Kamis, 25 Maret 2021

(Ngaji of the Day) Bolehkah Mencampuradukkan Qira’at saat Baca Al-Qur’an?

Dalam Islam, seorang Muslim boleh memilih untuk menggunakan salah satu qira’at Al-Qur’an yang mutawatirah (sangat valid karena diriwayatkan banyak perawi kredibel yang mustahil mereka bersekongkol dalam kebohongan); asyrah (imam sepuluh) atau sab’ah (imam tujuh). Sebagaimana ia boleh memilih salah satu mazhab yang empat dalam bidang fiqih; Hanafi, Maliki, Syafi’i atau Hanbali. Tidak ada kewajiban baginya untuk menambatkan hati kepada satu qira’at saja. Keleluasaan dalam memilih merupakan bagian dari rahmat dan kasih sayang Allah agar hamba-Nya tidak mendapatkan kesulitan ketika membaca Al-Qur’an.

 

Kendati demikian, ketika seseorang memilih satu di antara qira’at Al-Qur’an yang ada, sebaiknya ia selalu konsisten mengikuti kaidah dan aturan yang berlaku, sebab ketika mencampuradukkan beberapa qira’at, maka ia termasuk dalam kategori talfiq al-Qira’at atau takhlith al-Qira’at. Apa yang dimaksud talfiq dalam qira’at Al-Qur’an? dan bagaimana pendapat ulama qira’at mengenai hal tersebut?

 

Secara bahasa, talfiq memiliki arti menggabungkan, menyambung atau menyetik jahitan. Seperti menjahit kain yang terpisah agar tersambung.

 

Talfiq menurut ulama qira’at adalah mencapur-adukan beberapa qira’at imam atau riwayat qira’at. Misalnya, seseorang membaca dengan qira’at Imam Ashim riwayat Hafs, kemudian ketika sampai pada kata yang memiliki perbedaan qira’at, ia membaca dengan riwayat yang lain dan kemudian melanjutkan lagi dengan menggunakan riwayat Imam Hafs.

 

Apakah talfiq dalam qira’at Al-Qur’an diperbolehkan? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat; beberapa melarang secara mutlak, beberapa memperbolehkan secara mutlak, dan terdapat pula yang memperinci dan menengahi kedua pendapat di atas.

 

Pendapat pertama yang menyatakan bahwa talfiq qira’at Al-Qur’an secara mutlak tidak diperbolehkan dipaparkan oleh Imam al-Sakhawi dan al-Nuwairi. Imam al-Sakhawi, sebagaimana dinukil oleh al-Jazari, berkata: “Mencampuradukkan qira’at; sebagian dengan sebagian yang lain adalah sebuah kesalahan” (al-Jazari, Al-Nasyar fi al-Qira’at al-Asyr, 1: 18).

 

Senada dengan pendapat di atas, Imam al-Nuwairi berkata: “Mencampuradukkan qira’at Al-Qur’an dan menyusunnya bersamaan adalah haram, makruh atau tercela”. (al-Dhabba’, Bulugh al-Umniyah Syarah: 78).

 

Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Imam al-Qasthalani: “Seorang qari’ seharusnya menjaga qira’at dan menghindari pencampuradukan periwayatan serta membedakan antara satu qira’at dengan qira’at yang lain, apabila yang demikian tidak dilakukan, maka ia akan terjerumus pada qira’at yang tidak diperbolehkan dan membaca sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diturunkan kepada Nabi”.

 

Kedua, boleh mencapur-adukkan qira’at Al-Qur’an secara mutlak, selama qira’at tersebut termasuk dalam qira’at mutawatirah.

 

Imam al-Jazari berkata: “Mayoritas ulama memperbolehkan untuk mencampuraduk qira’at secara mutlak, dan mereka menganggap ‘salah’ kepada yang melarang hal tersebut”. (al-Jazari, Al-Nasyar fi al-Qira’at al-Asyr/1/18).

 

Untuk memperkuat argumentasi, mereka menyatakan bahwa apabila suatu qira’at telah terbukti mutawatir dan shahih, maka larangan untuk membaca riwayat qira’at tersebut tidak memiliki landasan yang tepat. Sebab qira’at yang telah terbukti mutawatir dan shahih merupakan qira’at yang dibaca oleh sahabat di hadapan Nabi Saw,.

 

Ketiga, menggabungkan dua pendapat di atas secara terperinci; pertama, apabila salah satu qira’at tercampur dengan qira’at yang lain, maka hal tersebut tidak diperbolehkan atau haram. Seperti contoh pada surat al-Baqarah ayat 37.

 

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

 

Dalam qira’at Imam Ibnu Katsir, lafadz (آدَم) dibaca Nashab (Fathah) dan lafadz (كَلِمَات) dibaca rafa’ (dhammah), sementara para Imam yang lain membaca lafadz (آدَم) dengan dhammah dan lafadz (كَلِمَات) dengan fathah.

 

Apabila seseorang membaca lafadz (آدَم) dengan dhammah (qira’at selain Imam Ibnu Katsir) kemudian pada lafadz (كَلِمَات) dengan dhammah (qira’at Ibnu Katsir), maka hal tersebut tidak diperbolehkan sebab kalimat yang tersusun menjadi tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab.

 

Kedua, Apabila talfiq dari jalur periwayatan atau mencampuradukkan antara beberapa riwayat qira’at, maka juga tidak dipereolehkan sebab hal tersebut mengingkari periwayatan dan merusak kredibilitas perawi, seperti contoh pada surat al-Baqarah ayat 3.

 

الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ

 

Apabila seseorang membaca (يُؤْمِنُون) dengan mengganti wawu pada huruf hamzah (menggunakan riwayat Imam al-Susi) kemudian membaca (رَزَقْنَاهُمْ) dengan menggunakan silah mim jama’ (menggunakan riwayat Imam Qalun), maka ia telah mencampuradukkan dua riwayat qira’at, yakni riwayat Imam al-Susi dan Imam Qalun. Meskipun dalam pencampuran riwayat tersebut tidak merusak tatanan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an, namun secara nyata ia telah menginkari periwayatan dan merusak kredibilitas perawi.

 

Ketiga, apabila tidak dimaksudkan untuk mencampur-aduk qira’at dan riwayat tetapi digunakan untuk sekedar membaca, tilawah dan untuk pembelajaran, maka hal tersebut diperbolehkan meskipun menurut ulama qira’at termasuk hal yang tercela. Menurut Imam Nawawi, apabila seseorang memulai membaca Al-Qur’an dengan menggunakan salah satu dari Qira’at yang Tujuh, maka sebaiknya dia terus menggunakan qira’at tersebut selama maknanya masih berkaitan. Apabila hubungan maknanya terputus, maka ia boleh membaca dengan qira’at yang lain. Namun yang paling baik adalah tetap menggunakan satu qira’at saja selama dia masih dalam majelis yang sama. (Imam Nawawi, al-Tibyan fi Adab Hamalat Al-Qur’an: 76).

 

Lantas, bagaimana apabila dalam shalat seorang menggunakan ragam bacaan Al-Qur’an?

 

Sebagimana dijelaskan di atas, yaitu apabila mencampuradukkan dua qira’at dapat merusak tatanan bahasa dan makna, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Namun apabila ia membaca sebagian halaman Al-Qur’an dengan qira’at Imam Nafi’ dan separuh halaman lagi dengan qira’at Ibnu Katsir, maka hal tersebut dipebolehkan selama antara dua ayat yang terakhir dan yang awal tidak memiliki keterkaitan makna. Namun utamanya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi yaitu tetap menggunakan satu qira’at saja selama masih dalam majelis/momen yang sama. []

 

Ustadz Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar