Jumat, 26 Maret 2021

Azyumardi: Membangun Keadaban Politik

Membangun Keadaban Politik

Oleh: Azyumardi Azra

 

”So let begin anew…remembering on all sides that [political] civility is not a sign of weakness…Let us never negotiate out of fear, but let us never fear to negotiate. Let us explore what [things] unite us…instead of those problems divide us.”

 

(John F Kennedy, ”Inaugural Address”, 20/1/1961)

 

Dua puluh tiga tahun setelah dilanda gelombang demokrasi pada 1998, demokrasi Indonesia belum juga terkonsolidasi. Fenomena pahit ini disebut Indonesianis, ilmuwan politik, pengamat, dan aktivis terkait dengan kemerosotan demokrasi.

 

Kemunduran demokrasi Indonesia mereka sebut, antara lain, disebabkan kian berkurangnya kebebasan beraspirasi, berbarengan dengan kebangkitan oligarki despotik dan transaksional. Selain itu, terjadi kemerosotan tata kelola pemerintahan yang baik dengan korupsi yang terus mewabah di tengah pandemi Covid-19.

 

Indikator lain penyebab kemunduran demokrasi adalah kehidupan partai politik yang tidak sehat. Meski reformasi politik merambah banyak aspek politik, parpol bukan kian sehat, melainkan dalam segi tertentu kian memburuk.

 

Kemunduran demokrasi juga banyak terkait dengan tidak terkonsolidasinya modal budaya dasar yang penting untuk membuat masyarakat dan negara-bangsa bertahan dan mencapai kemajuan. Kelemahan modal budaya dasar menyebabkan disrupsi proses politik dan pemerintahan; mengganggu kehidupan sosial, budaya, dan agama dalam banyak lapisan masyarakat.

 

Modal budaya dasar itu adalah keadaban publik, yakni norma, standar atau ukuran sosial, budaya, dan agama tentang perilaku individu dan komunitas. Keadaban publik menjadi pemandu cara warga berpikir dan bertindak.

 

Norma dan standar nilai berperilaku dan bertindak dirumuskan dalam regulasi yang mengikat seluruh warga. Dengan begitu, keadaban publik dapat ditegakkan secara hukum. Norma dan standar yang tidak menjadi regulasi diadopsi sebagai social-cultural decorum—tingkah laku sepatutnya yang bisa diterima semua warga.

 

Bagian penting keadaban publik adalah keadaban politik, yaitu cara berperilaku dan bertindak sesuai norma politik seperti digariskan sistem politik, regulasi politik, konvensi politik, dan political correctness. Keadaban politik juga adalah kepantasan, kepatutan, dan kelaziman sosial, budaya, dan agama terkait perilaku dan tindakan politik individu, atau kelompok, dan partai politik.

 

Terkait itu, keadaban politik Indonesia masih terus merosot. Fenomena ini, misalnya, terlihat dalam kegaduhan Partai Demokrat. Tidak puas dengan kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), beberapa (mantan) elite Demokrat melakukan manuver politik yang mereka sebut ”kongres luar biasa” di Deli Serdang, Sumatera Utara, 5 Maret 2021. Dalam waktu singkat, peserta ”KLB” memutuskan mengangkat Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko sebagai ketua umum [tandingan] Partai Demokrat.

 

Bagi banyak kalangan, adalah absurd pejabat tinggi mau menerima jabatan ketua umum Demokrat lewat pengambilalihan—atau dalam terminologi ilmu politik disebut ”hijacking”, pembajakan. Seharusnya, pejabat tinggi dan elite politik memberikan contoh baik keadaban politik.

 

Juga absurd jika atasan langsung pejabat tinggi itu, yaitu Presiden Joko Widodo, tidak mengetahui dan mencegah Moeldoko ikut dalam aksi yang disebut kubu AHY sebagai inkonstitusional dan ilegal. Presiden seharusnya tidak membiarkan terjadinya kegaduhan politik yang melibatkan pejabat di lingkaran dalamnya.

 

Presiden Jokowi patut menekankan agar Demokrat menyelesaikan masalah internal secara berkeadaban. Dia juga perlu menegaskan tak boleh ada pejabat pemerintah terlibat. Namun, Presiden tak bicara terbuka soal Demokrat dan Moeldoko; hanya saja, menurut Menko Polhukam Mahfud MD, ”Presiden Jokowi kaget, tetapi happy-happy saja” saat mengetahui kasus ini (Kompas.com, 11/3/2021).

 

Apa yang terjadi di seputar kasus Demokrat terkait dengan ketiadaan keadaban politik. Karena itu, keadaban publik dan keadaban politik harus ditanam guna menumbuhkan budaya kewargaan dalam hubungan antarwarga di ranah publik; sikap dan perilaku politik berkeadaban vis-à-vis kekuasaan dalam sistem demokrasi.

 

Demokrasi bisa tumbuh baik dan terkonsolidasi jika terdapat keadaban publik dan budaya kewargaan yang kuat. Demokrasi bisa vibran dan dinamis dengan dukungan dan keterlibatan masyarakat sipil sebagai kekuatan kontrol serta pengimbang rezim dan elite politik yang cenderung oligarkis dengan mengabaikan keadaban politik.

 

Bagaimana membangun keadaban politik agar demokrasi dapat terkonsolidasi lebih baik? Jelas hanya dengan keadaban politik yang kuat dapat terwujud keadaban publik untuk memajukan kehidupan negara-bangsa.

 

Untuk kepentingan mendesak hari ini, pejabat publik dan elite politik seharusnya menerapkan keadaban politik yang digariskan berbagai regulasi, norma, dan standar hubungan antarwarga. Pejabat publik dan elite politik sepatutnya menghindarkan diri dari praktik politik tidak berkeadaban atau politik barbarik.

 

Untuk itu, para pejabat publik dan elite politik perlu mendapat sosialisasi penerapan keadaban politik. Pejabat publik terpilih melalui pemilu nasional atau lokal (pilkada) tidak bisa dianggap mengetahui baik berbagai aspek keadaban publik. Banyak di antara mereka tidak memiliki rekam jejak kepemimpinan publik memadai karena berasal dari lingkaran oligarki dinastik atau sektor usaha yang bukan tidak sering menerabas norma keadaban politik.

 

Keadaban publik—sekaligus keadaban politik—juga patut disosialisasikan lewat semua lembaga pendidikan. Sosialisasi dilakukan tidak dengan pemberian ilmu pengetahuan belaka; tetapi lebih penting lagi dengan mempraktikkan keadaban publik sepanjang proses pendidikan dan pembelajaran yang mesti kian demokratis.

 

Keluarga merupakan lokus pertama dan utama pembentukan keadaban publik setiap anggota rumah tangga. Oleh karena itu, perlu pemberdayaan keluarga sebagai lokus pendidikan kewargaan dan keadaban. []

 

KOMPAS, 18 Maret 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar