Agama dalam Bernegara
Oleh: Haedar Nashir
Apakah memosisikan agama dalam kehidupan bernegara sebagai cara pandang dogmatis, eksklusif, dan primordial? Jawabannya tegas, tidak!
Agama dalam kehidupan bernegara di Indonesia merupakan ajaran, nilai, dan kepemelukan yang dijamin konstitusi.
Pasal 29 UUD 1945 menyatakan (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Agama secara substansial terkait sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemerdekaan secara kerohanian dinyatakan pendiri negara “Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa”. Pasal 28E UUD 1945, menegaskan,“(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya..”
Karena itu, usaha menepikan, menyamarkan, mengaburkan, menegasikan, dan menjauhkan agama dan umat beragama dari masyarakat, bangsa, dan negara selain ahistoris sekaligus tak sejalan dengan konstitusi.
Agama dan pendidikan
Agama memiliki posisi fundamental yang konstitusional termasuk dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 31 UUD 1945 ayat (3) berbunyi “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”.
UU Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 meletakkan agama secara tegas. Pasal 1 ayat (1), “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Serta ayat (2),“Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakoar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”
Mencermati Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2021, terdapat visi yang tak mencantumkan frasa agama, selain iman dan takwa.
Visi PJPI 2035 dalam draf yang berkembang ialah, "Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila".
Pertanyaaanya, bila frasa “nilai-nilai budaya” masuk bahkan mendahului kata Pancasila, kenapa nilai-nilai agama yang terang tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 justru terlewatkan? Di bagian visi ini memang dimasukkan kata akhlak mulia tetapi tidaklah cukup mewakili.
Kami memberi masukan langsung kepada Mendikbud dan rombongan pada 17 September 2020 di Yogyakarta yang disambut positif untuk revisi.
Merujuk Pasal 31 UUD 1945 dan UU Sisdiknas 2003 revisi Visi Pendidikan Indonesia 2035 dapat berbunyi, "Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, unggul, sejahtera, dan terus berkembang dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila, dan budaya Indonesia".
Moderat-konstitusional
Pandangan soal pentingnya agama memperoleh tempat penting dalam bernegara, termasuk pendidikan, jangan dinilai sebagai pola pikir eksklusif dan primordial atau dogmatis.
Pandangan tersebut selain secara filosofis dan sosio-historis melekat dengan Pancasila dan kebudayaan bangsa, secara yuridis memiliki pijakan konstitusional yang kuat pada Pasal 29 dan Pasal 31 UUD 1945 serta UU Sisdiknas No 20 tahun 2003.
Keberadaan NKRI dengan Pancasila, UUD 1945, dan kebinekaan merupakan hasil kesepakatan nasional yang didukung umat beragama, lebih khusus umat Islam. Negara dan seluruh institusinya penting untuk saksama dalam setiap mengambil kebijakan terkait agama.
Hindari ketergesaan, reduksi, serta pandangan sekuler dan monolitik agar tidak terjadi kontroversi. Umat bergama penting untuk arif-bijaksana, cerdas, serta menjadi suri teladan menempatkan agama secara moderat dan konstitusional dalam kehidupan bernegara.
Masyarakat dan elite Indonesia juga harus moderat-konstitusional dalam bernegara serta tidak memandang agama dan umat beragama dengan kacamata sekuler, agnostik, dan fobia.
Perilaku ekstrem, teror, intoleransi, kekerasan, dan penyimpangan dapat dilakukan siapapaun di negeri ini. Bila terdapat masalah antarpihak lakukan dialog dan musyawarah untuk mencari titik temu, serta hindari politisasi yang menjauhkan masalah dari solusi.
Menjadi tugas bersama agar kehidupan beragama dan bernegara bergerak simultan menuju terwujudnya Indonesia sebagai negara-bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur, dan berperadaban utama di tengah dinamika persaingan dunia saat ini. []
REPUBLIKA, 12 Maret 2021
Prof. Haedar Nashir | Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar