Selasa, 16 Maret 2021

Nasaruddin Umar: Etika Politik dalam Al Qur'an (21) Mempersaudarakan Pribumi dan Non-Pribumi

Etika Politik dalam Al Qur'an (21)

Mempersaudarakan Pribumi dan Non-Pribumi

Oleh: Nasaruddin Umar

 

Pelajaran penting dari Nabi Muhammad SAW ialah program mempersaudarakan antara warga pribumi dan pribumi. Istilah yang digunakan nabi saat itu ialah kelompok Anshar (penolong) atau di Indonesia lebih populer dengan istilah Pribumi dan kaum Muhajirin untuk para pendatang, pengungsi, atau non-pribumi. Program mempersaudarakan antara berbagai pihak disbut al-ikha', yakni mempersaudarakan antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin dengan cara melakukan perkawinan silang. Putra kaum Muhajirin dikawinkan dengan putri kaum Anshar, demikian pula sebaliknya.

 

Strategi pembauran ala Nabi Muhammad di madinah ini luar biasa hasilnya. Hanya satu generasi saja sudah tidak lagi ada intrik antar pribumi dan non pribumi, karena anak-anak mereka adalah keturunan keluarga silang. Kedua kelompok ini menyatu secara permanen tanpa ada konflik satu sama lain. Selain yang pasti karena faktor kehadiran Nabi Muhammad Saw juga konsep ak-ikha' yang diprogramkan Nabi dianggap ide paling cemerlang saat itu. Antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin tidak lagi ada gontok-gontokan karena semuanya memiliki visi dan misi hidup yang sama, sekalipun berbeda etnik dan dan agama.

 

Pemilihan Madinah sebagai alternatif lokasi pengungsian secara kebetulan kota ini mengalami krisis konflik dua etniknya yang selalu berseteru yaitu suku Khazraj dan suku 'Aus. Solusi kedua suku ini ialah mengundang juru damai yang cekatan dan bersedia tinggal menetap di Madinah. Akhirnya pilihan keduanya jatuh ke Nabi Muhammad, lalu keduanya mengundang Nabi untuk pindah dan menetap di Madinah.

 

Ketika Nabi memenuhi permintaan kedua pemimpin suku ini seiring dengan memuncaknya penyiksaan kaum kafir Quraisy Mekah, Nabi memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Sesampainya di Madina yang pertama kali dilakukan ialah menolak kedua pemimpin suku itu untuk tinggal di rumah atau di lingkungan yang disediakan oleh masing-masing suku tersebut. Nabi memilih lokasi tempat tinggal di perbatasan antara kedua suku itu untuk menghindari kepemihakan antara satu dengan yang lainnya.

 

Selanjutnya Nabi langsung melakukan program unggulan yang diberi nama program al-ikha' dengan bentuk perkawinan silang. Perempuan Anshar Madina dikawinkan dengan laki-laki Muhajirin Mekkah. Sebaliknya perempuan Muhajirin dikawinkan dengan laki-laki Anshar. Akhirnya pembauran sejati terjadi dan tidak muncul konflik antara kelompok pendatang dan kelompok pribumi.

 

Di samping itu, ketika Nabi memimpin kedua etnik besar ini betul-betul tidak membeda-bedakan satu sama lainnya. Sebetulnya ada empat kelompok di Madinah ketika itu, yaitu Suku 'Auz, Suku Khazraj, Kaum pengungsi (Muhajirin), dan kelompok minoritas keagamaan lainnya seperti agama Yahudi, agama Nasrani, agama Zoroaster dan agama Majusi. Nabi memiliki keterampilan untuk menyatukan para pihak ini dengan berbagai gagasan. Termasuk gagasan terkenal lainnya ialah penerbitan Piagam Madinah, yang betul-betul mengesankan semua pihak di sana ketika itu. Hingga kini Piagam Madinah sering dijadikan rujukan di dalam menjalin kerjasama antar etnik. Yang mirip dengan substansi Piagam Madinah ialah Piagam Aelia yang ditetapkan oleh Khalidah Umar ibn Khatthab sebagai khalifah kedua, menggantiak Abu Bakar. Piagam Aelia intinya memberi kebebasan dan ketenangan orang-orang non-muslim untuk memakmurkan Masjid. []

 

DETIK, 12 Oktober 2020

Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar