Selasa, 23 Maret 2021

(Ngaji of the Day) Ketika Ada yang Mengaku Mimpi Bertemu Nabi Muhammad

Mimpi bertemu Nabi Muhammad adalah sebuah keistimewaan tersendiri bagi orang-orang yang bertakwa. Ia bukan sekadar bunga tidur, bukan juga sebuah godaan dari setan. Akan tetapi sebuah perjumpaan yang agung bersama junjungan agung Rasulullah . Karena, Rasulullah telah menegaskan bahwa setan tidak dapat menyerupainya.

 

عن أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ مَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَسَيَرَانِى فِى الْيَقَظَةِ ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي.

 

Diceritakan dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh, aku mendengar Rasulullah bersabda “Barang siapa melihatku di dalam mimpi, niscaya ia akan bertemu denganku dalam keadaan terjaga dan setan tidak dapat menyerupaiku” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Menyikapi hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj Syarh Shahih Muslim menjelaskan tiga makna yang terkandung dalam kalimat “niscaya ia akan bertemu denganku dalam keadaan terjaga”, yaitu :

 

Mimpi tersebut adalah pertanda bahwa kelak ia akan diberikan pertolongan oleh Allah untuk hijrah menemui Rasulullah . Makna ini ditujukan kepada orang-orang yang hidup di zaman Rasulullah tetapi belum berkesempatan menemuinya.

 

Mimpi tersebut menjadi pembenaran bahwa kelak ia akan bertemu Rasulullah di akhirat baik sebelumnya ia telah bertemu Rasulullah di dunia maupun belum menemuinya.

 

Mimpi tersebut bermakna kelak ia akan meraih kedekatan dengan Rasulullah di akhirat ataupun juga bermakna kelak ia akan mendapatkan syafaatnya.

 

Langkah yang harus dilakukan dalam menanggapi pengakuan seseorang bahwa ia bermimpi bertemu Rasulullah adalah menanyakan perihal sifat-sifat fisik Rasulullah dalam mimpinya. Apabila sesuai dengan sifat-sifat Rasulullah yang dijelaskan dalam kitab-kitab para ulama tarikh, niscaya ia dapat dibenarkan. Sebaliknya, apabila tidak sesuai maka mimpi tersebut tidak dapat dikategorikan bermimpi bertemu Rasulullah .

 

كان محمد ابن سيرين إذا قص عليه رجل أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم قال صف لي الذي رأيته فإن وصف له صفة لا يعرفها قال لم لتره فأخرج الحاكم من طريق عاصم بن كليب حدثني أبي قال قلت لإبن عباس رأيت النبي صلى الله عليه وسلم في المنام قال صفه لي قال ذكرت الحسن بن علي فشبهته به قال قد رأيته.

 

“Muhammad Bin Sirin ketika seseorang menceritakan kepadanya bahwa ia bermimpi bertemu Rasulullah , maka ia akan berkata “Sebutkan kepadaku sifatnya yang engkau temui dalam mimpi”. Ketika diceritakan kepada Ibnu Sirin sebuah sifat nabi yang tidak pernah diketahuinya, ia berkata “Engkau tidak bermimpi bertemu Rasulullah ”. Al-Hakim meriwayatkan, ‘Ashim bin Kulaib mendengar ayahnya berkata “Aku pernah mengatakan kepada Ibnu Abbas bahwa aku bermimpi bertemu Rasulullah , kemudian Ibnu Abbas berkata “Sebutkan kepadaku sifat Rasulullah (di dalam mimpi)”, maka aku menyebutkan sifatnya mirip dengan Al-Hasan bin Ali (cucu Rasulullah ), kemudian Ibnu Abbas mengatakan “Engkau benar-benar bermimpi bertemu Rasulullah ” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari [Beirut: Dar al-Ma’rifah], 2003, vol. 12, h. 384).

 

Ketika mimpi bertemu Rasulullah berkaitan dengan hukum-hukum syariat maka jelas tidak dapat diamalkan. Hal ini karena mimpi tidak dapat dijadikan acuan dalam menentukan hukum.

 

ورأيته في النوم حق فإن الشيطان لا يتمثل به كما ثبت ذالك في الصحيحين ولا يعمل بها فيما يتعلق بالأحكام لعدم ضبط النائم لا للشك في رأيته.

 

“Dan bermimpi bertemu Rasulullah adalah dapat dibenarkan karena setan tidak dapat menyerupainya sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dua kitab shahih Bukhari Muslim, akan (mimpi tersebut) tidak dapat diamalkan apabila berkaitan dengan hukum karena mimpi orang tidur tidak dapat dijadikan acuan bukan karena keraguan atas kebenaran mimpinya”. (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh ath-Thalib, [Beirut: Dar al-Kutub al-Islami], 2007, vol. 3, h. 106)

 

Akan tetapi, ketika mimpi bertemu Rasulullah berkaitan dengan perintah untuk melakukan kemaslahatan, kesunnahan, ataupun berupa larangan mengerjakan perbuatan yang haram dan sejenisnya maka dianjurkan untuk mengerjakannya. Hal ini dikarenakan perkara tersebut telah ditetapkan dalam syariat Islam.

 

أَمَّا إِذَا رَأَى النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُهُ بِفِعْلِ مَا هُوَ مَنْدُوبٌ إِلَيْهِ أَوْ يَنْهَاهُ عَنْ مَنْهِيٍّ عَنْهُ أَوْ يُرْشِدُهُ إِلَى فِعْلِ مَصْلَحَة فَلَا خِلَاف فِي اِسْتِحْبَاب الْعَمَل عَلَى وَفْقِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ حُكْمًا بِمُجَرَّدِ الْمَنَام بَلْ تَقَرَّرَ مِنْ أَصْل ذَلِكَ الشَّيْء.

 

“Adapun ketika seseorang bermimpi bertemu Rasulullah dan beliau memerintahan mengerjakan sesuatu yang disunnahkan, ataupun beliau melarang mengerjakan sesuatu yang terlarang (dalam syariat Islam), ataupun beliau memberikan petunjuk untuk mengerjakan suatu kemaslahatan maka tidak ada perkhilafan dalam anjuran untuk mengerjakan sesuai dengan perintahnya. Karena hal tersebut bukan memakai hukum berlandaskan sebatas mimpi tetapi hal tersebut berladaskan ketetapan asal perkara tersebut (dalam syariat Islam),” (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Minhaj syarh Shahih Muslim [Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, 2012, vol. 1, h. 115).

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar