Selasa, 16 Maret 2021

Buya Syafii: Republik Sapi Perah

Republik Sapi Perah

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Masih terbayang dalam ingatan, artikel di bagian akhir sebuah koran nasional, abad yang lalu, Artikel itu berjudul “RBI (Republik Bocor Indonesia)” sebagai reaksi saya atas terjadinya transaksi ilegal bahan bakar minyak (BBM) di perairan Natuna. Dari orang Indonesia kepada pihak asing, demi meraup untung besar.

 

Berapa besarnya keuntungan yang diraih itu tidak dijelaskan. BBM dibocorkan kepada pihak asing oleh para pemain anak bangsa yang hanya punya tujuan tunggal: merampok milik rakyat dengan menabrak semau gue segala undang-undang (UU) dan peraturan yang ada.

 

Inilah RSP (Republik Sapi Perah). Perbuatan busuk dan jahat seperti ini telah berlangsung puluhan tahun di bawah berbagai rezim. Negara seperti tidak berdaya. Dikibuli saja oleh kaum petualang yang memang lihai bermain.

 

Awal Februari 2021 ini saya mendapat laporan dari orang yang sangat dapat dipercaya karena kepakarannya di dunia BBM. Menurut laporan itu, ada anak perusahaan dari sebuah BUMN yang telah berbuat keji dalam tempo lama. Mereka merekayasa anak perusahaan itu agar terlihat legal, demi keuntungan pribadi atau kelompoknya.

 

Kerugian negara mencapai angka ratusan miliar dollar AS. Angka-angka itu tidak saya tulis di sini. Dokumen masih tersimpan di ponsel saya. Itu baru satu anak perusahaan. Ratusan lainnya mungkin sami mawon (sama saja).

 

Jika judul artikel ini terasa keras dan kejam, memang disengaja, karena fakta di lapangan jauh lebih keras dan kejam. Laporan itu saya teruskan kepada komisaris utama perusahaan induk. Ini jawabannya: ”Terlalu banyak permainan Pak.” Semakin sadarlah saya bahwa negeri ini memang surga bagi penjahat.

 

Aparat penegak hukum sering tumpul dan mandul dibuatnya. Pelakunya manusia berkulit sawo matang, bukan si hidung mancung era VOC akhir abad ke-18. VOC runtuh berantakan karena mega korupsi si kulit putih. Sejak itu kekuasaan di Nusantara resmi diambil alih pemerintah kolonial Belanda, sampai diusir pasukan Jepang tahun 1942.

 

Warisan korupsi

 

Di antara warisan terbusuk VOC untuk Indonesia merdeka adalah tindakan kriminal korupsi. Dua menteri Presiden Jokowi yang dipecat karena korupsi adalah bukti teranyar yang baru ketahuan. Satu kasus bantuan sosial (bansos), satu lagi kasus bibit lobster. Yang belum ketahuan, semoga juga terbongkar.

 

Korupsi sudah merambah ke semua lini kehidupan bangsa. Dari desa yang tersuruk sampai pusat kekuasaan. Tidak ada yang benar-benar bersih. Sekiranya letak geografis Indonesia di selatan Sahara Afrika, bangsa dan negara ini sudah lama tenggelam. Kukut. Gagal karena sebagian adalah cicit-cicit VOC.

 

Puji Allah, lokasi negeri ribuan pulau ini di sekitaran khatulistiwa yang kaya, baik darat mau pun lautannya. Sekalipun sudah jadi sapi perah, bangsa ini masih bertahan dengan utang raksasa dan napas yang terengah-engah. Di tengah serangan Covid-19 ini, sebagian rakyat kita memang sudah kelimpungan, dan negara harus mengeluarkan dana ratusan triliun rupiah untuk menolong mereka.

 

Kebijakan ini adalah satu-satunya jalan yang harus ditempuh dan negara telah melakukannya. Sangat menjijikkan, dana pandemi ini pun menjadi sasaran korupsi.

 

Untuk menyegarkan ingatan kolektif kita tentang betapa bangsa dan negara ini telah berulang kali menjadi sapi perah, kita catat saja secara acak sejak era awal 1970-an.

 

Ingat ketika koran Indonesia Raya, pimpinan Mochtar Lubis, membongkar mega korupsi 12 miliar dollar AS di tubuh Pertamina. Indonesia heboh dan goncang. Sialnya, setelah Presiden Soeharto mengambil alih persoalan, kehebohan ini berangsur sepi.

 

Teriakan Mochtar Lubis senyap tanpa bekas. Ke mana menyelinapnya kekayaan negara sejumlah itu, tidak pernah dijelaskan sampai hari ini.

 

Sebagai akibat krisis moneter tahun 1998, Desember tahun itu —atas tekanan Dana Moneter Internasional (IMF)— Bank Indonesia (BI) telah menyalurkan pinjaman BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) Rp147,7 triliun kepada 48 bank yang bermasalah likuiditas.

 

Masih berlanjut

 

Apa yang terjadi kemudian? Menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), telah terjadi indikasi penyimpangan oleh para bankir ini sebesar Rp138 triliun. Mereka dibantu, BI malah ditempeleng. Sampai sekarang masalah BLBI ini belum tuntas juga, meski beberapa pejabat inti BI telah dihukum.

 

Selalu saja berlaku permainan siluman yang tak pernah jera. Kultur sapi perah ini terus saja berlanjut. Kita catat sekilas saja karena masih belum terlalu lama. Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terjadi kasus Bank Century Rp6,7 triliun. Sampai sekarang belum jelas juga penyelesaiannya.

 

Di era Presiden Jokowi, dari 2014 sampai sekarang, merebak kasus Asuransi Bumiputera 1912 yang hampir bangkrut karena kesalahan manajemen. Menyusul kasus Asuransi Jiwasraya yang gagal bayar klaim polis.

 

Sebenarnya proses pembusukan asuransi ini sudah tercium sejak tahun 2000-an, tetapi ditutup-tutupi dengan cara patgulipat. Yang terbaru, selain korupsi dana bansos senilai Rp17 triliun, di atas ada lagi korupsi di BUMN PT Asabri (Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang berdiri sejak 1971.

 

Angkanya menurut Kejaksaan Agung dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencapai Rp18 triliun.

 

Apa yang terjadi di DPR sebagai lembaga tinggi negara yang kabarnya terkorup, tidak dibicarakan di sini. Kritik publik kepada lembaga ini sudah terlalu sering. Aduh, mak, semakin dibongkar, semakin melelahkan. Tidak jelas ujung pangkalnya.

 

Sekali lagi, yang menyelamatkan Indonesia dari kehancuran total adalah karena alam kita yang dermawan. Lokasinya, Alhamdulillah, tidak di selatan Sahara Afrika. Diperas dan diperah, bumi Nusantara ini masih saja sabar. Tetapi akan tahan sampai berapa lama? []

 

KOMPAS, 27 Februari 2021

Ahmad Syafii Maarif | Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar