Selasa, 23 Maret 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al-Qur'an (26) Menimbang Aspek Kontinuitas dan Orisinalitas

Etika Politik dalam Al-Qur'an (26)

Menimbang Aspek Kontinuitas dan Orisinalitas

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Sistematisasi Al-Qur'an yang turun bertahap sampai 23 tahun mengisyaratkan adanya unsur profesional di dalam mendekati masyarakat manusia. Ayat-ayat yang turun di bagian awal dalam periode Makkah berisi doktrin tauhid. Disusul ayat-ayat yang turun di Madinah berisi ajaran syariah dan sosial kemasyarakatan. Islam melestarikan tradisi positif dan menerima perubahan yang lebih produktif.

 

Islam tidak dilahirkan di dalam ruang yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sarat dengan budaya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak pernah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang sama sekali baru. Ia bahkan dengan tawadu dikatakan dalam hadisnya: "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia" (innama bu'itstu li utammim makarim al-akhlaq). Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan peradabannya yang yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengejar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (utlub al-'ilma wa lau bis Shin). Ia juga mengatakan: "Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di mana pun kalian temukan" (al-hikmah dhalah al-mu'min fahaitsu wajadaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur'an juga sejak awal menyerukan pentingnya memelihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala sesuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikatakan: "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya" (la nufarriq baina ahadin min rusulih). (QS Al-Baqarah/2:285).


Dengan demikian, pola imitatif budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang dipopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid'ah hassanah, sebuah kelanjutan tradisi yang konstruktif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tentang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. Kebudayaan dan peradaban (civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dengan budaya dan peradaban sebelumnya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit diingkari. Di mana pun dan sejak kapan pun dalam lintasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sintesis dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumrah dan wajar, karena bukankah pada mulanya anak manusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)?

 

Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke zaman memiliki nilai-nilai universal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam sebagai ajaran yang sarat dengan nilai-nilai universal sudah barang tentu memiliki pola dialektik sejarahnya. Dengan kata lain, satu sisi harus mempertahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi lain harus mampu menembus batas-batas geografis dengan seperangkat nilai-nilai lokalnya.

 

Dalam kenyataan dialektika sejarah Islam, selain harus 'menjinakkan' sasaran-sasarannya, ia pun harus dijinakkan oleh sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak Benua India, dan Nusantara, terlebih dahulu ia harus mengalami proses pemesiran, pemersian, pengindiaan, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam periode awal, Islam yang lahir dan tumbuh di jazirah Arab, lalu berekspansi keluar di kawasan sekitarnya, maka nilai-nilai Islam pun harus mengalami penyesuaian ke dalam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagian barat. []

 

DETIK, 17 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar