Senin, 22 Maret 2021

(Ngaji of the Day) Sejarah Singkat Bibit-bibit Kaum Mujassimah di Bidang Tauhid

Sejak dulu sudah ada orang yang berpaham tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk atau menyifati-Nya dengan sifat makhluk) dan tajsim (meyakini Allah adalah benda atau mempunyai sifat benda) yang mengaku Islam namun sejatinya bukan. Ia hidup jauh dari tempat yang menjadi sumber ilmu keislaman pada saat itu. Yakni di Balkh, Khurasan. Dialah Muqatil bin Sulaiman as-Sadusiy (150 H) yang berkata (dan perkataannya tidak boleh diyakini):

 

"Sesungguhnya Allah adalah benda yang mempunyai anggota-anggota badan, baik kecil atau besar, seperti tangan, kaki, dan kedua mata"

 

Ada juga Hisyam bin Al Hakam (190 H) yang berkata (perkataannya ini juga tidak boleh diyakini):

 

"Allah mempunyai bentuk yang bisa berdiri dan bergerak, sebagaimana makhluk."

 

Lalu muncullah Jahm bin Shafwan yang memerangi pemahaman menyimpang kedua tokoh di atas. Namun sebagai mana kedua tokoh tadi yang ceroboh dalam menyifati Allah sebagaimana makhluk, ia juga melakukan kecerobohan dalam bentuk lain, yakni sama sekali tidak menetapkan sifat bagi Allah (ta'thil).

 

Karenanya sangat wajar, sebagai bukti mukjizat Nabi bahwa umat ijabah ini terjamin akan keselamatannya dari bersepakat dalam kesesatan, muncul lah seorang imam yang agung, Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit (w 150 H) yang berkata:

 

أتانا من المشرق رأيان خبيثان جهم معطل ومقاتل مشبه

 

"Telah datang kepada kita kaum Muslimin, dua pendapat tokoh yang sangat buruk, Jahm bin Shafwan yang berpaham ta'thil dan pendapat Muqatil yang berpaham tasybih."

 

Dan beliau juga berkata,

 

أفرط جهم في النفي حتى قال إنه ليس بشىء وأفرط مقاتل فى الإثبات حتى جعل الله تعالى مثل خلقه

 

"Jahm ceroboh dalam menafikan sifat Allah sehingga ia berpendapat Allah tidak mempunyai sifat yang sempurna yang layak bagi-Nya sekalipun (ta'thil). Dan Muqatil juga ceroboh dalam menetapkan sifat Allah (tidak disertai prinsip tanzih, yakni menyucikan-Nya dari sifat dan keserupaan terhadap makhluk sehingga berpaham tasybih."

 

Menurut para ulama, Imam Abu Hanifah adalah tokoh ulama yang diisyaratkan Nabi dalam satu sabdanya:

 

لو كان الإيمان عند الثريا لناله رجال من هؤلاء --أي من فارس -- رواه البخاري ومسلم وغيرهما

 

"Andaikan keimanan itu jauh letaknya di bintang Tsurayya, maka niscaya tokoh-tokoh dari Persi-Iran akan menggapainya."

 

Kenyataannya Imam Abu Hanifah, yang di Indonesia lebih dikenal dengan Imam Hanafi, berasal dari Iran-Persi. Dan banyak kitab karangan Abu Hanifah yang bertajuk keimanan yang beliau dedikasikan untuk mengawal Ahlussunnah wal Jamaah. Di antara nya, al-Fiqhul Akbar, al-Fiqhul Absath, al-'Alim wal Muta'allim, al-Washiyyah, ar-Risalah.

 

Jadi, prinsip Ahlussunnah adalah tawassuth (moderat) yakni itsbat (menetapkan sifat Allah yang sempurna yang layak bagi-Nya) tidak sebagaimana Jahm bin Shafwan dan yang sepaham dengannya; dan Ahlussunah juga berpedoman pada prinsip tanzih (meyakini kemahasucian-Nya dari seluruh keserupaan terhadap makhluk), tidak sebagaimana Muqatil bin Sulaiman yang berpaham tasybih.

 

Ahlussunah berdiri kokoh di antara tasybih dan ta'thil. Moderat dalam aqidah yang sesungguhnya.

 

Bagaimana dengan kita di zaman sekarang? Tetaplah berpegang pada prinsip Abu Hanifah dan para ulama salaf yang shalih; Ahlussunah yang sebenarnya. Yang terjamin dari bersepakat dalam kesesatan. Sebagaimana sabda Nabi:

 

لا تجتمع أمتي على ضلالة

 

"(Ulama) umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan."

 

Sumber:

1.     Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari, Maqalatul Islamiyyin wa Ikhtilaful Mushallin

2.     Maqalatul Islamiyyin al-Mansubah lil Asy'ariy

3.     Khatib Al Baghdadi, Tarikhu Baghdad

 

[]

 

Ustadz Abdul Haq, Direktur Aswaja Center PCNU Kabupaten Brebes

Tidak ada komentar:

Posting Komentar