Vaksinasi dan Moderasi Beragama
Oleh: Azyumardi Azra
Apakah ada gerakan antivaksinasi skala besar di Indonesia? Apakah Indonesia termasuk di antara negara-negara yang diidentifikasi WHO termasuk lokus ‘ant-vac’ atau ‘anti-vaccination movement’, yang secara global merupakan tantangan WHO nomor 10?
Padahal, vaksin dan vaksinasi modern telah mulai diadopsi di Amerika Serikat (AS) sejak 1721. Semacam vaksin dan vaksinasi pernah ada di India dan Cina untuk secara tradisional melawan penyakit tertentu.
Indonesia bukan lokus ‘gerakan anti-vak’. Sejak mulainya wacana dan praksis vaksinasi yang dilakukan pemerintah, tidak terlihat penolakan vaksinasi Covid-19 skala besar terorganisasi di Indonesia. Jelas ada individu atau kelompok menolak segala vaksinasi—bukan hanya vaksin Covid-19.
Survei Indikator awal Februari 2021 atas 1.200 responden acak dari seluruh Indonesia, menemukan 54,9 persen warga bersedia divaksinasi; 41 persen tidak atau kurang bersedia.
Mayoritas warga Indonesia menerima berbagai macam vaksin untuk bayi, balita, dan orang dewasa. Ada bermacam vaksin sejak vaksin cacar air, vaksin polio, vaksin influenza, vaksin hepatitis A, vaksin meningitis (kalau mau pergi haji atau umrah), sampai vaksin Covid-19 dan banyak lagi.
Mengapa mayoritas warga Indonesia menerima vaksin? Dari perspektif agama, tak lain karena mayoritas warga Indonesia penganut dan pengamal moderasi beragama. Penerimaan itu berdasarkan kemaslahatan diri dan jiwa (hifz al-nafs), yang merupakan bagian al-dharuriyat al-khamsah.
MUI Pusat pernah mengeluarkan Fatwa No 4 Tahun 2016 untuk menjawab kebimbangan umat Islam tentang vaksin dan vaksinasi. MUI memfatwakan, hukum vaksinasi ‘boleh’ (mubah).
Hujjahnya, vaksinasi adalah ikhtiar mewujudkan kekebalan (imunitas) terhadap penyakit tertentu sehingga dapat mencegah kecacatan atau kematian. Fatwa itu menegaskan, vaksin yang dipakai harus suci dan halal; tidak mengandung unsur haram seperti gelatin dari babi.
Unsur seperti ini boleh digunakan hanya dalam keadaan ‘benar-benar darurat’ selama belum ditemukan unsur vaksin yang suci dan halal. Sebaliknya, ada juga kalangan yang menolak vaksin mendasarkan penolakan dengan argumen agama.
Mereka yang menggunakan hujjah keagamaan datang dari berbagai agama berbeda. Dari segelintir Muslim, penolakan vaksin dan vaksinasi berdasarkan ‘tahnik’ yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.
‘Tahnik’, memasukkan kunyahan kurma ke dalam mulut bayi atau balita, dianggap sebagai ‘metode vaksinasi’ thib al-nabawi. Kalangan ini percaya, vaksin dan vaksinasi buatan orang Yahudi untuk membuat lemah jasmani generasi muda Muslim.
Pemahaman dan praksis keagamaan antivaksin dan vaksinasi muncul di kalangan gereja Kristen (Protestan), setelah vaksin dan vaksinasi pertama kali diterapkan di Boston pada 1721.
Teolog-cum-pendeta Edmund Massey menyatakan, penyakit adalah kiriman dari Tuhan untuk menghukum pendosa; menggunakan vaksin berarti menentang kemauan Tuhan. Argumen ini masih dipakai kalangan penganut Kristianitas di AS dan negara lain.
Ada juga kalangan Yahudi ultra-ortodoks yang antivaksin. Mereka menggugat pemerintah negara bagian seperti New York State yang mewajibkan seluruh bayi, balita, dan anak diberi vaksin.
Meski ada kelompok yang dengan argumen agama menolak vaksin dan vaksinasi, jelas mayoritas umat beragama menerimanya. Jika ada keberatan terkait substansi vaksin, upaya terus dilakukan untuk menemukan vaksin yang suci dan halal.
Fenomena ini terlihat dalam antusiasme warga mendapat vaksinasi (Republika, 23 Februari 2021). Tempat vaksinasi di RSUD, Masjid Istiqlal, kantor ormas dipadati, yang disertai antrean panjang khususnya warga senior.
Karena itu, berlebihan Perpres Nomor 14 Tahun 2021 mengandung macam-macam ‘ancaman’ sanksi terhadap mereka yang menolak vaksin dan vaksinasi. Bagi para penolak, mungkin sanksi apa pun tidak membuat mereka mengubah sikap yang dilandasi keyakinan keagamaan.
Tepat sekali imbauan Republika (16/2) agar pemerintah ‘Utamakan Upaya Persuasif’. Atau peringatan dari Tajuk Rencana Kompas berjudul ‘Hati-hati Memberi Sanksi’ (16/2). Pemerintah harus lebih arif; tidak serta-merta menggunakan cara otokratik.
Cara otokratik biasanya tidak bisa menundukkan keyakinan ideologis-politis dan ideologis-religius. Otokrasi atau represi malah bisa jadi menimbulkan reaksi balik yang tidak diharapkan.
Pemerintah sebaiknya menggunakan figur publik dalam berbagai level masyarakat: ulama, politisi, selebritas, atau tokoh adat untuk melakukan kampanye vaksinasi. Cara persuasi edukatif lebih punya peluang menang merebut hati warga untuk melakukan vaksinasi demi keselamatan bersama. []
REPUBLIKA, 25 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar