Selasa, 09 Maret 2021

(Ngaji of the Day) Mengapa Muadzin Tutup Telinga saat Kumandangkan Adzan?

Muadzin adalah orang yang menyerukan adzan. Definisi ini singkat namun cukup dapat dimengerti oleh kebanyakan orang terutama kaum Muslimin. Dalam menunaikan tugasnya seorang muadzin dituntut untuk berseru dengan volume suara yang tinggi. Tujuannya adalah agar seruan adzannya dapat menjangkau tempat yang sejauh-jauhnya dan dapat didengar oleh orang sebanyak-banyaknya bahkan dapat dikenali oleh orang yang telinganya terkendala akibat ketulian.

 

Untuk itu ada kiat tertentu agar tujuan tersebut dapat tercapai, yakni seorang muadzin hendaknya menutup kedua telinganya dengan kedua jari telunjuknya. Cara ini sebagaimana dicontohkan oleh Sahabat Bilal bin Rabah radliallahu ‘anh setiap kali mengumandangkan adzan di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana terekam dalam sebuah hadits yang disampaikan dari Abi Juhaifah sebagai berikut:

 

رأيت بلال يؤذن ويدور ويتبع فاه هاهنا وهاهنا وإصبعاه في أذنيه

 

Artinya: “Aku melihat Bilal mengumandangkan adzan dan ia memutarkan dan mengikutkan mulutnya ke kesana-kemari, sedangkan kedua jarinya berada di kedua telinganya” (HR at-Tirmidzi).

 

Seruan adzan agar dapat menjangkau tempat yang sejauh-jauhnya dalam arti seluas-luasnya dan dapat didengar oleh orang sebanyak-banyaknya seorang muadzin hendaknya menutup kedua telinganya dengan kedua jari telunjuk dan memutarkan atau menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri agar suaranya tidak mengarah ke satu arah lurus ke depan tetapi juga ke samping kanan dan kiri.

 

Besarnya sudut putaran secukupnya saja supaya muadzin tetap dalam posisi menghadap kiblat di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, yang hukumnya sunnah. Ketika lafal adzan sampai pada حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ muadzin hendaknya memutarkan kepalanya ke kanan yang tentu saja diikuti mulutnya sehingga suara mengarah ke sisi kanan dari tempat ia mengumandangkan adzan.

 

Lalu ketika lafal adzan sampai pada حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ ia hendaknya memutarkan kepalanya ke kiri yang tentu saja diikuti mulutnya sehingga suara mengarah ke sisi kiri. Dengan begitu arah suaranya lebih merata yang memungkinkan didengar oleh orang sebanyak-banyak karena dapat menjangkau tempat seluas-luasnya.

 

Keterangan tersebut sejalan dengan penjelasan Syekh Nawawi Banten (nama lengkap Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi) sebagai berikut:

 

وجعل مسبحتيه أي أنملتهما بصماخيه لأنه أجمع للصوت ويعرف به الأذان لصمم أو بعد

 

Artinya: “Dan hendaknya muadzin meletakkan kedua jari telunjuknya pada kedua lubang telinganya. Karena hal itu lebih mengumpulkan suara dan juga dapat dikenali oleh orang tuli atau orang yang berada di kejauhan.” (lihat Nihayatu al-Zain fi Irsyadi al-Mubtadiin, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah: Beirut, Cetakan I, tahun 2002, hal. 95).

 

Jadi, tujuan muadzin menutup kedua telinga dengan kedua jari telunjuknya adalah agar seluruh suaranya terkonsentrasi dan keluar dari mulut saja dan tidak ada yang keluar dari telinga karena mulut dan telinga sesungguhnya terhubung satu sama lain. Dengan demikian suaranya dapat menjangkau tempat yang seluas-luasnya dan dapat didengar oleh orang sebanyak-banyaknya.

 

Cara mengumandangkan adzan seperti disebutkan di atas tetap berlaku hingga sekarang dan seterusnya. Hukumnya tetap sunnah meskipun manusia telah mampu menciptakan sarana teknologi berupa loud speaker untuk memperbesar volume suara tanpa harus menutup telinga dengan kedua jari telunjuk sebagaimana dipraktikkan Sahabat Bilal bin Rabbah pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bahkan tanpa memutar kepala pun, suara adzan bisa terdengar merata ke segala arah, termasuk ke timur, dengan mengoperasikan beberapa alat seperti “Horn TOA Speaker” yang diarahkan ke segala penjuru.

 

Gus Baha dalam sebuah tayangan videonya di YouTube mengatakan hukum tidak berubah hanya karena adanya perkembangan ilmu (dan teknologi – pen). Artinya kemajuan ilmu dan teknologi tidak mengubah ketentuan-ketentuan hukum yang sudah berlaku sejak zaman Rasulullah. Tetapi jika ilmu dan teknologi itu bisa mendukung hukum, maka pemanfaatannya diperbolehkan sebagaimana alat loud speaker digunakan untuk mengumandangkan adzan, dan ilmu falak serta teleskop rukyat untuk melihat hilal baru.

 

Dengan suaranya yang keras dan dapat didengar oleh banyak orang tersebut, seorang muadzin di akhirat akan menjadi orang sangat menonjol. Rasulullah mengatakan leher para muadzin paling panjang sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan dari Mu’awiyah radhialahu a’nhu sebagai berikut:

 

المؤذنون أطول الناس أعناقا يوم القيامة

 

Artinya: “Muadzin adalah orang yang paling panjang lehernya di hari Kiamat.” (HR Muslim)

 

Dalam Syarah Muslim, Imam Nawawi (nama lengkap Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi) menjelaskan maksud frase أطول الناس أعناقا (paling panjang lehernya) dalam hadits di atas sebagai berikut:

 

معناه أكثر الناس تشوفاً إلى رحمة الله تعالى؛ لأن المتشوف يطيل عنقه إلى ما يتطلع إليه، فمعناه كثيرة ما يرونه من الثواب

 

Artinya: “Maknanya adalah orang yang paling banyak melongok (mengharap) kepada rahmat Allah ta’ala karena sesungguhnya orang yang melongok (mutasyawwif) akan memanjangkan lehernya terhadap apa yang ia ketahui. Maksudnya, seorang muadzin akan menjadi sosok yang menonjol di akhirat karena banyaknya pahala yang diterimanya dari Allah subhanahu wata’ala” (lihat Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawi, Muassisah al-Qurthubah, 1994, Juz 4, Cetakan 2, hal. 121-122).

 

Demikianlah alasan mengapa muadzin menggunakan kedua jari telunjuknya untuk menutup telinganya hingga suaranya terdengar keras dan menyebar. Penggunaan pengeras suara sangat mendukung upaya tersebut dan memungkinkan banyak orang dapat mendengarnya, lalu berduyun-duyun datang ke masjid atau mushala untuk menyembah Allah melaksanakan shalat fardu sehari lima kali.

 

Maka bisa dimengerti kelak di akhirat seorang muadzin akan menjadi sosok yang menonjol karena besar jasa-jasanya sewaktu di dunia, yakni memberitahukan kepada kaum Muslimin bahwa waktu shalat telah tiba sekaligus berseru agar mereka segera melaksanakannya di masjid, di mushala atau di manapun yang memungkinkan. []

 

Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar