Rabu, 17 Maret 2021

Zuhairi: Kokohnya Hubungan Indonesia-Arab Saudi

Kokohnya Hubungan Indonesia-Arab Saudi

Oleh: Zuhairi Misrawi

 

Setelah kunjungan bersejarah Raja Salman bin Abdul Aziz pada tahun 2017 lalu, hubungan Indonesia-Arab Saudi semakin kokoh. Setidaknya ada 11 nota kesepahaman yang sangat komprehensif yang digarisbawahi untuk mempererat jalinan kerja sama di berbagai sektor kehidupan. Di antaranya: sidang komisi bersama, pendidikan dan kebudayaan, koperasi dan UMKM, kesehatan, riset, teknologi dan pendidikan tinggi, urusan agama, kelautan dan perikanan, perdagangan, pemberantasan kejahatan, dan investasi.

 

Sebelas nota kesepahaman tersebut dapat menggambarkan betapa dekatnya hubungan Indonesia-Arab Saudi. Kedua negara mempunyai komitmen yang sama untuk terus meningkatkan kerja sama di berbagai sektor kehidupan, sehingga dapat memformulasikan sebuah kerja sama yang kongkrit. Sebenarnya 11 nota kesepahaman di atas sudah dapat menggambarkan betapa kedua negara mempunyai keinginan yang kuat dan niat yang tulus untuk membangun sebuah diplomasi yang dibangun di atas pijakan saling menghormati (mutual respect) dan saling menguntungkan (mutual interest).

 

Hubungan Indonesia-Arab Saudi sebenarnya mempunyai latar-historis yang panjang dan berjalan secara baik dari zaman ke zaman. Umat Islam di Nusantara, jauh sebelum kemerdekaan RI, yang sejarahnya dimulai sejak abad ke-13 telah menjalin hubungan dengan bangsa Arab di jazirah Arab. Muncul sejumlah ulama kampiun, seperti Khatib al-Minangkabawi, Mahfudz al-Tremasi, Nawawi al-Bantani, Yasin al-Fadani, Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, dan lain-lain.

 

Posisi strategis Arab Saudi sebagai pelayan dua kota suci, Mekkah dan Madinah, yang dikenal sebagai khadim al-haramain, menjadikan negara kaya minyak itu sebagai salah satu destinasi umat Islam di seantero dunia, tidak terkecuali umat Islam di Tanah Air dari sejak dulu hingga sekarang ini. Setiap shalat, umat Islam akan menghubungkan hatinya dengan Ka'bah, rumah Allah (baitullah).

 

Saya menulis buku khusus tentang Mekkah (2009) dan Madinah (2010). Di dalam kedua buku tersebut, saya menggambarkan betapa dua kota suci ini mempunyai latar historis, spiritual, dan ilmiah. Bahkan historisitasnya bermula dari Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, hingga Nabi Muhammad SAW. Bagi umat Islam, kedua kota suci ini mempunyai makna yang sangat istimewa, karena sebagai kota mampu membangun peradaban ketuhanan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

 

Islam sebagai agama yang membawa misi rahmatan lil 'alamin, semua jejak-jejaknya berada di kedua kota suci tersebut. Di Mekkah, Nabi membangun pentingnya merawat nilai-nilai kemanusiaan, sehingga ayat-ayat al-Quran yang turun di kota kelahiran Nabi itu menggunakan frase, Ya ayyuhannas (Wahai manusia). Nabi tidak ingin ada pertumpahan darah di Mekkah sebagai penghormatan terhadap Ka'bah, rumah Allah.

Maka dari itu, khutbah Nabi Muhammad pada saat Haji Perpisahan (Hajj al-Wada') merupakan khazanah yang sangat penting dalam perjalanan khazanah kemanusiaan, karena di dalamnya berisi pesan penting, bahwa sesungguhnya kita semua semua bersaudara, dan hendaknya di antara kita tidak menumpahkan darah, karena pembunuhan merupakan dosa besar, dan seorang Muslim tidak boleh melakukan pembunuhan. Di dalam al-Quran ditegaskan, barang siapa membunuh satu orang, sesungguhnya ia sudah membunuh seluruh umat manusia (QS. Al-Maidah: 32).

 

Madinah menjadi simbol kemajemukan yang diperkokoh dengan lahirnya Piagam Madinah. Di kota suci ini, Nabi Muhammad SAW menegaskan pentingnya hidup damai dan toleran di tengah kebhinnekaan. Kita semua, apapun agamanya, baik Yahudi dan Kristen adalah umat agama-agama yang beriman kepada Tuhan. Umat Kristen dan Yahudi di dalam al-Quran disebut sebagai umat yang mempedomani Kitab Suci (Ahlul Kitab). Sebab itu, ayat-ayat al-Quran yang turun di Madinah menggunakan frase, Ya Ayyuhal ladzina amanu (Wahai orang-orang yang beriman). Makna iman di sini memberikan ketenangan pada lahir dan batin. Siapapun orang-orang yang beriman akan memberikan rasa aman kepada siapapun.

 

Penjelasan di atas dapat menjelaskan kenapa Arab Saudi akan selalu berada di hati umat Islam Indonesia. Hati kita setiap hari bergelayutan di Ka'bah dan makam Nabi Muhammad SAW di Madinah. Dimensi religius dan spiritual ini menjadi modal diplomasi yang sangat baik untuk membincangkan hal-hal strategis di antara kedua negara untuk kemaslahatan bersama dan dunia.

 

Jutaan umat Islam yang menunaikan ibadah umrah dan haji setiap tahunnya, yang secara otomatis memberikan manfaat bagi kedua negara. Kita pun mempunyai WNI yang menjadi Pekerja Migran di Arab Saudi. Belum lagi jumlah impor minyak yang relatif besar, meski ekspor kita masih terbilang kecil, sehingga neraca perdagangan kita ke Arab Saudi mengalami defisit.

 

Maka dari itu, memperkokoh hubungan dan kerja sama Indonesia-Arab Saudi merupakan agenda yang sangat mendesak untuk kemaslahatan kedua negara. Sebelas nota kesepahaman yang sudah ditanda-tangani Raja Salman bin Abdul Aziz dan Presiden Jokowi harus menjadi kertas kerja dan program yang nyata di lapangan. Setelah 4 tahun berlalu setelah penandatanganan 11 nota kesepahaman tersebut, masih banyak hal yang belum dikerjakan dengan baik. Hal tersebut membutuhkan tenaga, waktu, dan pemikiran yang nyata, sehingga mimpi, cita-cita, keinginan, dan rencana kerja dapat diterjemahkan dalam aktivitas nyata.

 

Kita harus membangun optimisme daripada pesimisme, bahwa adanya jalinan hati antara Raja Salman bin Abdul Aziz dan Presiden Jokowi merupakan modal diplomasi yang sangat baik untuk melangkah ke depan, bahwa Indonesia-Arab Saudi adalah bersaudara dan bersahabat yang dilandaskan pada ketulusan dan kejernihan hati untuk membangun peradaban adiluhung pada masa mendatang, hingga hayat di kandung badan. []

 

DETIK, 05 Maret 2021

Zuhairi Misrawi | Cendekiawan muslim, kader Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar