Setelah 10 Tahun Musim Semi Arab
Oleh: Zuhairi Misrawi
Sepuluh tahun setelah musim semi Arab berlalu, Timur-Tengah dan kawasan Arab lainnya masih belum menemukan momentum untuk bangkit dari keterpurukan. Alih-alih menyambut fajar baru demokrasi dan keadilan, kawasan yang tidak sepi dari konflik ini justru sedang berada di persimpangan jalan, antara membuka lembaran baru atau justru kembali ke masa lalu yang pilu.
Kembali ke masa lalu merupakan kecelakaan sejarah, yang pastinya akan terasa pahit dan tidak pernah terbayangkan oleh warga Arab. Pada saat revolusi meletus di Kairo awal tahun 2011, kebetulan saya sedang berada di kota para ulama itu. Saya menjadi saksi sejarah betapa peristiwa revolusi di Tahrir Square telah membangkitkan harapan baru perihal kedaulatan warga dalam menentukan nasibnya. Mereka seolah-olah terbangun dari mimpi buruk otoritarianisme. Rezim militer Hosni Mubarak yang sangat kuat, akhirnya bisa ditumbangkan.
Namun, kisah manis itu tidak berlangsung lama. Pelan-pelan musim semi Arab jatuh ke titik-nadir, bahkan hancur berkeping-keping. Negara-negara Arab yang disapu badai musim semi, tidak satupun menunjukkan keberhasilan. Bahkan, beberapa negara justru kembali ke khitahnya sebagai negara otoriter dan dilanda konflik sosial-politik yang sangat akut.
Tunisia sebagai pemantik musim semi Arab pun tidak bisa bangkit dari bayang-bayang keterbelahan politik. Dalam peringatan 10 tahun musim semi Arab di Tunisia, aksi demonstrasi terjadi meluas dan cenderung brutal. Para demonstran meminta "musim semi 2.0" sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap rezim yang berkuasa, termasuk partai-partai politik yang lahir setelah musim semi Arab 1.0.
Tunisia sebenarnya menjadi satu-satunya harapan keberhasilan musim semi Arab. Setelah rezim Ben Ali tumbang, para kekuatan politik oposisi membangun konsolidasi demokrasi, termasuk Ennahda yang dikenal berhaluan Islamis. Rached Ghannouchi sosok yang sangat berpengaruh dalam lanskap politik pasca-musim semi di Tunisia membangun politik rekonsiliatif dengan berbagai kekuatan politik lainnya. Puncaknya, Tunisia berhasil melahirkan konstitusi yang sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Tidak hanya itu, Tunisia berhasil menggelar pemilu yang sangat demokratis. Bahkan, Tunisia berhasil memilih Presiden dari kalangan independen. Ketidakpercayaan warga terhadap elite-elite politik dan konglomerat diganjar dengan keterpilihan Presiden dari kalangan independen, Kais Saied. Sebelumnya, warga sudah menjatuhkan pilihan bagi sosok dari partai politik, baik dari kelompok Islamis maupun nasionalis, tetapi mereka belum mampu memenuhi harapan warga.
Proses demokrasi yang berlangsung mulus dan mengagumkan, tidak berbanding lurus keadilan sosial. Bau korupsi, kolusi, dan nepotisme masih tercium sangat menyengat. Konsekuensinya, warga tidak lagi menaruh harapan pada partai politik. Warga mendorong dan saling bahu-membahu untuk menggolkan kandidat Presiden dari kalangan independen. Mereka berhasil dalam sebuah euforia politik yang sekali lagi membuncahkan harapan untuk sebuah perubahan dan keadilan.
Walhasil, demokrasi lagi-lagi tidak secara otomatis melahirkan keadilan sosial. Kais Saied yang digadang-gadang menjadi simbol harapan juga tidak kunjung memenuhi harapan publik. Sebab itu pula, warga mulai turun ke jalan dalam beberapa hari terakhir meminta pergantian rezim. Mereka meminta secara lebih khusus agar agenda-agenda pemulihan dan pengentasan kemiskinan menjadi prioritas, karena secara faktual kebebasan dan demokrasi tidak cukup. Keadilan sosial dan kemuliaan hidup setiap warga harus menjadi prioritas, karenanya diperlukan sebuah pemikiran dan komitmen untuk memuluskan jalan revolusi bagi tatanan ekonomi yang berkeadilan.
Selama ini, ekonomi hanya dinikmati para elite politik. Ongkos demokrasi terlalu mahal, sementara rakyat terus menjerit dan meringis miris. Bahkan, situasinya lebih buruk dari era Ben Ali yang menjadi keprihatinan dan musuh bersama. Ghannouchi berdalih, bahwa untuk memulihkan ekonomi di Tunisia membutuhkan waktu yang lama. 10 tahun tidak cukup untuk melakukan perubahan pada sektor ekonomi yang berkeadilan.
Tentu saja, apa yang terjadi di Tunisia ini menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi negara-negara Arab lainnya. Mereka tidak mempunyai keyakinan terhadap demokrasi, karena jalan menuju kejayaan ekonomi bukan melalui kanal demokratisasi. Mereka mulai melirik negara-negara Arab Teluk, seperti Uni Emerate Arab, Qatar, dan Kuwait, yang berhasil membangun raksasa ekonomi di tengah sistem monarki.
Situasinya semakin sulit, karena negara-negara Arab lainnya, seperti Mesir, Yaman, Suriah, dan Libya mulai kelelahan melihat apa yang terjadi di Tunisia dan realitas politik mereka sendiri. Demokrasi mungkin saja ditakdirkan tidak relevan dengan konteks negara-negara Arab. Sebab demokrasi identik dengan konflik dan perampokan kaum elite.
Mesir menjadi contoh buruk dari kegagalan eksperimen demokrasi, karena sejak era Hosni Mubarak hingga el Sisi, demokrasi selalu menjadi stempel atas rezim yang berkuasa. Bahkan, ironisnya, rezim yang berkuasa kerapkali menutup rapat-rapat ruang kontestasi politik, sehingga rezim ibarat raja yang kekuasaannya bersifat absolute. Suara-suara kritis benar-benar dilumpuhkan.
Kasus Yaman, Suriah, dan Libya semakin memperburuk citra musim semi Arab, karena bermetamorfosa sebagai medan konflik yang tidak berkesudahan. Bahkan, yang berkonflik bukan hanya faksi-faksi di dalam negeri, melainkan ada campur-tangan negara-negara lain di kawasan, dan peta geopolitik global.
Dalam konteks tersebut, satu dasawarsa musim semi Arab telah menunjukkan sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Belum, bahkan tidak ada tanda-tanda perubahan yang lebih baik perihal demokrasi, Hak Asasi Manusia, rekonsiliasi, dan pembangunan ekonomi berkeadilan di negara-negara yang disapu badai musim semi Arab. Tahun-tahun mendatang akan menjadi masa-masa sulit, apalagi di tengah pandemi yang semakin memperburuk situasi politik, ekonomis, dan sosial. Satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah membangun kebersamaan untuk tegaknya peradaban kebangsaan yang kokoh.
DETIK, 05 Februari 2021
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan muslim, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar