Etika Politik dalam Al-Qur'an (18)
Mengenal Kelompok Ahluz Zimmah
Oleh: Nasaruddin Umar
Kata ahl al-Dzimmah tidak ditemukan secara eksplisit di dalam Al-Qur'an, tetapi kenyataan ini diakomodir di dalam spirit beberapa ayat dan hadis. Ahl Dzimmah (Baca: Ahluz Zimmah/AZ) dalam Fikih Siyasah diartikan sebagai kelompok masyarakat non-muslim yang hidup di negeri muslim. Mereka hidup dengan menyerahkan diri dan keluarganya kepada otoritas pemerintahan muslim dengan memberikan pajak (jizyah) jaminan keamanan. Konsekuensinya mereka diberi jaminan kehidupan yang aman dan berbagai kebebasan hidup sebagaimana sauda-saudara sebangsanya yang berbeda agama.
AhuzZimmah yang sudah menunaikan kewajibannya dijamin untuk diberi perlindungan dan rasa aman sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (Q.S. al-Mumtahinah/60: 7-8). Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. al-Taubah/9: 6).
Besarnya jizyah ditentukan tersendiri oleh Negara dengan mengacu kepada tingkat
kebutuhan setempat. Jizyah tidak berarti pungutan diskriminatif terhadap
non-muslim untuk diserahkan kepada umat Islam di dalam suatu negeri, tetapi
lebih merupakan perwujudan kesadaran bernegara dari seorang warga negara.
Pungutan jizyah bukan hanya untuk kepentingan umat Islam tetapi untuk
kepentingan negara dan segenap warga. Jizyah dikumpulkan ke dalam Baitul Mal
dan dikelola tersendiri secara profesional. Jizyah termasuk digunakan untuk
membangun fasilitas umum seperti jalan raya dan subsidi Negara terhadap warga
yang lemah dan tidak mampu tanpa membedakan agama dan latar belakang etniknya.
Bukan hanya kelompok Aluz Zimmah yang dipungut bayaran untuk negara. Warga
mayoritas muslim juga dipungut berbagai pungutan. Bahkan jumlah dan jenis
pungutannya bisa lebih banyak daripada non-muslim. Di antara pungutan wajibnya
ialah ialah Zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal dengan berbagai jenisnya.
Pungutan lainnya seperti shadaqah, infaq, jariyah, waqaf, 'usyur, khumus,
washiyat, waris, luqathah, mudharabah, musyarakah, fidyah, dam, diyat, hadiyah,
wadi'ah, haraj, hibah, nazar, qurban, 'aqiqah, wakalah, dll.
Di dalam masyarakat modern dan di dalam Negara modern, istilah Ahluz Zimmah ini
semakin kurang popular. Konteks lahirnya Ahluz Zimmah ketika negeri
Timur-Tengah masih selalu dibayangi perang antar suku dan qabilah. Resiko kalah
dan menang di dalam peperangan sangat berdampak kepada masyarakat sipil. Siapa
yang menang berhak menjarah kekayaan dan memperbudak masyarakat sipil. Berbeda
dengan masyarakat dan negara modern sekarang, kelompok sipil tidak boleh
menjadi korban perang. Masyarakat non-militer harus dilindungi. Jika ada pihak
yang mengorbankan masyarakat sipil terancam akan dihukum oleh PBB sebagai
penjahat perang.
Dalam era hak-hak sivil semakin menguat maka konsep Aluz Zimmah semakin tidak
popular. Bahkan konsep ini bisa menjadi titik masuk untuk penilaian pelanggaran
Hak Asasi manusia. Dalam Piagam Umum PBB, ada sejumlah indikasi sebuah Negara
melakukan pelanggaran HAM. Di antaranya ialah diskriminasi ras dan agama.
Setiap manusia berhak untuk menganut dan mengamalkan ajaran agama dan
kepercayaannya masing-masing, tanpa tekanan dari manapun datangnya. Jika hal
ini dilanggar maka sanksi internasional bisa dijatuhkan kepada Negara tersebut.
Indonesia sejak dahulu kelihatannya tidak pernah memopulerkan istilah ini.
Bahkan yang lebih popular ialah: Bhinneka Tunggal Ika (Bercerai-berai tetapi
tetap satu). []
DETIK, 09 Oktober 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar