Separatisme Musuh NKRI
Oleh: Guntur Soekarno Putra
Membaca harian Kompas edisi 23 Januari 2021 mengenai tewasnya dua anggota TNI Angkatan Darat di Papua (dulu di era Bung Karno bernama Irian Barat), yang ditembak anggota kelompok kriminal bersenjata, terus terang membuat saya sedih dan mengelus dada.
Akibat penembakan, Prajurit Satu Roy Vebrianto dan Prajurit Satu Dedi Hamdani menjadi korban. Mereka tewas setelah kontak senjata di daerah Titigi, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, Jumat (22/1/2021).
Sebenarnya apa yang terjadi di Papua sehingga TNI dan masyarakat selalu diganggu terus-menerus oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) dan membuat stabilitas politik dan keamanan serta kegiatan ekonomi di pulau yang berbentuk kepala burung cenderawasih itu terusik? Saat ini, posisi pemerintah dilematis atau seperti memakan ”buah simalakama”.
Jika dilakukan langkah tegas dan keras oleh TNI, pemerintah dituduh melanggar HAM. Sebaliknya, jika ditempuh tindakan lunak dan persuasif, gangguan keamanan akan terus-menerus terjadi. Seperti peristiwa gangguan keamanan yang sudah berkali-kali terjadi dan memakan korban jiwa TNI, Polri, ataupun rakyat Papua selama ini.
Kalau saja pemerintah mau belajar dari pengalaman dan sejarah masa lampau, khususnya di era Bung Karno, tentu pemerintah dapat mengambil sikap yang terbaik bagi masyarakat Papua, bahkan NKRI.
Apa yang terbaik itu? Sejatinya, KKB bukanlah kelompok kriminal, melainkan separatis yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Sebagaimana kita ketahui, NKRI pernah berkali-kali mengalami ”cobaan” dari berbagai kelompok atau kekuatan separatis lainnya di waktu-waktu lampau.
Namun, berkat sikap tegas dari pemerintah saat itu, khususnya sikap tegas Bung Karno, seluruh kekuatan separatisme dapat ditumpas. Mulai dari Republik Maluku Selatan (RMS), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Perjuangan Semesta (Permesta), Gerakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, dan lainnya.
Kilas balik gerakan separatis
Ketika peristiwa RMS yang dipimpin Johan Manusama meledak di Ambon sekitar 1950, pemerintah pusat atas perintah Bung Karno menugaskan Kolonel Kawilarang dan Letkol Ignatius Slamet Riyadi untuk menumpas gerakan separatis tersebut.
Kala itu, untuk pertama kalinya operasi penumpasan dilakukan dengan suatu operasi militer terpadu dari tiga matra TNI setelah J Leimena yang ditugaskan Bung Karno gagal berupaya menyelesaikan secara damai pemberontakan RMS.
Gugus tugas waktu itu menyertakan kapal-kapal perang RI, seperti jenis landing ship tank (LST) dan Korvet RI Hang Tuah. Korvet RI Hang Tuah bahkan menghujani pantai Ambon dengan tembakan-tembakan meriam utamanya dengan tujuan agar pasukan yang mendarat dapat membuat beach head di pantai. Operasi Amfibi akhirnya berlangsung sukses dan berhasil membebaskan Ambon dari kekuasaan RMS.
Presiden RMS Manusama dengan beberapa pengikutnya berhasil melarikan diri ke negeri Belanda dan mendirikan pemerintahan pelarian di sana. Pemerintahan ini ternyata mendapat pengakuan dan dukungan dari pemerintah Kerajaan Belanda.
Perjuangan RMS di dalam negeri (Ambon) dilanjutkan oleh Chris Soumokil dengan bergerilya. Namun, Soumokil kemudian dapat ditembak mati oleh pasukan TNI.
Keberhasilan TNI harus dibayar mahal dengan gugurnya Ignatius Slamet Riyadi yang saat itu tengah memeriksa kesiapan pasukan dengan mengendarai sebuah Bren Carrier. Nama pahlawan Slamet Riyadi kini diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta.
Saat pecah separatisme PRRI yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein dengan dukungan Amerika Serikat, sejumlah politisi dari Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) di Padang, Sumatera Barat, pada 1958, Bung Karno juga bersikap tegas. Tanpa kompromi, Bung Karno mengerahkan TNI untuk langsung menumpasnya.
Kolonel Ahmad Yani ditugaskan memimpin melawan pemberontakan di Padang. Adapun Kolonel Kaharudin Nasution diinstruksikan untuk mengamankan Kota Medan dan Sumatera Utara agar tak dimasuki kaum pemberontak. Demikian pula pengamanan di Pangkalan Brandan yang merupakan pusat instalasi minyak Amerika Serikat (Stanvac).
Seraya memberantas pemberontakan PRRI, terhadap politisi Masyumi dan PSI yang mendukung pemberontakan itu, Bung Karno meminta pimpinan Masyumi dan PSI agar memecat keanggotaannya.
Namun, karena politisi-politisi itu tak kunjung dipecat, Bung Karno langsung membubarkan kedua partai politik tersebut. Ahmad Yani cs akhirnya berhasil sukses menjalankan tugasnya menumpas separatisme PRRI.
Tahun yang sama, Letnan Kolonel Ventje Sumual dengan para pendukungnya di Manado, Sulawesi, juga memproklamasikan Permesta. Namun, tak lama dapat segera ditumpas kembali oleh pasukan TNI. Letnan Kolonel Ventje Sumual dan pendukungnya ditangkap dan ditahan sampai akhirnya dibebaskan di zaman Orde Baru.
Satu lagi contoh gerakan separatis yang dapat ditumpas karena sikap tegas pemerintah adalah pemberontakan Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan. Saat itu Bung Karno secara tegas langsung memerintahkan Ahmad Yani yang kala itu menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) untuk segera menumpas gerakan separatis itu.
Ahmad Yani, seorang pati TNI AD dan kesayangan Bung Karno, berhasil dengan sukses melaksanakan perintah tegas Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Ketua KOTI). Kahar Muzakar beberapa bulan kemudian ditembak mati pasukan Ahmad Yani.
Gerakan separatis di Papua
Masalah KKB, atau dikenal sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM), sejak Indonesia memperjuangkan pembebasan Irian Barat tahun 1950-an sebenarnya sudah ada. Cikal bakal OPM waktu itu diinisiasi oleh Belanda untuk melanggengkan penjajahan atas Irian Barat.
Nama Irian Barat berubah menjadi Papua karena kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada 31 Desember 1999 berkunjung ke Papua.
Gus Dur, sebagaimana diberitakan media massa, antara lain menerima tuntutan kaum separatis yang berargumentasi ingin mengubah nama Irian menjadi Papua. Alasannya, nama Irian kepanjangan dari ”Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”. Tentu ini sebuah argumentasi yang sangat aneh dan lemah dari sisi sebuah kebijakan negara.
Seperti diketahui, nama Irian adalah nama yang diusulkan oleh seorang pejuang pembebasan Irian Barat, Frans Kaisiepo, kepada Bung Karno.
Menurut Frans waktu itu, Irian berasal dari bahasa salah satu suku di Papua yang berarti ’Sinar yang menghalau kabut’, sedangkan arti Papua adalah ’daerah hitam tempat perbudakan’.
Ironisnya, Gus Dur waktu itu justru menyetujui hasil Kongres Rakyat Papua awal Juni 2000 yang hendak mengambil keputusan menuntut pemisahan diri dari NKRI meskipun saat Sidang Tahunan MPR 2000 secara tegas oleh Presiden Gus Dur diutarakan bahwa pemisahan diri dari NKRI akan ditindak tegas.
Tindakan tegas yang akan diambil sesuai semangat Pidato Kenegaraan Bung Karno 17 Agustus 1950 yang menyatakan soal Irian Barat adalah soal penjajahan atau tidak penjajahan, soal penjajahan atau kemerdekaan. Waktu itu, Bung Karno menyatakan, ”Kita menghendaki seluruh Tanah Air kita merdeka, seluruh tumpah darah kita, dari Sabang sampai Merauke zonder kecuali.”
Otsus dan kesejahteraan
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa gerakan separatis di NKRI haruslah ditumpas secara tegas bila perlu dengan kekuatan bersenjata (militer), dan tak hanya dengan jalan diplomatis persuasif atau dialog. Apalagi kalau jalan damai tak berhasil dilakukan.
Lalu, bagaimana dengan masalah HAM di Irian Barat? Hal ini sebenarnya sudah terjawab dari penjelasan Menteri Luar Negeri Indonesia Dr Subandrio kepada delegasi Belanda yang dipimpin oleh Van Royen saat perundingan 25 Juli 1962.
Terkait pelaksanaan hak asasi rakyat (HAM) Irian Barat, hal itu dapat dipelajari sebagaimana tercantum dalam rancangan diplomat AS, Ellsworth Bunker, yang menjadi penengah dalam perundingan RI-Belanda menyelesaikan Irian Barat dan dikenal dengan ”Bunker Plan”.
Dalam naskah Bunker Plan, di antaranya hak-hak rakyat Irian Barat sejak awal diakui oleh Pemerintah Indonesia untuk menentukan pendapatnya sendiri untuk memilih tetap menjadi bagian dari Indonesia atau Belanda.
Dan, rakyat Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) akhirnya memilih menjadi bagian dari NKRI. Artinya, sejak awal, hak-hak rakyat Irian Barat sudah dihormati oleh pemerintah.
Karena itu, jika pemerintah waktu itu dianggap melanggar HAM rakyat Papua dan Papua Barat, bagi saya tentu hal itu adalah sebuah penghinaan terhadap Indonesia dan harus ditolak!
Pemerintah sejak 2001 hingga kini sudah memberikan otonomi khusus (otsus) bagi rakyat Papua dan Papua Barat dengan dana yang sangat besar dari APBN untuk perbaikan dan peningkatan kesejahteraan, kesehatan, serta pendidikan rakyat Papua yang dikelolanya sendiri oleh pemerintah daerah.
Bahwa ada ekses-ekses dugaan korupsi dalam pelaksanaan otsus di Papua dan Papua Barat, dan dugaan pelanggaran HAM dari aparat keamanan dalam upaya penegakan hukum, menjaga keamanan dan ketertiban, tentu hal itu harus tetap ditindak tegas dan dihukum serta diperbaiki oleh pemerintah pusat dan daerah, TNI, dan rakyat Papua sendiri.
Namun, apa pun namanya, berbagai upaya dan bentuk rongrongan, gangguan keamanan dalam cakupan besar atau kecil untuk memisahkan diri dari NKRI oleh kelompok apa pun di Papua dan Papua Barat, pemerintah harus berani bertindak tegas dan tanpa kompromi. TNI sebagai pengawal NKRI pun harus tetap terus berada di garda depan di Papua dan Papua Barat. []
KOMPAS, 26 Februari 2021
Guntur Soekarno Putra | Pemerhati Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar