Ulama bersepakat bahwa hutang puasa orang yang telah meninggal harus diqadha atau dibayar. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal tata cara pembayaran atau qadha hutang puasa orang yang telah meninggal dunia.
Sebagian ulama mengatakan bahwa hutang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras.
ولو
كان عليه قضاء شئ من رمضان فلم يصم حتي مات نظرت فان أخره لعذر اتصل بالموت لم يجب
عليه شئ لانه فرض لم يتمكن من فعله إلي الموت فسقط حكمه كالحج وإن زال العذر وتمكن
فلم يصمه حتى مات أطعم عنه لكل مسكين مد من طعام عن كل يوم
Artinya, “Seandainya seseorang memiliki hutang puasa dan ia belum sempat
membayarnya sampai wafat, maka kau harus menimbang terlebih dahulu. Jika ia
menundanya karena uzur yang terus menerus hingga wafat, maka ia tidak
berkewajiban apapun karena puasa itu kewajiban yang tidak mungkin dikerjakannya
hingga wafat sehingga status kewajibannya gugur seperti ibadah haji. Tetapi
jika uzurnya hilang dan ia memiliki kesempatan untuk membayar hutang puasanya,
lalu ia tidak berpuasa, maka hutang puasanya dibayar dengan satu mud makanan
pokok untuk setiap harinya,” (Abu Ishaq As-Syairazi, Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu'
Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah At-Taufiqiyah: 2010 M], juz
VI, halaman 337)
Adapun ulama lain berpendapat bahwa hutang puasa orang yang telah meninggal
dunia dapat dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh wali atau ahli waris
almarhum. Hutang puasa itu dibayar dengan pelaksanaan puasa oleh keluarganya
yang masih hidup.
Mereka berpendapat bahwa hutang puasa seseorang yang telah meninggal dapat dibayarkan dengan puasa oleh ahli warisnya atau orang yang dikuasakan oleh ahli warisnya yang masih hidup. Pendapat ini didasarkan pada hadits riwayat Aisyah RA, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Siapa saja yang wafat dan ia memiliki hutang puasa, maka walinya memuasakannya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Sebagian ulama yang menyatakan kebolehan penggantian puasa oleh walinya yang
masih hidup menyamakan ibadah puasa Ramadhan dan ibadah haji. Puasa atau haji
adalah ibadah yang wajib dibayarkan kafarah ketika pelaksanaannya tercederai
sehingga boleh diqadhakan sepeninggal yang bersangkutan wafat.
Imam An-Nawawi mengatakan bahwa pendapat yang dipilih oleh mazhab Syafi’i
adalah pendapat pertama, yaitu pembayaran fidyah sebanyak satu mud makanan
pokok untuk mengatasi hutang puasa orang yang telah meninggal dunia.
والمنصوص
في الام هو الاول وهو الصحيح والدليل عليه ماروى ابن عمر أن النبي صلي الله عليه
وسلم قال " من مات وعليه صيام فليطعم عنه مكان كل يوم مسكين " ولانه
عبادة لا تدخلها النيابة في حال الحياة فلا تدخلها النيابة بعد الموت كالصلاة
Artinya, “Pendapat manshus dalam kitab Al-Umm adalah pendapat pertama. Ini pendapat
yang sahih. Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA,
Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai hutang puasa,
hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari hutang puasanya.’ Puasa
adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak
digantikan setelah matinya seperti ibadah shalat,” (Abu Ishaq As-Syairazi,
Al-Muhadzdzab pada Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab, [Kairo, Al-Maktabah
At-Taufiqiyah: 2010 M], juz VI, halaman 337).
Pada prinsipnya, kedua pendapat ini dilaksanakan karena masing-masing didukung
oleh dalil yang kuat. Tetapi mazhab Syafi’i memilih pendapat yang paling kuat
dari keduanya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar