Kamis, 25 Maret 2021

(Ngaji of the Day) Ragam Pendapat Ulama soal Perayaan Hari Ulang Tahun

Beberapa hari ini dunia pendidikan dihebohkan oleh sebuah kabar viral yang menyebut salah satu sekolah di Solo mengeluarkan siswinya yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada teman laki-laki di sekolah yang sama. Peristiwa ini mengundang beragam komentar, termasuk dari pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menyayangkan keputusan ini, dan menilai sekolah terlalu berlebihan dalam menerapkan sanksi dimaksud. Namun, lewat media, pihak sekolah juga mengklarifikasi bahwa persoalannya lebih dari sekadar ucapan selamat ulang tahun.

 

Merayakan ulang tahun berarti merayakan hari kelahiran seseorang, biasanya dengan mengadakan pesta kecil bersama keluarga dan teman-teman. Hadiah atau kado sering diberikan pada orang yang sedang berulang tahun, di samping ucapan selamat, dan tentunya doa kebaikan serta panjang umur. Lalu, bagaimanakah Agama Islam memandang perayaan hari ulang tahun?

 

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum permasalahan ini. Pertama, sebagian ulama meliputi Syekh Ali Jum’ah, Syekh Salman Al-Audah, Syekh Amru Khalid, Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah), dan Lembaga Fatwa Palestina (Darul Ifta’ Al-Filasthiniyyah) mengatakan, merayakan hari ulang tahun diperbolehkan, dengan syarat perayaan tersebut tidak mengandung perbuatan yang diharamkan, seperti ikhtilath (bercampur dengan yang bukan mahram).

 

Mereka beralasan, merayakan hari ulang tahun merupakan salah satu cara mengingat nikmat kelahiran (kehidupan), dan satu momen melantunkan doa bagi orang yang berulang tahun. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

 

“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam: 33).

 

Pada ayat tersebut, Nabi Isa ala’ihis salam berdoa agar diberikan limpahan kesejahteraan pada hari kelahiran, hari wafat, dan hari kebangkitannya kembali. Dengan demikian, merayakan hari ulang tahun, disertai lantunan doa agar orang yang berulang tahun diberikan umur panjang dan limpahan kesejahteraan, diperbolehkan.

 

Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Abu Qatadah radhiyallau anhu:

 

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ: «ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ».

 

Dari Abi Qatadah al-Anshari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau bersabda: “Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus sebagai Rasul atau diturunkan wahyu kepadaku.”

 

Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan alasan beliau berpuasa di hari Senin, bahwa hari itu merupakan hari dilahirkan dan diutusnya Nabi shallallahu alaihi wasallam. Artinya, hadits itu memberi isyarat bahwa hari kelahiran seseorang merupakan hari yang penuh nikmat, sehingga wajib disyukuri. Hadits itu juga memberi isyarat kebolehan merayakan hari-hari penuh nikmat, seperti hari kelahiran.

 

Di samping itu, perayaan hari ulang tahun masuk dalam kategori adat atau tradisi, bukan ibadah, maka tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Karena, bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata. Imam Syathibi berkata:

 

فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ

 

“Bid’ah merupakan ungkapan tentang cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan untuk lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala” (Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-I’tisham, juz I, h. 26).

 

Kemudian, jika merayakan hari ulang tahun diperbolehkan, maka menghadirinya dan memberikan hadiah serta ucapan selamat kepada orang yang berulang tahun juga diperbolehkan, sebab merupakan bentuk membahagiakan hatinya. Dan membahagiakan hati orang lain disunnahkan dalam Islam, sebagaimana hadits riwayat Abu Hurairah radhiyallahu anhu:

 

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآله وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: (تُدْخِلُ عَلَى أَخِيكَ الْمُؤْمِنِ سُرُورًا، أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا، أَوْ تُطْعِمُهُ خُبْزًا).

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya: “Amal apa yang paling utama?” Beliau bersabda, “Hendaknya kamu membahagiakan saudaramu yang mukmin, melunasi hutangnya, atau memberinya sepotong roti.” (HR. Ibnu Syahin).

 

Kedua, sebagian ulama yang lain, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Fatwa) menyatakan bahwa merayakan hari ulang tahun diharamkan. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Anas radhiyallahu anhu:

 

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: «مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ». قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ».

 

Dari Anas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang ke Madinah, dan orang Madinah memiliki dua hari raya di mana mereka bergembira. Lalu Rasulullah bertanya: “Apakah dua hari ini?” Mereka menjawab: “Kami biasa bermain (bergembira) pada dua hari ini sejak zaman Jahiliyah.” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantinya untukmu dengan dua hari raya yang lebih baik darinya, yaitu hari raya Adha dan hari raya Fitri (HR: Abu Daud).

 

Pada hadits di atas Nabi shallallahu alaihi wasallam hanya menyebutkan dua hari raya, yaitu hari raya Adha dan hari raya Fitri. Karenanya, umat Islam hanya diperbolehkan merayakan kedua hari raya itu semata, bukan yang lain. Dengan demikian, merayakan hari ulang tahun diharamkan, sebab tidak disebutkan dalam hadits di atas.

 

Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

 

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

 

“Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud).

 

Perayaan hari ulang tahun dinilai merupakan tradisi orang Yahudi dan Nashrani. Seseorang yang merayakan hari ulang tahun berarti telah meniru dan menyerupai kebiasaan mereka, dan termasuk bagian dari mereka. Maka, merayakan hari ulang tahun diharamkan dalam Islam.

 

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum merayakan hari ulang tahun. Sebagian ulama, seperti Syekh Ali Jum’ah, Syekh Salman Al-Audah, Syekh Amru Khalid, Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah), dan Lembaga Fatwa Palestina (Darul Ifta’ Al-Filasthiniyyah) menyatakan, perayaan hari ulang tahun diperbolehkan, selama tidak mengandung perbuatan yang diharamkan, karena merupakan salah satu cara mengingat nikmat kehidupan, dan moment untuk saling mendoakan.

 

Sedangkan, sebagian ulama yang lain seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi mengharamkannya, sebab menyerupai tradisi orang Yahudi dan Nasrani.

 

Semoga keragaman pendapat para ulama tentang hukum perayaan hari ulang tahun dapat kita sikapi dengan dewasa, dan dapat membuat kita semakin toleran dalam menyikapi setiap perbedaan. Wallahu A’lam. []

 

Ustadz Husnul Haq, Pengasuh Pesantren Mahasiswa Mamba’ul Ma’arif Tulungagung, dan Dosen IAIN Tulungagung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar