Senin, 15 Maret 2021

Jakarta Menurut Ulama Betawi (1)

Jakarta di tahun 2020 ini, sebagai sebuah kota, telah memasuki usianya yang ke-493, dengan segala capaian pembangunan dan kemajuannya. Terlepas dari polemik para sejarawan mengenai tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Sebagai kota yang penduduknya mayoritas Muslim, bagaimana ulamanya sebagai pemimpin informal dan panutan umat, khususnya ulama Betawi, memandang masyarakat dan kota Jakarta ini? Apa saja harapan mereka yang dapat menjadi sumber inspirasi dan panduan warga Jakarta, khususnya umat Islam, untuk memajukan kota Jakarta dalam aspek materil dan nonmaterilnya?

 

Untuk menjawab hal ini, paling tidak, dari kajian dan penelitian saya, ada tiga sosok yang pandangannya dapat mewakili ulama Betawi, yaitu Guru Manshur Jembatan Lima, KH Abdurrahim Radjiun bin Muallim Radjiun Pekojan, dan Abuya KH Saifuddin Amsir, dengan beberapa penambahan penjelasan dan analisis dari saya.

 

Guru Manshur Jembatan Lima dan Jakartawi

 

Jakartawi berarti orang Jakarta. Istilah ini dipopulerkan oleh Guru Manshur Jembatan Lima. Ia merasa, kata Betawi kurang pas untuk dilekatkan kepada etnik yang menjadi tuan rumah dari Batavia. Meski pun ia sendiri mempopulerkan seruan “Betawi, rempug!” yang kini dijadikan nama salah satu ormas Betawi.

 

Alasannya cuma satu: kata Betawi ia yakini berasal dari bahasa Belanda si penjajah, yaitu Batavia. Ini tentu berbeda dengan tesis Ridwan Saidi yang dengan pendekatan linguistiknya menyatakan kata “Betawi” bukan berasal dari Batavia, tapi dari nama flora. Jadi, tidak ada kaitannya dengan Batavia.

 

Terlepas dari tesis mana yang benar, ada hal yang menarik mengenai jati diri si penggagas dari istilah Jakartawi ini, Guru Manshur Jembatan Lima, yang akan dikaitkan tentang penyematan Jakartawi pada era sekarang. Siapapun tidak akan ada yang membantah bahwa ia adalah ulama Betawi terkemuka, salah seorang guru dari enam guru Betawi yang melegenda. Namun, leluhurnya bukanlah orang Betawi Asli.

 

Asli di sini dalam pengertian Ridwan Saidi yang menepis teori melting pot, yaitu etnis Betawi merupakan percampuran dari berbagai kelompok etnik seperti Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan Melayu. Menurutnya, etnis Betawi bukanlah etnis kemarin sore yang baru lahir dari pencampuran banyak etnis, tetapi sudah ada sejak dulu sebelum bangsa Belanda datang menjajah.

 

Leluhur guru Manshur Jembatan Lima berasal dari Mataram, Jawa yang turut menggempur Belanda di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Hal ini tidak berbeda dengan kebanyakan guru atau ulama Betawi lain yang leluhurnya bukan Betawi asli.

 

Mereka adalah Guru Marzuqi Cipinang Muara yang dari garis bapak berasal dari Pattani, Thailand Selatan dan dari garis ibu berasal dari Madura; Muallim Rojiun Pekojan yang leluhurnya merupakan pendiri Masjid Al-Makmur, Tanah Abang, dan berasal dari Demak, Jawa Tengah; Guru Mahmud Romli, dan KH Fathullah Harun yang leluhurnya adalah Tanbi Badung dari Ternate, Maluku Utara, yang turut menggempur Belanda sampai ke Batavia pada era Jean Peter Coen.

 

Bukan hanya ulama Betawi saja yang kebanyakan jika dirunut asal-usulnya adalah pendatang. KH Abdullah Syafi`i dalam sebuah pidatonya, seperti yang diceritakan oleh KH Saifuddin Amsir, pernah melakukan survei dadakan dari atas mimbarnya. Ia meminta kepada jamaah yang hadir yang tentu saja mengaku sebagai Betawi asli untuk mengancungkan jarinya jika mengetahui nama kakeknya, semua pun bisa menjawab. Kemudian yang mengacungkan jari nyaris tidak ada ketika diminta untuk menyebut nama leluhurnya dari generasi setelah kakeknya kakek.

 

Ini menunjukkan bahwa banyak orang Betawi mengaku Betawi asli karena gelap silsilahnya yang ternyata bisa jadi leluhurnya adalah pendatang, bukan Betawi asli dalam pengertian Ridwan Saidi. Apalagi jika dikaitkan dengan orang-orang Betawi yang memang leluhurnya bukan dari ras Melayu, seperti Arab Yaman atau Tionghoa.

 

Namun ada persoalan yang lebih pelik lagi, terutama bagi sebagian orang-orang yang mengaku Betawi asli yang ingin melakukan identifikasi agar etnik ini tetap terjaga kemurniannya dari pengaruh anasir-anasir asing. Mereka tentu akan kesulitan untuk memasukkan satu generasi yang bapak dan ibunya adalah pendatang pasca-kemerdekaan atau di masa Orde Lama dan Orde Baru yang mencari rezeki dan bermukim di Ibukota, namun lahir di Jakarta. Generasi ini sama seperti generasi Betawi asli, ari-arinya tertanam di bumi Betawi, bertutur kata dengan logat Betawi dan ketika lebaran tidak mudik atau pulang kampung, setia menjaga Jakarta yang udah menjadi kampungnya sendiri.

 

Sebagian besar mereka adalah kaum terdidik yang memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi kemajuan Islam dan pembangunan kota Jakarta hari ini dan di masa depan bahkan kepada etnis Betawi. Generasi ini tentu akan ditolak oleh pengusung Betawi asli sebagai Betawi baru. Istilah “Betawi baru” pernah dilontarkan oleh Sapardi Djoko Damono.

 

Menurutnya, orang Betawi telah mengalami sebuah fase perubahan yang pesat akibat proses asimilasi. Namun perubahan tersebut tidak membuat orang Betawi ataupun etnis Betawi menjadi punah, melainkan bermetamorfosis menjadi etnis atau orang Betawi baru. Betawi yang terbentuk akibat proses asimilasi dengan budaya lain di Kota Jakarta. Dan ini, menurut saya, merupakan fase kedua terbentuknya etnis Betawi akibat perpaduan berbagai etnis yang ada. Hanya saja dalam fase ini perubahan dalam hal budaya dan kesenian tidak terlalu banyak pengaruh.

 

Jika agenda pemurnian etnis Betawi ini terus dilakukan dan generasi ini tidak dapat dimasukkan sebagai orang Betawi, mungkin para pakar antropologi, etnologi, dan kebetawian dapat mengembangkan tesis Guru Manshur Jembatan Lima tentang Jakartawi. Jakartawi dapat diartikan sebagai etnik pseudo Betawi, yaitu kelompok etnik Muslim yang individu-individunya lahir di Jakarta dan berkultur Betawi tapi bukan Betawi asli. Sama seperti New Yorker di Amerika Serikat, atau Tokyoites di Jepang Keberadaan mereka tidak perlu diragukan lagi, mereka benar-benar ada.

 

Ada tiga kepentingan dengan memunculkan etnik Jakartawi ini, yaitu: pertama, membantu memulihkan krisis identitas etnik yang mereka alami selama ini sebab etnis asal orang tua mereka tidak dapat mengakui eksistensi mereka dan begitu pula etnis Betawi; kedua, memudahkan elit-elit pejuang Betawi asli untuk melakukan inventarisasi sumber daya manusia, konsolidasi, penguatan, pemberdayaan, dan pengembangan etnisnya; dan ketiga, untuk kepentingan demografi dan kepentingan lainnya.

 

(bersambung…)

 

(Rakhmad Zailani Kiki)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar