Serangan Covid-19 Kategori OTG
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Orang tanpa gejala (OTG). Kami sekeluarga sebelumnya sama sekali tak mengira, saya akan termasuk kategori ini.
Ketika istri saya (Hj Nurkhalifah) di-swab pada 11 Februari 2021, sekitar pukul 10.30 WIB, oleh petugas RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, karena sebelumnya berdekatan dengan menantunya yang terpapar, saya hanya ikut-ikutan.
Tidak ada tanda-tandanya. Pusing tidak, panas tidak, sesak napas tidak, batuk tidak. Makan biasa. Lidah dan hidung berfungsi normal. Singkat kata, tidak ada keluhan. Maka, tidak cukup alasan untuk khawatir.
Sorenya, apa yang terjadi? Dr Muhammad Adnan Sp HTT dari PKU menelepon saya, memberitahukan hasil swab. Istri negatif, saya malah positif dengan CT value 32,25. Artinya, sudah diserang beberapa hari sebelumnya. Kami semua tentu saja kaget.
Istri saya menjerit. Karena saya sudah berusia 85 tahun plus gula sekalipun terjinakkan, dan batu ginjal, macam-macamlah yang terbayang. Awak yang sudah sepuh ini diserang pandemi lagi, sekalipun dalam bentuk OTG.
Sore itu dalam suasana agak galau karena dalam persiapan isolasi ke PKU malam itu juga, saya masih sempat kirim artikel yang sudah siap untuk Republika, yang kemudian dimuat pada 16 Februari dengan judul: “Muhammadiyah Cabang Babat Sulit Ditandingi”.
PKU Gamping yang baru berusia 12 tahun ini dipilih karena lebih lapang dan sepi. Di lantai tiga, dari jendela menghadap ke utara, kita dengan leluasa memandang Gunung Merapi yang lagi batuk-batuk saat tidak diliputi kabut.
Di ruang ini pula pada Juli 2019, saya pernah dirawat karena batu ginjal. Sebagai OTG, saya harus sendirian tinggal di ruang ini. Sekitar setahun sebelumnya, istri saya juga operasi kedua tempurung lututnya di PKU ini. Hasilnya sangat memuaskan.
Di antara dokter yang mengawasi pasien, ada yang memakai APD seperti pakaian astronaut dengan sepatu botnya dan masker berlapis. Dr Evan Gintang Kumara Sp D dan Dokter Maskur Rahmat Sp D kemudian datang pula Dr Ardorisye Saptaty Fornia Sp P.
Mereka yang pertama mengunjungi saya dan menanyakan, mengapa saya sampai terpapar. Sebelum masuk kamar, ada proses ambil darah dan CT Scan terlebih dulu. Sebuah panorama rumah sakit yang tidak biasa kita lihat sebelum serangan Covid-19.
OTG seperti saya ini, mungkin yang masih beruntung karena perlindungan Allah belaka. Di mana saya terserang dan melalui siapa, tidak bisa dijawab. Sejak Maret 2020, saya patuhi protokol kesehatan. Selalu cuci tangan.
Pergi ke toko swalayan dan ke bank tak berani. Selama lima bulan absen shalat Jumat dan tidak mendekati kerumunan. Jika bersepeda sendirian ke luar rumah biasanya pakai masker. Tamu amat jarang datang. Jika berkunjung dengan jarak aman.
Tamu terakhir awal Februari 2021 adalah Ketua BPK DR Agung Firman Sampurna, bersama pengusaha dermawan Jenderal Fahmi SH. Agak jauh sebelum itu ada kunjungan Kepala BNPT Komjen DR Boy Rafli Amar MH, dengan jarak aman.
Sesudah itu, kunjungan Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komjen DR Rycko Amelza Dahniel MSi, juga menaati protokol kesehatan. Jadi, dugaan saya, terpapar bukan dari para tamu penting itu.
Mereka sebelumnya sudah wanti-wanti untuk sama-sama menjaga jarak. Lalu dari jurusan mana virus ini menyerang? Dalam bahasa Minang, jawabannya adalah antalah yuang (entahlah buyung)!
Perasaan takut pergi ke rumah sakit selama ini harus ditundukkan. Isolasi di rumah jelas tak memadai, sekalipun virus yang datang itu mungkin jenis yang lebih sopan. Ada rasa kasihannya kepada si tua renta ini.
Para dokter dan semua tenaga kesehatan lainnya di PKU Gamping adalah manusia penuh dedikasi. Saya wajib berterima kasih kepada mereka itu. Terlalu banyak jika disebut satu per satu.
Dirut PKU Gamping, Dr Ahmad Faesol Sp Rad, alumnus pandemi ini, terus saja memantau kondisi saya. Untuk staf perawat, cukup seorang saja ditulis di sini: Rubi Yanto dari bagian MPP (manajer pelayanan pasien).
Bung Rubi selalu menanyakan keadaan saya. Tidak sebatas itu, urusan komputer pun dibantunya. Pada 16 Februari pagi, Dr Evan Sp D menemui saya sambil memberitahukan keadaan saya, yang sudah semakin membaik dan boleh pulang sebelum 11 hari.
Untuk swab kedua kali dapat dilakukan di rumah, tetapi tetap mematuhi ketentuan isolasi mandiri. Dalam kamar harus sendiri, piring makan dan gelas untuk minum mesti terpisah, dan lain-lain.
Setelah keluarga berunding, anak kami, Mohammad Hafiz, menyarankan jangan pulang dulu sebelum di-swab lagi di PKU dengan hasil negatif agar semuanya merasa tenang. Dr Evan setuju dengan saran ini.
Pada 20 Februari pagi, Dr Adnan melakukan swab lanjutan untuk saya. Sorenya, alhamdulillah, hasilnya sudah negatif dan saya boleh pulang setelah sembilan hari dirawat. Matur nuwun sanget atas segala kebaikan, atas segala doa.
PKU Gamping untuk sekian kalinya berjasa menjaga kesehatan kami sekeluarga. Hanya Allah yang bisa membalas semua bantuan dan kebaikan itu. Amin. []
REPUBLIKA, 23 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar