Reformasi Partai Politik
Oleh: Azyumardi Azra
Judul analisis politik kali ini dipinjam dari Tajuk Rencana Kompas (5/2/2021). Tajuk rencana itu memandang perlu reformasi partai politik terkait kegaduhan Partai Demokrat. Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono mengklaim kepemimpinan partainya bakal diambil alih pejabat tinggi di lingkar dalam istana Presiden Joko Widodo—yang dimaksud adalah Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Tudingan itu dibantah Moeldoko.
Seperti diulas Tajuk Rencana Kompas, dalam sejarah politik Indonesia, konflik dan upaya pengambilalihan kepengurusan parpol bukan barang baru. ”Di era Reformasi, hal itu biasanya berawal dari ketidakpuasan sejumlah anggota parpol dan terjadi menjelang atau setelah pergantian pengurus. Di sejumlah kasus sering terlihat peran dari pihak di luar parpol dalam peristiwa itu”.
Meski era tiga partai (Golkar, PDI, dan PPP) sepanjang masa Orde Baru telah berlalu lebih dari dua dasawarsa sejak Pemilu 1999, parpol sampai sekarang belum mengalami reformasi secara substantif. Akibatnya, parpol tak dapat memainkan peran lebih signifikan untuk penguatan demokrasi, bukan sekadar alat agregasi kekuasaan.
Di tengah dinamika demokrasi Indonesia, budaya politik yang dominan dalam parpol bukan budaya demokrasi. Sebaliknya, parpol secara kronis dihinggapi masalah internal, seperti faksionalisme, penguatan klientelisme, dan patronase dengan rezim penguasa. Hasilnya, budaya politik parpol tidak mencerminkan demokrasi, tetapi cenderung oligarkis-dinastik.
Dengan begitu, parpol turut menyumbang kemerosotan Indeks Demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. The Economist Intelligence Unit (EIU) meluncurkan Laporan Indeks Demokrasi 2020, awal Februari lalu. EIU dalam rilisnya mengemukakan skor Indonesia 6,30. Dalam skala 0-10, makin tinggi skor, kian baik kondisi negara tersebut. Nilai 6,30 pada 2020 adalah skor terendah Indonesia selama 14 tahun sejak EIU membuat Indeks Demokrasi pada 2006.
Indonesia digolongkan EIU sebagai negara flawed democracy, demokrasi cacat. Indonesia berada di urutan ke-64 dari 167 negara. Sebagai perbandingan, berdasarkan data Freedom House (Washington DC), Indonesia termasuk kategori ”partly free”—belum full democracy, demokrasi penuh—berada di peringkat ke-61 dari 101 negara.
Ada pengamat dalam dan luar negeri atau pejabat tinggi Indonesia yang mengklaim demokrasi Indonesia ”lebih dinamis” dibandingkan dengan negara tetangga. Namun, skor yang diberikan lembaga kredibel, seperti EIU dan Freedom House, menempatkan demokrasi Indonesia di bawah Malaysia (7,19), Timor Leste (7,06), atau Filipina (6,56).
Budaya politik adalah aspek yang paling rendah untuk Indonesia di Indeks Demokrasi EIU. Nilai budaya politik Indonesia 2020 hanya 4,38 poin; merosot dari skor 5,63 pada 2019. Dari keseluruhan lima aspek demokrasi yang dinilai EIU, tiga aspek lain stagnan: partisipasi politik (6,11), proses elektoral dan pluralisme (7,92), serta kebebasan sipil (5,59). Aspek yang naik hanya keberfungsian pemerintah: skor 7,50 (2020), naik dari 7,14 (2019).
Apa yang harus dilakukan jika reformasi parpol urgen dan mendesak untuk penguatan dan rekonsolidasi demokrasi? Selain parpol, memang ada beberapa aspek lain demokrasi dan politik Indonesia yang perlu direformasi atau dibenahi. Namun, mengingat posisi parpol yang krusial untuk demokrasi substantif dan demokrasi prosedural, reformasi parpol patut jadi prioritas pertama.
Meminjam kerangka Fionna dan Tomsa (2017), parpol-parpol Indonesia boleh jadi lebih baik dibandingkan dengan parpol di Thailand atau Filipina. Parpol Indonesia lebih terinstitusionalisasi baik dan lebih efektif menjalankan fungsi politik: perekrutan, partisipasi dan mobilisasi politik, serta artikulasi kepentingan dan kekuasaan.
Namun, parpol Indonesia terus menghadapi masalah yang memerlukan reformasi. Kebanyakan masalah pokok itu terkait erat dengan budaya politik, misalnya orientasi pragmatis-transaksional dalam kekuasaan politik dan kepentingan finansial-ekonomi. Selain itu, merajalelanya korupsi dan politik uang, menguatnya borjuisme, elitisme, dan feodalisme yang menciptakan jarak lebar parpol dengan konstituen atau massa rakyat—pemilih penting bagi parpol hanya saat pemilu dan pilkada.
Selain itu, parpol dihinggapi masalah seperti kepemimpinan sentralistik dominatif, oligarkis, dan dinastik; faksionalisme divisif akut; klientelisme dan rent-seeking, baik ke lingkaran pusat kekuasaan maupun ke bawah. Juga orientasi pragmatisme kuat pada patronase politik ke atas dengan mengabaikan ideologi partai dan massa pendukung. Akibatnya, tingkat kepercayaan massa kepada parpol rendah sekali; hanya 47,8 persen, menurut survei terakhir Indikator Politik Indonesia.
Memandang kompleksitas masalah itu, reformasi parpol mesti dimulai dengan demokratisasi partai secara substantif dan prosedural. Banyak masalah yang dihadapi parpol hanya bisa diatasi dengan membangun paradigma, konsep, dan praksis demokratis yang adil, serta imparsial dengan dasar dan orientasi merit.
Dengan demokratisasi berkelanjutan, partai bisa lebih solid berkonsolidasi. Faksionalisme tidak bisa dihindari muncul di parpol mana saja; tak ada cara lain untuk mengatasinya, kecuali menetapkan prinsip, prosedur, dan budaya politik demokratis untuk mencegah perpecahan.
Perpecahan parpol yang sering terjadi membuat parpol dan politik Indonesia rentan. Kebanyakan parpol baru yang ”menyempal” dari ”induknya” tak berpeluang melewati ujian threshold parlemen. Jika reformasi parpol dapat menghasilkan paradigma peace resolution of conflict, bisa terjadi konsolidasi dan penguatan parpol dan demokrasi.
Reformasi parpol dengan menetapkan platform, kerangka, dan praksis relasi elite serta kepemimpinan parpol dengan aspiran politik dan warga pemilih juga membantu konsolidasi demokrasi. Makin jauh parpol dari warga, kian terjerumus parpol dalam relasi transaksional, klientelisme, dan patronase dengan rezim dan elite kekuasaan.
Mempertimbangkan semua fenomena dan argumen itu, sekarang saatnya partai menggalang momentum reformasi. Menunda reformasi partai berarti membiarkan demokrasi Indonesia terus merosot. Tugas parpol bersama pers, masyarakat sipil, dan lembaga advokasi publik untuk terus berjuang mengonsolidasikan demokrasi melalui reformasi internal dan eksternal. []
KOMPAS, 18 Februari 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar