Pertanyaan ini sering disampaikan oleh para santri mengingat semua bentuk praktik muamalah hukumnya adalah boleh selama tidak dijumpai nash syariat yang melarang. Istilah mu’tabar secara syariat sering disematkan untuk mengorek keterangan, bahwa apakah model akad ini juga sudah disampaikan oleh kalangan ulama terdahulu?
Jika dilihat dari istilah syirkah mudharabah, maka dalam kitab turats manapun,
istilah ini memang tidak dijumpai secara langsung dalam banyak teks syariat.
Para ulama kalangan madzahibul arba’ah umumnya hanya mengenal empat istilah
syirkah, yaitu syirkah ‘inan, syirkah wujuh/syirkah jah, syirkah abdan dan
syirkah mufawadhah. Nah, ketika dihadapkan pada istilah syirkah mudharabah,
sudah barang tentu kalau akad ini dianggap sebagai sesuatu yang asing.
Bagaimana tidak? Kedua istilah ini nyatanya dipergunakan dalam konteks terpisah
dalam banyak turats. Masing-masing sering disebutkan sebagai akad syirkah
(kemitraan) dan akad mudharabah (bagi hasil perniagaan).
Lantas bagaimana kedua hal itu bisa disatukan dalam satu istilah bernama
syirkah mudharabah? Mengapa tidak menggunakan istilah yang sudah masyhur saja,
semisal syirkah ‘inan, syirkah wujuh, syirkah abdan, atau syirkah mufawadhah?
Penting untuk diketahui bahwa syirkah ‘inan merupakan akad kerja sama (kongsi)
dengan masing-masing anggota perkongsian mengeluarkan sebuah modal yang sama
jenis dan macamnya untuk dikelola secara bersama-sama di bawah satu payung
manajemen (mudharib).
Syirkah wujuh adalah akad perkongsian dengan modal berasal dari salah satu pihak yang saling berakad. Pihak yang dijadikan mitra hanya bersifat menjalankan harta yang diserahkan oleh pemodal. Pemodal bukan tidak tahu cara mengelola harta tersebut, melainkan ia memandang pentingnya menjalin kerja sama itu sebagai upaya menyederhanakan praktik bisnis. Contoh, sales pabrik yang menitipkan barang kepada toko.
Syirkah abdan merupakan akad kerja sama antara orang-orang yang memiliki
profesi dan keahlian yang sama untuk saling bekerja sama dalam satu payung
manajemen. Sedangkan syirkah mufawadhah adalah kerja sama antara pihak yang
berbeda profesi, tetapi mereka sepakat untuk menjalin kerja sama di bawah satu
bendera manajemen.
Dari keempat syirkah ini, syirkah yang paling mirip dengan definisi syirkah
mudharabah, adalah syirkah wujuh. Bedanya, pemodal syirkah mudharabah adalah
pihak yang tidak mengerti cara mengelola hartanya. Sementara itu, ada orang
yang memiliki bisnis, namun kekurangan modal.
Upaya menjalin kerja sama antara pemodal yang tidak tahu cara mengelola
hartanya dan pelaku bisnis yang kekurangan modal, atau pelaku bisnis yang cakap
berinisiatif mendirikan sebuah usaha tetapi tidak memiliki modal, inilah yang
dimaksud dengan istilah syirkah mudharabah.
Jadi, jika menilik perbedaan tersebut, maka memang pola dari syirkah mudharabah
ini seolah menyerupai akad baru. Padahal sejatinya tidak. Untuk itu pula, maka
dalil yang dipergunakan untuk menyatakan kemu’tabaran dari akad ini, sudah
pasti mengikut kemu’tabaran akad syirkah wujuh. Madzhab Syafii secara tegas
hanya mengakui satu syirkah yang dibolehkan, yaitu syirkah ‘inan. Untuk itu,
syirkah mudharabah sudah pasti tidak masuk dalam bagian tinjauan fiqihnya.
Terkait dengan kemu’tabaran syirkah wujuh, di dalam Kitab Al-Mabshuth, terbitan
Dar al-Fikr, Beirut, Libanon, juz XI, halaman 283, direkam sebuah pernyataan
dari Syekh Syamsuddin As-Sarkhasy sebagai berikut:
فأما شركة التقبل فهي صحيحة عندنا ولا تصح عند الشافعي رحمه الله بناء على أصله أن شركة الملك أصل ولا يوجد ذلك في هذه الشركة فإن الخلط في العمل لا يتحقق ولكنا نقول جواز الشركة باعتبار الوكالة وتوكيل كل واحد منهما صاحبه بتقبل العمل صحيح فكذلك الشركة والناس تعاملوا بهذه الشركة وشركة الوجوه من لدن رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى يومنا هذا من غير نكير
Artinya, “Akad kemitraan taqabbul adalah akad yang shahih menurut kita, namun
tidak dengan menurut Imam Syafii rahimahullah dengan alasan unsur yang terlibat
dalam akad. Menurutnya, hukum asal akad kemitraan adalah kemitraan dalam
kepemilikan (syirkatul milk). Kemitraan dalam milik ini tidak ditemukan dalam
akad syirkah wujuh ini karena sesungguhnya percampuran dalam amal (kerja)
adalah tidak mungkin. Sementara itu, kami membolehkan syirkah ini dengan alasan
akad wakalah. Setiap orang bisa melakukan akad perwakilan (tawkil) kepada orang
lain, dan di dalam perwakilan terjadi perpindahan amal yang sifatnya shahih.
Demikianlah pola yang terjadi pada akad syirkah wujuh, yang mana hal itu banyak
dilakukan oleh masyarakat sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
hingga detik ini, tanpa pengingkaran,” (As-Sarakhsi, Al-Mabsuth, juz XI,
halaman 283).
Jadi, esensi kemu’tabaran syirkah wujuh yang merupakan dasar dari syirkah
mudharabah adalah didorong oleh mu’tabarnya akad wakalah. Al-Ghazali (w. 405 H)
sendiri juga pernah mengemukakan pernyataan bahwa esensi dari syirkah adalah
akad wakalah. Pernyataannya disampaikan dengan redaksi sebagai berikut:
الشركة
معاملة صحيحة وليس عقدا برأسها وإنما هو وكالة على التحقيق ، وإذن كل واحد من
الشريكين صاحبه في التصرف في المال المشترك
Artinya, “Syirkah merupakan praktik muamalah yang benar secara syara’. Ia bukan sekadar sebuah akad permodalan. Bahkan, ia sesungguhnya adalah akad wakalah dalam hakikatnya. Dengan pemahaman ini, maka setiap orang dari dua pihak yang menjalin akad kemitraan adalah seorang mitra bagi yang lainnya dalam melakukan pengelolaan terhadap harta yang modal yang telah dikumpulkan bersama-sama.”
Alhasil, akad syirkah mudharabah yang memiliki dasar konsep berupa syirkah
wujuh ini adalah merupakan akad yang mu’tabar di kalangan ulama’ madzhab. Hanya
saja, titik tekan yang dijadikan acuan mengalami perbedaan. Jika dalam madzhab
Syafii, sebagaimana diwakili oleh al-Ghazali, sisi kemu’tabaran itu ada pada
akad wakalah. Akad wakalah ini merupakan landasan lain dari syirkah mudharabah,
sebagaimana disampaikan sebelumnya oleh Syekh Syamsudin As-Sarakhsy. Wallahu a’lam bis shawab. []
Muhammad
Syamsudin,
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar