Kamis, 04 Maret 2021

(Ngaji of the Day) Kitab Musnad dan Kritik Sanad dalam Kajian Hadits

Setelah Nabi Muhammad wafat, ajaran beliau ditulis dan dikumpulkan oleh generasi selanjutnya dalam shahifah para sahabat dan tabi’in. Pencatatan hadits Nabi telah dimulai sejak masa para sahabat.

 

Pada generasi tabi’in maupun tabi’it tabi’in mulai juga disusun jenis kitab mushannaf berdasarkan topik-topik tertentu. Himpunan-himpunan hadits tersebut kerap menyertakan catatan dari para penulisnya sesuai dengan kebutuhan topik atau situasi saat ditulis.

 

Karena masa yang tidak terlampau jauh dengan hidup Nabi, jenis kitab hadits shahifah atau mushannaf biasa tidak mencantumkan sanad secara lengkap, dan jumlah hadits yang dimuat juga terbatas sesuai domisili para penyusunnya. Hal ini menjadikan hadits yang disusun tidak banyak, serta sanadnya ditulis tidak lengkap.

 

Ajaran Islam menyebar ke berbagai negeri, kebutuhan masyarakat kian beragam, membuat para ulama yang mulanya menyusun kitab atau himpunan hadits dalam skup lokal, perlu menelusuri hadits-hadits yang lebih banyak sebagai dasar berislam.

 

Hadits-hadits dalam kitab generasi awal yang ditulis tanpa sanad atau tidak terlalu lengkap sanadnya–misalnya, melompat dari perawi tingkat tabi’it tabi’in langsung ke sahabat, menjadi masalah. Pasalnya, tidak semua pelajar hadits mengenal sanad secara lengkap. Hal ini menjadi perhatian serius utamanya kalangan ahlul hadits.

 

Akibat dorongan memperkuat sistem sanad dalam hukum Islam ini, mendesak dibutuhkan kitab hadits yang menyertakan sanad lengkap. Dari latar belakang demikian kitab musnad lahir guna meneguhkan posisi hadits berikut sanadnya sebagai sumber hukum Islam. Melalui pencantuman sanad, ajaran Islam bisa dilacak otentisitasnya hingga Nabi Muhammad SAW.

 

Kitab hadits musnad adalah kitab hadits yang menghimpun hadits beserta sanadnya dari tingkat sahabat. Selain menjauhkan peluang pemalsuan hadits,

 

pencantuman sanad juga digunakan untuk melacak periwayatan hadits. Salah satu pendorong usaha penulisan kitab hadits disertai sanad yang lengkap adalah Imam As-Syafi’i, imam mazhab yang nantinya disebut sebagai nashirus sunnah (penyelamat sunnah) berkat kontribusi beliau atas perkembangan ilmu hadits.

 

Salah satu kitab musnad paling awal adalah musnad yang dihimpun Imam Abu Dawud At-Thayalisi (wafat 204 H), yang semasa dengan Imam As-Syafi’i.

 

Banyak sekali kitab-kitab musnad yang disusun oleh para ulama. Beberapa bisa kita sebut seperti Kitab Musnad Al-Humaidi, Musnad Al-Bazzar, atau dari kalangan murid Imam Abu Hanifah, ada Musnad Abu Ya’la Al-Mawshili, dan masih banyak lainnya.

 

Di kalangan masyarakat muslim, kitab musnad yang paling populer adalah Kitab Musnad Ahmad bin Hanbal, yang disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal, salah seorang imam mazhab yang juga merupakan salah satu murid Imam As-Syafii.

 

Ada beberapa variasi penyusunan musnad. Namun yang paling menonjol dari musnad adalah pencatatan riwayat hadits dengan menggunakan bab berdasarkan sanad dari salah satu sahabat. Demikian berlanjut dalam setiap bab. Dalam musnad, pengulangan hadits dari sanad lain kerap terjadi. Menurut ulama ahlul hadits, banyaknya hadits dari sanad lain akan saling menguatkan kualitasnya. Pembahasan soal itu dapat diperdalam dalam kajian syawahid dan mutaba’at dalam hadits.

 

Beberapa kritik yang muncul terhadap musnad adalah ada hadits-hadits yang dianggap memiliki kekurangan yang umumnya berupa cacat (‘illat) baik dalam sanad maupun matan yang sama, diriwayatkan oleh perawi yang berbeda. Polemik semacam ini nanti ditelusuri dalam bahasan ikhtilaful hadits atau hadits-hadits yang bertentangan.

 

Namun dengan meninjau latar belakang sejarah kemunculan jenis kitab musnad di atas, pencantuman hadits dengan sanad salah satunya untuk mengurangi arus pemalsuan hadits serta menguatkan kualitas hadits yang dihimpun, meskipun nanti akan disempurnakan oleh jenis kitab shahih atau sunan.

 

Berkat model kitab musnad inilah, model periwayatan hadits dengan sanadnya menjadi sebuah tren dan model periwayatan hadits untuk memastikan sebuah hadits benar dari Nabi atau tidak. Wallahu a’lam. []

 

Ustadz Muhammad Iqbal Syauqi, pegiat kajian hadits dan alumnus Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar