara kolektif hasilnya akan maksimal. Selain itu hal tersebut bisa membuktikan bahwa penghematan konsumsi listrik seperti yang digariskan pemerintah bisa terus dilakukan tanpa harus mengurangi produktivitas. Kelima, bagaimana sesungguhnya pengalokasian energi antar wilayah terjadi, dan dialokasikan kemana saja, apakah tepat sasaran atau tidak. Ini terkait masalah transparansi pengelolaan energi pemerintah terhadap masyarakat. Keenam, wilayah mana saja yang terdapat komunitas khusus yang mengonsumsi BBM dalam skala besar seperti nelayan.
Dengan melakukan beberapa langkah seperti di atas, diharapkan target efisiensi perwilayah yang dilaksanakan oleh pemerintah dapat tercapai secara efektif. Upaya bersama mengefisienkan konsumsi energi harus didukung dengan strategi yang tepat yang dilengkapi dengan jadwal pelaksanaan dan pencapaian yang bisa tergambar secara jelas. (lihat, hlm. 121).
Dari berbagai tema tentang energi yang dituliskan, dengan substansi cukup mendalam terhadap berbagai realitas krisis yang telah, sedang dan akan terus dihadapi bangsa ini, buku ini memberikan kontribusi besar kepada orang muda untuk memahami masalah tata-kelola energi yang ideal.
Membaca buku ini kita seperti dibawa ke dalam serangkaian pengembaraan batin dan pemikiran pada “kekayaan” Sumber Daya Alam yang dimiliki dan terkandung di dalam perut bumi Indonesia. Anugerah kekayaan alam yang luar biasa melimpah dan beraneka ragam jenisnya, selayaknya wajib kita syukuri, kita jaga dan tentunya dipelihara secara terus-menerus dari “tangan-tangan” jahil dan tidak bertanggungjawab yang hanya mau mengeruk-kuras tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keselarasan lingkungan. Sebab, manusia tidak dapat hidup tanpa adanya harmoni dan keselarasan terhadap alam dan lingkungannya.
Saya sangat menyarankan Anda semua terutama keluarga besar Nahdliyin dan Nahdliyat untuk membaca buku ini. Sebab, pada salah satu sub judul buku ini mengangkat tema tentang Problem Pengelolaan Energi di Negara Pasca Kolonial” yang tak pernah becus mengurus pelbagai lini kehidupan terutama persoalan tata-kelola energi (lihat, hlm. 17). “NU dan Blue Print Pengelolaan Energi Nasional.” Dimana NU sebagai organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan dunia, memiliki umat/basis massa mencapai 70 juta (menurut survey LSI 2009) tentunya akan terkena dampak langsung maupun tidak langsung dari kebijakan energi nasional pemerintah yang memang salah kelola ini (lihat, hlm. 7).
Terakhir, jikalau diizinkan mengkritik bernas-nya buku ini, Bung Ghopur sedikit kurang tajam mengungkap oknum atau pihak mana saja yang menjadi spekulan Migas baik dalam dan luar negeri. Sehingga, agak bias bagi orang awam dalam mengidentifikasi problem pengelolaan energi nasional dan melakukan langkah-langkah ke depan. Mungkin akan bisa terungkap dalam diskusi dan bedah buku ini nanti. Bagaimanapun, profisiat Bung Ghopur![]
* Pengurus Central Study 164, bidang kajian Sosial, Budaya & Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar