Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.
Nuwun sewu Yai, saya mau bertanya. Bagaimana hukumnya jual beli kebutuhan media sosial (follower, like, subscriber, viewer, dll)?
Terima kasih atas jawabannya.
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Penanya yang budiman. Semoga rahmat Allah SWT senantiasa mengiringi kita semua sehingga hidup kita selalu dilimpahi keberkahan.
Sebelum kita masuk jauh ke dalam telaah fiqih mengenai hukum jual beli follower, like/fan, subscriber, viewer, atau semacamnya maka ada baiknya kita perlu mengetahui terlebih dulu tentang kedudukan keempat hal tersebut, khususnya terkait dengan syarat apakah bisa kesemuanya itu disebut sebagai harta. Mengapa?
Sebab, salah satu rukun jual beli adalah bila objek yang dibeli itu memenuhi unsur sebagai harta. Artinya, bisa dikuasai, dimanfaatkan, dan menghendaki adanya ganti rugi bila dirusak oleh seseorang. Inilah nilai penting dari mengetahui duduk masalah hal tersebut.
Apakah Follower, Subscriber, Like/Fan, dan Viewer merupakan Harta?
Perlu dipertegas terlebih dahulu bahwa istilah follower, like/fan, dan subscriber secara umum boleh dikatakan bermakna mirip, yakni “pengikut” atau “pelanggan”. Hanya saja, masing-masing istilah digunakan untuk platform media sosial yang berbeda-beda: follower untuk Twitter, Instagram, Tiktok, dan lainnya; subscriber untuk Youtube, dan like atau fan untuk halaman Facebook (fanpage). Sementara viewer lazim mengacu pada pengertian penonton video di media sosial, dan ini berlaku untuk hampir semua platform.
Istilah-istilah tersebut mencerminkan relasi dua akun, yakni antara yang diikuti dan mengikuti; atau antara akun penyedia konten dan pelanggan/penikmat konten. Dua akun tersebut bisa saling mengikuti satu sama lain, bisa juga tidak. Si akun pengikut pun sewaktu-waktu bebas memutus relasi itu dengan, misalnya, unfollow, unsubscribe, atau unlike. Tidak ada kontrak atau kesepakatan apa pun antara dua akun itu. Umumnya, hubungan itu dibangun atas dasar kesukarelaan dari akun satu untuk mengikuti akun lainnya.
Akun media sosial merupakan bagian dari pernyataan data diri personal atau lembaga. Di media sosial, seseorang yang memiliki banyak follower, like/fan, subscriber, dan viewer, menandakan dirinya diterima oleh ceruk masyarakat sosial tertentu.
Penerimaan berbasis personal semacam ini sering kita namai dengan istilah reputasi, yang kemudian dalam fiqih sering dikategorikan sebagai jah.
Jah, dalam perspektif kajian fiqih, termasuk harta manfaat. Sebagai harta manfaat maka jah bisa dijualbelikan atau disewakan dan dinilai sebagai uang. Jadi, follower, fan, dan subscriber sebagai penyusun jah (reputasi), merupakan yang bisa dijualbelikan dan disewakan/dikontrakkan.
Pernyataan ini dijumpai dalam pandangan tiga mazhab terkemuka, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Adapun untuk mazhab Syafi’i, jah tidak dianggap sebagai harta. Yang bisa dinyatakan sebagai harta adalah kerja personal yang bisa dinilai berdasar hasil kerjanya atau masa sewanya.
Penyerahan harta kepada pihak lain yang dianggap memiliki reputasi baik, umumnya hanya ditegaskan sebagai penyerahan berbasis amanah saja. Alhasil, menurut paradigma mazhab Syafi’i, akunlah yang merupakan harta. Adapun viewer, like, subscriber dan follower, bukan termasuk harta.
Dengan demikian, menurut paradigma mazhab Syafi’i, viewer, like, subscriber, dan follower ini, merupakan hal yang tidak bisa dijualbelikan, karena tidak termasuk harta. Di sini letak titik beda antara mazhab Syafi’i dengan tiga mazhab sebelumnya.
Like/Fan, Subscriber, dan Follower sebagai Penyusun Akun
Sudah mafhum bahwa like/fan, subscriber, dan follower merupakan bagian dari penyusun suatu akun. Sebutan “akun besar” biasanya merujuk pada besarnya jumlah like/fan, subscriber, dan follower. Semakin besar, semakin dilirik orang, termasuk oleh entitas bisnis tertentu untuk mempromosikan produknya, sebagaimana praktik kerja periklanan atau endorsement yang selama ini biasa kita saksikan di beranda media sosial.
Ini secara tidak langsung menegaskan bahwa akun merupakan harta manfaat. Sementara follower, subscriber viewer dan like merupakan komponen penyusun harta manfaat tersebut.
Dari mana asal muasal viewer, follower, subscriber, dan like/fan pada sebuah akun media sosial? Sumber datangnya pengikut media sosial itu bisa diklasifikasi sebagai berikut:
Pertama, pengikut atau pelanggan datang secara “alamiah”. Akun tersebut memang merupakan akun resmi. Karena popularitas dan familiaritasnya, akun itu diserbu oleh para fans-nya dan akhirnya banyak follower, subscriber, atau fan. Di dunia digital, kategori ini biasa disebut “pengikut organik".
Kedua, pengikut itu berasal dari rekayasa teknologi tertentu. Artinya, pengikut yang didatangkan tidak alami atau bahkan tidak nyata. Ia adalah buah dari kerja mesin yang didesain untuk menggelembungkan jumlah angka view, follower, subscriber, atau fan.
Ketiga, adakalanya sebuah akun memperoleh follower, subscriber, like/fan, dan viewer melalui jasa periklanan. Misalnya, di Facebook, seseorang bisa mempromosikan fanpage-nya untuk menjangkau segmen masyarakat tertentu. Melalui periklanan yang dirilis secara resmi oleh Facebook, seorang pemilik akun bisa mengatur spread (penyebaran) akunnya, sehingga memungkinkan ia mendapatkan banyak fan baru dan reach yang lebih luas.
Keempat, pengikut didapat dari hasil mengambil alih akun orang lain, misalnya melalui peretasan (hacking). Dengan demikian, pengikut tersebut merupakan bawaan dari akun pihak lain yang dicuri.
Hukum Menjualbelikan Akun
Berdasarkan hasil identifikasi sumber akun yang dijadikan objek jual beli di atas, maka secara tidak langsung, hukum praktik jual beli akun (termasuk unsur penyusunnya, yakni total pengikut) juga bisa diperinci menurut kategori asal pengikut akun itu dibentuk.
1. Jual beli akun resmi
Menjualbelikan akun resmi ini pada dasarnya bisa dipilah menjadi dua, berdasarkan cara mengendalikan akun tersebut. Pertama, jika akun yang dibeli masih bisa dikendalikan oleh pemilik identitas asalnya, maka sifat jual beli akun tersebut merupakan praktik ijarah (endorsment). Hukumnya adalah boleh tanpa khilaf.
Kedua, jika akun yang dibeli tersebut tidak bisa dikendalikan oleh pemilik identitas asalnya, maka apabila dalam penggunaannya, akun tersebut masih mengatasnamakan pemilik identitas asal akun, maka dalam kondisi seperti ini secara tidak langsung telah terjadi praktik tadlis (pengelabuan/pemalsuan informasi) disebabkan pemanfaatan identitas orang lain untuk tindakan menguntungkan diri sendiri.
Dan apabila dalam penggunaannya tidak mengatasnamakan pihak pemilik identitas asal akun (misalnya dengan mengubah nama akun dan identitas lainnya), maka pembeli telah melakukan tindakan yang merugikan (idlrar) pihak pengikut (follower, subscriber, dan fan). Sebab, pengikut mungkin tidak rela, akun yang ia ikuti tiba-tiba berubah dan berisi konten yang tidak sesuai dengan tujuan awal mengikutinya.
Dalam mazhab Syafi’i, setiap tindakan idlrar sehingga bisa dikalkulasi dan dihitung secara matematis, maka tindakan tersebut bisa dituntut ganti rugi. Akan tetapi, jika tidak bisa dikalkulasi, maka tindakan itu tidak bisa dituntut ganti rugi. Pihak subscriber, follower, viewer dan fan, bisa meninggalkan akun dengan jalan meng-unfollow, men-unsubcribe, atau meng-unlike, tanpa adanya ikatan apa pun dengan pihak pembeli akun.
2. Jual beli akun dengan pengikut palsu hasil rekayasa mesin
Jika dilihat dari barangnya, pada dasarnya akad jual beli akun semacam ini adalah sah. Akan tetapi pelakunya telah berbuat maksiat, disebabkan adanya kecurangan (ghabn) di balik komponen penyusun harta yang diperjualbelikan (akun) yang muqtadla al-hal-nya (tujuan dasar dari diciptakannya akun) adalah untuk menyampaikan tentang informasi pemilik identitas.
Mengakuisisi akun tersebut adalah boleh, akan tetapi ketika akun tersebut dipergunakan untuk menyampaikan informasi, maka informasi tersebut menjadi bersifat najasy (provokasi). Alhasil, pelakunya berdosa. Subscriber, fan, follower, dan viewer yang berasal dari praktik semacam ini menduduki maqam pengelabuan (khadi’ah) sehingga masuk kategori kecurangan.
Bagaimana bila tindakan itu tidak disertai dengan praktik akuisisi? Jika pembeli tidak mengakuisi akun yang dibelinya, maka akad jual belinya termasuk akad ijarah. Dan karena di dalam akad itu ada unsur najasy-nya, maka praktik semacam bisa dikategorikan juga sebagai ijarah najasy, sebagai cabang dari jual beli najasy.
3. Jual beli akun dengan pengikut yang diperoleh dari hasil beriklan
Menambah jumlah follower, fan, dan subscriber, serta viewer memang bisa dilakukan dengan jalan beriklan. Nyaris semua platform media sosial menyediakan fasilitas ini. Karena fasilitasnya bersifat legal, maka penggunaan fasilitas itu juga bersifat legal.
Fungsi periklanan dalam media sosial semacam ini adalah untuk menambah daya jangkau atau tingkat keterlihatan sebuah konten atau akun ke lebih banyak pengguna media sosial, terutama kepada akun yang belum menjadi pengikutnya.
Menjualbelikan akun hasil dari beriklan semacam ini adalah sama kedudukannya dengan kategori jual beli akun resmi, sebagaimana yang telah disinggung di bagian pertama.
4. Jual beli akun hasil membobol akun pihak lain
Meski perusahaan platform media sosial sudah menerapkan standar keamanan yang cukup ketat, tapi faktanya kasus pembobolan akun oleh orang lain masih tetap dijumpai. Konsekuensinya, bila pemilik akun tak dapat log in lagi maka akun tersebut sepenuh berada di bawah kendali sang peretas (hacker).
Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah, ternyata pihak pembobol (meng-hack) menyasar pada akun yang memiliki subscriber, fan, dan follower berjumlah besar. Saat akun akun itu berhasil dicuri, banyak hal yang bisa dilakukan oleh sang pembobol, mulai dari memanfaatkannya hingga menjualnya. Apakah jual beli seperti ini merupakan yang disahkan oleh syariat?
Jawabnya, sudah barang tentu tidak sah, serta dapat diqiyaskan dengan kasus jual beli barang curian (sirqah). Mengapa demikian? Pertama, akun yang berhasil dibobol oleh hacker tersebut dapat dikategorikan sebagai harta manfaat sebab status “akun” itu sendiri, yang dalam bahasa modernnya masuk dalam kategori rekening. Dan tidak diragukan lagi, bahwa rekening merupakan bagian dari harta dan masuk unsur alat penyimpan harta (hirzun).
Karena akun merupakan bagian dari harta, maka tindakan membobol (meng-hack) akun bisa disamakan dengan tindakan mencuri harta orang lain dari tempat penyimpanan (min hirzi mitslihi). Bila harta itu terdiri dari subscriber, like/fan, dan follower, maka mengalihkan kepemilikan atas total pengikut itu kepada pihak lain yang mau membeli, adalah sama dengan menjual hasil barang curian. Alhasil, harta yang didapatkan pun menjadi haram karenanya. Pihak yang membeli pun juga haram membelinya. Apabila pembelinya nekad, maka dia dianggap bersekutu dalam kasus pencurian sehingga bisa dikenai had (sanksi) pidana kasus pencurian dalam syariat.
Demikianlah, semoga jawaban singkat ini bisa bermanfaat dalam memberi jawaban atas pertanyaan saudara penanya. Rujukan yang lain, saudara bisa mengakses tulisan dengan tema hukum testimoni palsu di kanal Ekonomi Syariah, NU Online. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, Kolomnis Kanal Ekonomi Syariah - NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar