Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada tahun kedua hijriyah. Semasa hidup, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menunaikan ibadah puasa selama sembilan tahun atau sembilan kali. Namun, di awal-awal pensyariatannya, waktu, praktik, dan tata cara puasa tidak seperti yang kita lakukan sekarang, yaitu menahan segala yang membatalkan dari terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari.
Makan, minum, dan hubungan suami-istri pada malam hari diperbolehkan dengan catatan orang yang akan melakukannya belum tidur dengan niat berpuasa esok harinya dan juga belum shalat isya. Artinya, jika sudah tidur atau sudah shalat isya di malam hari, ia tidak boleh makan, minum, atau hubungan suami-istri di sisa malam tersebut hingga menjalani ibadah puasa pada hari berikutnya dan berbuka pada waktu magrib.
Ketentuan ini ditunjukkan dalam riwayat Al-Bara’ bin ‘Azib. Ia mengatakan, “Jika salah seorang sahabat berpuasa dan datang waktu berbuka, namun ia belum berbuka karena tidur, maka ia tidak lagi boleh makan dan minum pada malam itu hingga siang hari berikutnya dan berbuka di sore hari,” (HR Al-Bukhari).
Ketentuan puasa yang diungkap hadits Al-Bara’ ini tak pelak memberatkan para sahabat sehingga banyak di antara mereka yang tak mampu menahan diri dan akhirnya menjadi asbabun nuzul atau sebab turunnya ayat Al-Qur’an yang meringankan mereka makan, minum, berhubungan suami-istri pada malam hari, baik sebelum maupun setelah mereka tidur, dan baik sebelum maupun sesudah mereka shalat isya.
Beberapa kejadian yang mengantarkan turunnya ayat tersebut antara lain diriwayatkan oleh Abu Dawud dari ‘Abdullah bin Ka‘b bin Malik dari ayahnya. Malik mengisahkan, “Orang-orang di bulan Ramadhan, jika seseorang dari mereka berpuasa, kemudian di sore hari ia tidak sempat berbuka karena tidur, maka haram baginya makanan, minuman, dan bergaul dengan istri hingga berbuka esok harinya. Disebutkan, pada suatu malam, Sayyidina ‘Umar bin Al-Khattab berada di tempat Rasulullah SAW serta pulang ke rumah cukup malam dan mendapati istrinya sudah terlelap tidur. Rupanya saat itu, Sayyidina Umar ingin bergaul bersama istrinya.
Namun, ditolak oleh istrinya, ‘Aku sudah tidur!’ Ia berkata, ‘Kau sudah tidur?’ Meski demikian, malam itu ia tetap bergaul dengan istrinya.” “Keesokan paginya, Sayyidina Umar kembali menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan kejadiannnya semalam. Allah kemudian menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 187.
Konon, kejadian serupa juga dialami oleh Ka‘ab bin Malik sendiri selaku perawi hadits ini.
Menyambung hadits riwayat Al-Bara’ bin ‘Azib di atas, sebuah riwayat menyebutkan bahwa Qais bin Shirmah Al-Anshari berpuasa. Pada saat berbuka, ia bertanya kepada istrinya, “Apakah kau punya makanan?” Istrinya menjawab, “Tidak! Tapi aku akan mencarikannya untukmu.”
Rupanya, karena siang hari itu Qais bin Shirmah lelah bekerja, matanya tak mampu menahan kantuk. Begitu pulang dan mendapati suaminya sudah tidur, istri Qais berkata, “Celakalah engkau!” Esoknya, Qais tetap berpuasa. Namun pada tengah hari, ia pingsan tak sadarkan diri. Kejadian itu pun disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tak lama turun ayat:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Artinya, “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan serta minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertakwa,” (Surat Al-Baqarah ayat 187).
Betapa senangnya begitu mereka mengetahui turunnya ayat ini. Selanjutnya, perihal makan, minum, dan berhubungan suami dan istri yang tidak diperbolehkan setelah shalat isya, sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas terkait Surat Al-Baqarah ayat 187 dikutip At-Thabari dalam tafsirnya.
Ibnu ‘Abbas menyampaikan, pada bulan Ramadhan setelah menunaikan shalat isya, kaum Muslimin tidak lagi boleh bergaul suami dan istri serta makan-minum hingga sore hari berikutnya. Namun, beberapa orang dari mereka tetap ada yang makan dan minum bahkan bercampur dengan istrinya setelah shalat isya. Salah satunya adalah Sayyidina ‘Umar bin Al-Khattab. Mereka akhirnya mengadu kepada Rasulullah SAW. Surat Al-Baqarah ayat 187 kemudian turun.
Informasi serupa juga disampaikan Al-Qasim bin Muhammad. Menurutnya, pada masa-masa permulaan puasa diwajibkan, orang berpuasa dari waktu isya hingga waktu isya. Setelah shalat isya, ia tidak lagi boleh bercampur dengan istrinya. Ia pun tidak boleh mengonsumsi makanan dan minuman. Bahkan, sampai-sampai Sayidina ‘Umar bergaul dengan istrinya dan Qais bin Shirmah tak sempat berbuka karena ketiduran.
Singkatnya, setelah tidur, mereka tak boleh makan dan minum. Sampai-sampai kala itu ibadah puasa dapat menyulitkan seseorang. Allah kemudian menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 187.
Sejak itu, ditetapkanlah pensyariatan puasa dengan tata cara seperti sekarang ini, yakni menjauhi segala yang membatalkan, baik makanan, minuman, maupun bergaul suami-istri, sejak terbit fajar shadiq hingga terbenam matahari.
Adapun pada malam hari, semua itu diperbolehkan tanpa syarat: setelah atau sebelum tidur, setelah atau sebelum shalat isya. (Lihat Syekh Khalid bin ‘Abdurrahman, As-Shaumu Junnatun, halaman 27). Wallahu a’lam. []
Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar