Jika membaca berbagai literatur hadits kita akan menjumpai beberapa sabda Nabi Muhammad Saw yang terkesan misoginis atau mendiskriminasi perempuan. Salah satunya hadits menyebutkan tentang kesialan ada pada perempuan.
Hadits mengenai kesialan ini tercantum dalam beberapa kitab hadits induk, termasuk kutubus sittah (Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan An-Nasa’i, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah) dengan beragam lafal, namun substansinya sama. Salah satu redaksi dalam Al-Bukhari menyebutkan sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الشُّؤْمُ فِي المَرْأَةِ وَالدَّارِ وَالْفَرَسِ
Artinya, “Dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Adakalanya kesialan itu terletak pada perempuan, rumah, dan kuda,” (HR Bukhari).
Hadits dengan tema ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat laki-laki. Dalam Shahih Al-Bukhari terdapat dua perawi, yakni Abdullah bin Umar dan Sahl bin Sa’d As-Sa’idi. Dalam Sunan Abu Dawud, An-Nasai, dan At-Tirmidzi, perawi dari kalangan sahabat adalah Abdullah bin Umar. Sedangkan Sunan Ibnu Majah menyebut tiga riwayat dari tiga sahabat laki-laki, yakni Abdullah bin Umar, Sahl bin Sa’id, dan Mikhmar bin Muawiyah.
Kritik dari Aisyah
Imam Az-Zarkasyi dalam Al-Ijābah li irādi ma istadrakathu ‘Aisyah alas Shahābah menuliskan, Aisyah binti Abu Bakr, istri Rasulullah SAW pernah mengkitik hadits tentang perempuan pembawa sial yang diriwayatkan Abu Hurairah.
Kritik ini tercantum dalam dua riwayat, pertama dalam Musnad Abi Dawud bahwa Makhul RA bertanya kepada Aisyah Ra mengenai hadits riwayat Abu Hurairah RA, “Sungguh kesialan itu ada pada tiga hal; rumah, perempuan dan hewan tunggangan.” Aisyah RA menanggapi riwayat Abu Hurairah RA ini, “Abu Hurairah tidak hafal seluruh redaksi hadits ini. Sungguh Rasulullah SAW bersabda:
قَاتَلَ اللهُ اليَهُوْدَ يَقُوْلُوْنَ: الشُّؤْمُ فِي ثَلَاثَةٍ فِي الدَّارِ وَالْمَرْأَةِ وَالْفَرَسِ
Artinya, ‘Allah mengutuk kaum Yahudi yang mengatakan, ‘Sungguh kesialan terdapat pada tiga hal, rumah, perempuan, dan hewan tunggangan.’”
Menurut Aisyah RA, Abu Hurairah RA keliru menyampaikan hadits ini sebab ia hanya mengetahui akhir matannya dan tidak mendengar redaksi awalnya. Namun hadits ini dinilai lemah lantaran Makhul diragukan pernah bertemu Aisyah.
Kedua, kritik Aisyah dalam Musnad Ahmad, dari Abi Hassan, bahwa dua orang laki-laki mendatangi Aisyah dan menanyakan perihal hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah dari Nabi SAW:
إِنَّماَ الطِّيَرَة فِي المَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ
Artinya, “Sungguh kesialan itu ada pada perempuan, hewan peliharaan, dan rumah.”
Mendengar aduan tersebut, Aisyah kemudian berkata, “Demi Zat yang menurunkan Al-Qur’an kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad SAW), Nabi SAW tidaklah berkata demikian, akan tetapi Nabi SAW bersabda,
كَانَ أَهْلُ الجَاهِلِيَّةِ يَقُوْلُوْنَ : الطِّيَرَةُ فِي المَرْأَةِ وَالدَّابَّةِ وَالدَّارِ
Artinya, “Dahulu orang-orang Jahiliyah berkata, ‘Kesialan ada pada perempuan, hewan ternak, dan rumah.’”
Sebagaimana kritik Aisyah yang pertama, dalam hadits ini Aisyah juga mengomentari kekurangan redaksi yang diriwayatkan Abu Hurairah.
Kekurangan redaksi ini tentu merupakan hal yang cukup fatal. Pasalnya, Abu Hurairah menyatakan bahwa tiga kesialan itu adalah ungkapan Rasulullah SAW. Padahal menurut Aisyah itu adalah perkataan orang-orang Jahiliyah dan kaum Yahudi. Sedangkan Rasulullah SAW hanya mengutip saja.
Selain menyanggah riwayat Abu Hurairah RA, Aisyah RA juga berargumen dengan firman Allah SWT dalam Surah Al-Hadid ayat 22:
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Artinya, “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sungguh yang demikian itu adalah mudah bagi Allah,” (Surat Al-Hadid ayat 22). (Lihat Imam Badruddin Az-Zarkasyi, Al-ijābah li Irādi Ma Istadrakathu ‘Aisyah alas Shahābah, al-Maktab al-Islami, halaman 114).
Menurut sebagian ulama, redaksi dari Aisyah ini lebih mendekati kebenaran daripada riwayat Abu Hurairah, mengingat dalam hadits lainnya, yaitu dalam hadits riwayat Al-Bukhari, Rasulullah SAW juga menyatakan, “Kesialan itu tidak ada,”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَاعَدْوَى وَلاَطِيَرَةَ وَلَاهَامَةَ وَلاَصَفَرَ
Artinya, “Dari Abu Hurairah RA, bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Tidak ada penyakit menular, kesialan (dari undian), kesialan (melalui burung hamah) dan bulan Shafar,” (HR Al-Bukhari).
Riwayat Ibnu Umar menunjukkan redaksi berbeda yang menyebutkan bahwa kesialan memang tidak ada kecuali pada tiga hal; perempuan, rumah dan hewan tunggangan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَاعَدْوَي وَلاَطِيَرَةَ، وَالشُّؤْمُ فِي ثَلاَثٍ: فِي المَرْأَةِ، وَالدَّارِ والدَّابَّةِ
Artinya, “Dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah SAW berkata, ‘Tidak ada penularan penyakit, tidak ada kesialan. Hanya saja kesialan terletak pada tiga hal; perempuan, rumah, dan hewan tunggangan.”
Tetapi ada riwayat lain yang bertentangan dengan hadits Ibnu Umar ini, yakni yang menyebutkan bahwa tiga hal ini merupakan sumber keberkahan, bukan kesialan. Dari Hakim bin Muawiyah ia berkata “Aku mendengar Nabi SAW bersabda:
لاَشُؤْمَ، وَقَدْ يَكُونُ اليُمْنُ فِي الدَّارِ وَالمَرْأَةِ وَالفَرَسِ
Artinya, “Tidak ada kesialan, terkadang keberkahan ada pada rumah, perempuan, dan hewan tunggangan.”
Sayangnya, hadits riwayat Hakim ini derajatnya lemah lantaran dianggap bertentangan dengan hadits sebelumnya yang lebih sahih.
Pemahaman Hadits
Anggapan adanya kesialan sejatinya sangat lekat dengan tradisi Jahiliyah. Bangsa Arab Jahiliyah kala itu sering kali melakukan undian menggunakan binatang atau benda untuk menentukan nasib seseorang. Jika benda atau hewan tersebut mengarah ke kanan, mereka percaya bahwa keberuntungan akan terjadi. Sebaliknya, jika benda itu mengarah ke kiri, berarti sang pengundi akan mengalami kesialan atau kerugian.
Praktik undian inilah yang dinamakan At-Thiyarah. Sedangkan As-Syu’mu merupakan hasil dari praktik At-Thiyarah tersebut, yakni saat undian menghadap ke kiri dan dianggap membawa sial.
Muhammad Abdurrahman bin Abdirrahim Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi menuliskan, ada beberapa pendapat ulama mengenai hadits tiga kesialan ini. Menurut Ibnu Abdil Bar, hadits ini telah dinasakh oleh Surat Al-Hadid ayat 22 sehingga maknanya tidak berlaku lagi.
Kedua, menurut Al-Khatthabi, hadits yang menyatakan tidak ada kesialan sejatinya membatalkan praktik undian di masa Jahiliyah. Sejatinya Nabi SAW tidak berkata tiga hal ini membawa kesialan, melainkan bermaksud mengabarkan “Jika kalian memiliki rumah yang tak nyaman untuk ditempati, istri yang buruk perangainya, dan hewan tunggangan yang susah dibawa bepergian, maka hendaklah kalian tinggalkan.” Oleh karena itu, menurut Al-Khattabi, hadits tentang kesialan ada pada tiga hal ini jangan diartikan secara hakiki, melainkan dari makna majazi. (Lihat Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarhi Jami’it Tirmidzi, Darul Hadits, juz VII, halaman 243).
Jika menurut Imam Ibnu Abdil Bar hadits ini telah dinasakh, Imam At-Tirmidzi menawarkan metode komporomi (al-jam’u). Menurutnya, perbedaan riwayat ini bukanlah sebuah pertentangan (ta’arudh), melainkan riwayat yang saling melengkapi satu sama lain.
Ahmad Fudhaili dalam Perempuan di Lembaran Suci menulis, melalui metode jamak ini setidaknya ada beberapa poin yang dapat diambil. Pertama, riwayat-riwayat di atas menjelaskan tentang kebudayaan Jahiliyah yang berkembang sebelum Islam datang.
Kedua, praktik undian sangat melekat pada kebudayaan Jahiliyah. Setelah Islam datang Nabi SAW melarang praktik itu. Namun, anggapan pada tiga hal ini sangat sulit ditinggalkan sehingga Nabi SAW pun memberikan opsi lain, jika rumah sudah tidak nyaman ditempati, maka boleh diganti. Apabila hubungan dengan istri tidak lagi harmonis, maka istri itu boleh diceraikan. Jika kendaraan yang dimiliki sudah tidak bisa dimanfaatkan lagi, maka ia boleh dijual.
Ketiga, tiga hal yang dianggap membawa sial ini bukanlah penyebab kesialan itu sendiri, melainkan karena ada faktor yang bisa jadi melekat pada tiga hal itu, misalnya perempuan yang dianggap membawa sial adalah perempuan yang mandul (tidak dapat memberi keturunan), cerewet dan lain sebagainya.
Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Ibnu Araby bahwa tiga hal ini disebutkan sebagai kesialan dikarenakan adat/ budaya yang mengakar pada masa itu, bukan berdasarkan sifat lahiriyah mereka.
Dengan kata lain, kesialan bukanlah sifat mutlak dari tiga hal ini. Pasalnya, segala sesuatu yang diciptakan Allah SWT dapat mendatangkan kebaikan maupun keburukan. Rumah bisa jadi “surga” bagi pemiliknya jika ia nyaman ditempati, istri bisa jadi “sumber ketenangan” bagi suaminya, dan kendaraan bisa membantu pemiliknya menuju tempat-tempat yang diberkahi.
Sebaliknya, perangai yang buruk tidak hanya bisa dimiliki tiga hal ini, tetapi juga unsur yang lainnya. Jika “kemandulan” dianggap sebagai kesialan, maka kemandulan pun tidak hanya dapat terjadi pada perempuan, tetapi juga laki-laki. Jika perempuan yang cerewet dianggap sebagai kesialan, maka sifat cerewet juga bisa dimiliki laki-laki. Oleh karena itu, keburukan tidak mutlak pada suatu hal saja, melainkan bisa melekat pada apa dan siapa saja. Wallahu a'lam. []
Ustadzah Fera Rahmatun Nazilah, Pegiat Kajian Hadits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar