Rabu, 17 Maret 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (22) Inklusifisme Syari'ah

Etika Politik dalam Al-Qur'an (22)

Inklusifisme Syari'ah

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Sejak awal turunnya Al-Qur'an selalu memperkenalkan keutamaan nilai-nilai kemanusiaan. Syari'ah yang diperkenalkan kepada nabi Muhammad Saw juga sangat inklusif. Turunnya Al-Qur'an secara berangsur-angsur membuktikan betapa Al-Qur'an sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Meskipun tidak ada yang bisa menghalangi Allah Swt menurunkan Al-Qur'an sekaligus tetapi memang terasa tidak manusiawi jika dalam waktu sekejap nilai-nilai luhur-universal yang sudah tertanam sekian lama tiba-tiba harus dicabut secara serentak.

 

Penerapan nilai-nilai Syari'ah Islam dikenal prinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur tahap demi tahap (al-tadrij fi al-tasyri'). Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh. Proses sosialisasinya pun berusaha menghindari kesulitan ('adam al-haraj). Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicapai melalui sinergi antara nilai-nilai lokal dengan ajaran dasar Islam.


Dengan demikian, Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah tradisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal. Bisa dibayangkan misalnya, bagaimana nilai-nilai lokal Minangkabau yang matriarchal bisa menyatu dengan nilai-nilai Islam yang cenderung patriarchal.


Jika di sana ada kelompok radikal berusaha mengembangkan Islam ekslusif, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan, maka di Indonesia ada suguhan Islam inklusif, ditampilkan oleh orang-orang yang penuh kearifan, memahami sumbstansi ajaran, dan dialektika perjuangan Nabi. Pemahaman Islam secara inklusif selalu berusaha menampilkan Islam sebagai ajaran agama yang penuh dengan kasih sayang (rahmah), tolerans (tasamuh), keadilan ('adalah), menekankan aspek pertemuan, titik temu, dan perjumpaan (kalimah sawa'); bukannya menampilakan kekerasan (tasyaddud) dan terorisme (irhab).


Inklusifisme Syari'ah sesungguhnya juga ramah bagi lingkungan alam dan lingkungan sosial. Islam yang bisa tegak di atas atau di samping nilai-nilai lokal-kultural, Islam yang memberi ruang terhadap kearifan lokal. Bahkan Islam yang mampu menjadi wadah peleburan (melting pot) terhadap pluralitas nilai dan norma yang hidup di dalam masyarakat. Kehadiran Islam tidak mesti menyingkirkan nilai-nilai lokal setempat. Meskipun Islam sarat dengan nilai-nilai universal tetapi konsep universalitasnya tidak tertutup, melainkan terbuka.


Sejarah dunia Islam menunjukkan betapa indahnya perpaduan nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan budaya dan peradaban lokal. Satu Sama lain tidak saling mengorbankan tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanusiaan. Amyata keduanya tidak perlu diperhadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terbuka, dalam arti feleksibel dan dapat mengakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai Merauke, ujung Timur Indonesia.


Nabi Muhammad Saw mambangun peradaban Islam bukan memulai dari nol tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi positif. Nilai-nilai lokal tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam. Ketegangan konseptual terjadi manakala nilai-nilia universal dipahami secara kaku di satu sisih, sementara di sisi lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai local. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Penyatuan kedua system budaya ini ternyata melahirkan sintesa kebudayaan yang indah, misalnya lahirnya istilah" Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah.
[]

 

DETIK, 13 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar