Masa Pertumbuhan KH Muhammad Muhadjirin Amsar
Tidak banyak ulama Betawi yang digelari syeikh atau syekh. Gelar syekh disematkan pada seorang ulama atau guru yang disegani (Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Kamus Istilah Keagamaan, 2015). Seorang syekh disegani karena penguasaan ilmu keislamannya yang tinggi, memiliki perilaku, perbuatan, dan sikap yang mulia.
Salah satu yang tidak banyak itu adalah Syekh KH Muhammad Muhadjirin, atau dikenal dengan nama Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Addary.
Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Addary sering dikenal sebagai ulama yang ahli falak. Namun, selain ahli falak, ia juga terkenal ahli di berbagai ilmu keislaman lainnya, yaitu fiqih, hadits dan nahwu.
Untuk menulis sosoknya, saya menggunakan dua referensi buku utama, yaitu pertama, buku yang saya tulis sendiri berjudul Genealogi Intelektual Ulama Betawi terbitan Jakarta Islamic Centre (revisi tahun 2011). Dalam buku ini, tulisan saya tentangnya merupakan hasil riset pustaka dan wawancara dengan putra almarhum, Ustadz H Muhammad Aiz Muhadjirin. Kedua, buku Sejarah Singkat dan Sisi Lain Kehidupan Syekh Muhammad Muhadjirin Amsar Addary yang diterbitkan oleh Pondok Pesantren Annida Al-Islamy Bekasi tahun 2012.
Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Addary dilahirkan di Kampung Baru, sebuah daerah di pinggir kota Jakarta (Jakarta Timur) pada 10 November 1924 dan wafat di Bekasi 31 Januari 2003 M.
Ayahnya bernama H Amsar adalah seorang pedagang telor di Pasar Mester Jatinegara. Ibunya bernama Hj Zuhriah adalah putri dari H Syafi’i seorang guru agama di wilayah Kampung Baru Cakung. Ia memiliki beberapa saudara kandung yang terdiri atas Asenih, Asmaroh, Mahbub, Ma’ruf, Saodah, Salmanih, Sholahudin, dan beberapa saudara atau saudari seayah.
Di Kampung Baru inilah Kiai Muhadjirin Amsar menghabiskan masa kecilnya dengan belajar mengenal huruf Arab sampai membaca Al-Qur’an. Menurut penuturan Ustadz Muhammad Aiz Muhadjirin, nama Addary diambil dari nama tempat mukimnya di Makkah. Sedangkan nama Amsar adalah nama bapaknya, H Amsar.
Pendidikan keislaman Syekh KH Muhammad Muhadjirin Amsar Addary dimulai dari lingkungan keluarga. Membaca Al-Qur’an merupakan kemampuan dasar yang pertama dipelajarinya. Pada saat telah khatam Al-Qur’an, pihak keluarga melakukan tasyakuran dengan mengundang ulama serta masyarakat setempat. Selesai mengkhatamkan Al-Qur’an, ia dititipkan kepada para muallim (guru) untuk belajar berbagai ilmu agama.
Di antara para muallim tersebut adalah Guru Asmat, H Mukhoyyar, H Ahmad, KH Hasbialloh, H Anwar, H Hasan Murtaha, Syekh Muhammad Thohir, Syekh Ahmad bin Muhammad, KH Sholeh Makmun, Syekh Abdul Majid, Sayyid Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi. Semua muallim yang didatangi oleh Syekh KH Muhammad Muhadjirin tersebut bertempat di wilayah Jakarta dan Banten.
Saat menuntut ilmu dari para muallim di Jakarta, Syekh KH Muhammad Muhadjirin melakukan perjalanan dengan bersepeda dari Kampung Baru menuju tempat para gurunya. Hadangan dan rintangan seolah tidak dapat menghalangi niat dan semangatnya untuk selalu bisa hadir ke majelis-majelis para gurunya.
Dalam sebuah pengakuan Syekh KH Muhammad Muhadjirin, pernah suatu ketika pada saat hendak menyeberangi sungai (kali) Cipinang, perahu yang ditumpangi untuk menyeberang dihadang oleh seekor buaya. Namun dengan kebesaran hati dan kemantapan tekad, rintangan tersebut tidak membuat nyalinya menjadi lemah untuk selalu hadir di majelis gurunya, yakni Syekh Muhammad Thohir (Guru Mat Thohir).
Syekh Muhammad Thohir merupakan menantu dari Syekh Marzuki (Guru Marzuki), ulama kharismatik yang memiliki banyak murid dan pengikut.
Syekh Muhammad Thohir dan Syekh Marzuki merupakan dua guru di antara para gurunya di Jakarta yang banyak mempengaruhi konsep dan pola pemikiran dalam memahami ilmu-ilmu keislaman. Hal ini dapat diketahui dengan seringnya kedua nama tersebut dijadikan rujukan oleh Syekh KH Muhammad Muhadjirin saat memberikan penjelasan kepada murid-muridnya.
Guru lainnya yang kerap kali disebut dalam penjelasan taklim Syekh KH Muhammad Muhadjirin adalah Syekh Abdul Majid (Guru Majid) Pekojan.
Dalam memahami teknik serta hukum membaca Al-Qur’an, ia belajar kepada KH Sholeh Makmun Banten. Menurut pengakuannya, meski telah mampu membaca Al-Qur’an dengan baik, namun di hadapan KH Sholeh Makmun, bacaan Muhadjirin muda dianggap masih belum sempurna sehingga harus diulang-ulang dan disempurnakan.
Bahkan untuk menyelesaikan Surat Al-Fatihah saja membutuhkan waktu lebih dari seminggu untuk menyempurnakan teknik serta ”makhraj”-nya. Selama beberapa bulan, KH Muhammad Muhadjirin belajar kepada KH Sholeh Makmun tentang ilmu membaca Al-Qur’an dan teknik 7 cara membaca Al-Qur’an (qira’at sab’ah). Menurut pengakuannya, karena kurang memiliki suara yang memadai, KH Muhammad Muhadjirin sekadar mengetahui dan memahami berbagai macam teknik pembacaan Al-Qur’an dan tidak melanjutkan untuk menjadi ”qari”.
(bersambung...)
(Rakhmad Zailani Kiki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar