Ada Apa di Negeri Kincir Angin?
Oleh: Guntur Soekarno
BELUM lama berselang, kita dikagetkan oleh berita Kabinet Belanda bubar. Perdana Menteri dan seluruh menteri kabinetnya beramai-ramai mengundurkan diri pada 15 Januari 2021 setelah berkuasa lebih dari 10 tahun. Apa sebenarnya yang terjadi di negara tersebut?
Ketidakadilan
Dari berbagai sumber, saya mendapatkan kabar, bahwa bubarnya kabinet Belanda yang dipimpin Perdana Menteri Mark Rutte disebabkan masalah tunjangan untuk anak-anak penduduk warga negara Belanda. Seperti kita ketahui telah bertahun-tahun pemerintah Belanda selalu memberikan tunjangan bagi anak-anak warga negara Belanda ribuan euro. Termasuk, anak-anak dari para imigran asing yang berjumlah lebih dari 26 ribu keluarga.
Para imigran yang telah menerima tunjangan bertahun-tahun tadi dicurigai pemerintah Belanda sudah berbuat curang, antara lain memanipulasi jumlah anak. Sebagian terbesar para imigran, walaupun sudah menjadi warga negara resmi dari Belanda, anak dan istri mereka masih berada di luar negeri di negara asal mereka.
Melihat adanya ketidakjujuran dari para imigran, pemerintah memutuskan menghentikan tunjangan tersebut. Termasuk, kepada warga negara Belanda, dan bahkan menjatuhkan sanksi agar mereka membayar seluruh jumlah uang yang sudah pernah mereka nikmati selama bertahun-tahun.
Jumlah ini sudah barang tentu tidak kecil dan sangat membebani warga negara dan para imigran sehingga mereka memprotes keras dan menuntut agar pemerintah mengundurkan diri. Apalagi, setelah sebuah komisi yang dibentuk parlemen untuk meneliti kebenaran hal tersebut berkesimpulan bahwa mereka sudah mengalami ketidakadilan yang tidak dikehendaki.
Alhasil suara-suara untuk meminta pemerintah mundur bertambah menjadi-jadi. Hal ini membuat pemerintah benar-benar berada dalam situasi terpojok. Apalagi, pada Maret harus menghadapi pemilu. Seperti diketahui partai-partai koalisi pemerintah, yang terdiri dari Partij voor de Vrijheid (VVD), Partij van de Arbeid (PvdA), Demokrat 66 (D66), dan Union Cristen (CU), melalui pemimpin D66 Sigrid Kaag memberikan isyarat bahwa ‘penting bagi pemerintah untuk bertanggung jawab secara politik sesuai isi laporan mengenai ketidakadilan yang dilakukan terhadap warga negara’.
Untuk diketahui, salah satu anggota partai koalisi, yakni PvdA, yang dapat dikategorikan sebagai partai berhaluan ‘kiri’ dan mempunyai sejarah panjang mengenai perkembangannya. Bermula partai tersebut berasal dari partai SDAP (Sociaal-Democratische Arbeiders Partij) yang saat itu sepak terjangnya sangat revolusioner. Terutama, dalam membela hak-hak kaum buruh.
Pemimpin perempuannya saat itu sangat terkenal, seperti Henriette Roland Holst. Namun, dalam perkembangannya SDAP yang kemudian menjadi besar karena massa anggotanya bertambah secara signifikan, mulailah ia terkena penyakit ‘kebesaran’ sehingga ndelewer atau menyimpang dari tujuan-tujuan perjuangan semula.
Sifat revolusionernya berganti rupa menjadi pragmatisme dan reformisme. Apalagi ketika partai tersebut berganti nama menjadi PvdA dan dipimpin Willem Drees, Willem Schermerhorn, politiknya menjadi sangat ortodoks dan reaksioner sekali, bahkan mendukung penjajahan Belanda terhadap Indonesia. (Soekarno; dalam Sarinah).
Walaupun demikian, saat ini PvdA masih dianggap partai yang katakanlah ‘revolusioner’ beraliran ‘kiri’ dan mendukung pemerintahan Mark Rutte. Termasuk, sikapnya yang mendukung pengunduran diri Perdana menteri dan para menteri-menteri lainnya.
Untuk Rutte, memang tidak ada jalan lain baginya selain mengundurkan diri secara massal, agar tidak kehilangan reputasinya di kelak kemudian hari. Oleh sebab itu, begitu kabinetnya bubar, ia langsung menghadap Raja Willem-Alexander untuk memberi tahu keputusannya.
Sikap Raja
Seperti diketahui, saat ini kekuasaan Raja Belanda, putra dari Ratu Beatrix sudah sangat terbatas. Raja Belanda saat ini lebih sebagai simbol kerajaan belaka. Walaupun demikian, masih mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu.
Menghadapi krisis kabinet ini, ia mengambil keputusan untuk menunjuk seorang informatur dan bukan formatur, yang tugasnya hanya semata menyusun katakanlah ‘pemerintahan demisioner’ tanpa kekuasaan, yang hanya bertugas menyelesaikan konflik dengan para warga negara. Termasuk, imigran dan menangani masalah pandemi covid-19.
Menteri-menteri yang menduduki jabatan penting, seperti Menteri Bidang Ekonomi dan cuaca, Eric Wickes termasuk juga yang mengundurkan diri paling cepat. Kemudian, Menteri Sosial Lodewijk Asscher penanggung jawab soal tunjangan kepada anak warga negara, juga mundur dengan segera. Bahkan, secara tidak terduga sebagai pimpinan PvdA ia juga mengundurkan diri karena hanya 60% dari anggota PvdA yang masih mendukungnya. Asscher merasa walau masih mendapatkan dukungan mayoritas, dia perlu mengundurkan diri karena merasa bertanggung jawab.
Menurut perhitungan para pengamat dalam dan luar negeri, perdebatan di parlemen yang akan datang, pihak oposisi akan berusaha keras dan sangat berpeluang untuk menjatuhkan kabinet secara resmi serta berusaha agar pada kabinet yang akan datang, pihak oposisilah yang memimpin kabinet, sekiranya Raja berkenan merestui formatur dari partai-partai oposisi.
Kita tunggu saja hasilnya, dalam pekan-pekan yang akan datang. Menurut saya, apa pun yang akan terjadi pekan-pekan ke depan ini, dan bagaimanapun keputusan Raja, satu hal yang pasti, dan perlu kita camkan, yakni pernyataan dari Presiden Iran Hassan Rouhani beberapa waktu yang lalu, bahwa demokrasi Barat saat ini sudah bangkrut!. []
MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2021
Guntur Soekarno | Pemerhati Sosial
Tidak ada komentar:
Posting Komentar